Seperti artinya, Nur adalah cahaya. Dia adalah pelita untuk keluarganya. Pelita untuk suami dan anaknya.
Seharusnya ...
Namun, Nur di anggap terlalu menyilaukan hingga membuat mereka buta dan tak melihat kebaikannya.
Nur tetaplah Nur, di mana pun dia berada dia akan selalu bersinar, meski di buang oleh orang-orang yang telah di sinarinya.
Ikuti kisah Nur, wanita paruh baya yang di sia-siakan oleh suami dan anak-anaknya.
Di selingkuhi suami dan sahabatnya sudahlah berat, di tambah anak-anaknya yang justru membela mereka, membuat cahaya Nur hampir meredup.
Tapi kemudian dia sadar, akan arti namanya dan perlahan mulai bangkit dan mengembalikan sinarnya.
Apa yang akan Nur lakukan hingga membuat orang-orang yang dulu menyia-nyiakannya akhirnya menyesal?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Redwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Pagi harinya, Amanda dan Bisma kalang kabut karena ibu mereka tak kunjung keluar kamar.
Pamungkas juga tak pulang tadi malam karena sibuk menenangkan Sisil.
Namun pagi, ini lelaki itu pulang untuk melihat keadaan istri pertamanya.
"Papah? Papah dari mana?" cecar Bisma heran.
Pamungkas berusaha bersikap tenang dan tak ingin membuat putra bungsunya curiga.
"Papah dari luar, kenapa kalian belum siap-siap?" tanya Pamungkas heran.
"Mamah ngga bangunin kita pah," keluh Bisma.
"Tolong bangunin mamah dong pah, Bisma mau sarapan," pintanya manja.
"Ya udah kamu mandi dulu terus siap-siapa, nanti kita beli sarapan di jalan, takutnya mamah kamu masih ngga enak badan," ujar Pamungkas.
"Mamah sakit?" tanya Bisma khawatir.
"Iya," jawab Pamungkas pendek. Memang Nur tengah sakit, meski bukan fisik tapi sama-sama sakit bukan?
Sepeninggal putra bungsunya, kini putri pertamanya yang mendekatinya.
"Pah, Manda khawatir," lirih Amanda.
"Khawatir kenapa? Mamah kamu baik-baik aja, dia cuma syok."
Amanda menggeleng, "gimana kalau mamah nyerah dan ngga mau di madu? Manda takut pah."
Tubuh Pamungkas menegang, dia tak pernah memprediksi pilihan itu.
Dia yakin sang istri tak akan mampu meminta pisah darinya.
Selama ini Pamungkas merasa sudah menafkahi Nur dengan layak dan juga karena Nur tidak bekerja, sudah di pastikan jika sang istri hanya bergantung padanya.
"Kamu ngga perlu cemas Ka, papah yakin mamahmu ngga akan ngambil keputusan itu. Sudah sana bersiap, nanti papah antar kalian."
Pamungkas lantas mencoba mengetuk pintu kamar mereka.
Tak lama suara kenop pintu terbuka membuatnya terkesiap.
Di depannya sang istri wajahnya masih sembab, dia yakin Nur menangis semalaman.
"Mah, kamu ngga papa?" tanyanya bodoh.
Nur melangkah hendak meninggalkan sang suami. Pamungkas bergegas mencekalnya.
"Mah jangan seperti ini, kamu buat aku cemas, tolong katakan apa yang harus aku lakukan mah," lirih Pamungkas putus asa.
Nur berbalik dan menatap sang suami sendu. "Tinggalkan dia."
"Mah, kamu tahu aku ngga bisa—"
"Kenapa? Apa kamu sangat mencintai dia?" cecar Nur yang berusaha menahan air matanya.
"Mah, aku tahu kamu marah dan kecewa sama kami, tolong mah, tolong mengerti keadaanku," bujuk Pamungkas.
"Aku tidak pengertian? Kenapa kamu sangat ingin menikahi Sisil? Apa dia hamil?"
"MAH!" bentak Pamungkas tak terima.
"Kenapa? Tebakkanku benar?"
"Mamah?" panggil Bisma yang akhirnya menghentikan pertengkaran keduanya.
"Mamah kenapa? Mamah sakit?" sambung remaja itu sembari mendekati ibunya.
Nur tersenyum kaku lalu mengangguk. "Maafin mamah ya, udah mengabaikan adik. Adik udah sarapan?" tanya Nur lembut.
Bisma lantas menggeleng. "Aku mau sarapan buatan mamah, boleh?"
"Bisma, ini udah siang, adek berangkat sama Pak Ojan ya, ini papah tambahin uang saku, biar nanti di jalan beli sarapan ok?" sela Pamungkas.
Bukan ingin merenggangkan keduanya, Pamungkas memang berkata benar, jika waktunya sudah terlalu siang, bisa-bisa putranya itu terlambat ke sekolah.
Terpaksa Bisma mengangguk, lalu menyalami kedua orang tuanya.
"Mah nanti sore masakin Bisma tumis daging ya," pintanya penuh harap.
Dengan kaku Nur mengangguk. Kemudian Bisma berlalu dari sana mendekati sopir sang ayah.
"Ayo kita bicara mah!" ajak Pamungkas.
Dirinya sudah tak bisa lagi bersabar, melihat Sisil menangis sepanjang malam, membuatnya sangat tak tega.
Dia ingin melindungi wanita yang ia anggap lemah itu.
Bagi Pamungkas Sisil seperti kaca yang rapuh. Hatinya yang lembut sangatlah perasa.
Dia juga kesal pada Ridho yang bahkan tak mau pulang untuk sekedar menjenguk ibunya.
Nur lantas berjalan menuju sofa. Hatinya gamang. Namun dia tetap tegas tak akan mau di madu.
"Nur, tolonglah, bukankah kamu sangat menyayangi Sisil? Kamu tahu dia itu rapuh—"
"Aku memang menyayanginya Mas, tapi bukan berarti aku mau membagi suamiku dengan dia," jawab Nur tegas.
Meski dirinya merasa sesak, tapi dia tak mau menyerah. Dia merasa bukanlah wanita sholehah yang mau begitu saja di madu, meski balasannya adalah surga.
Menurut Nur, ada banyak cara menuju surga. Tak perlu harus mau di poligami.
Meski di luaran sana banyak wanita hebat yang mampu menjalaninya. Namun jujur Nur tak sanggup, dia sangat tahu kapasitas dirinya.
Dia tak membenci poligami. Namun bukan seperti ini caranya.
"Nur, Sisil hanya butuh sedikit kasih dan perhatian dariku Nur, hanya sedikit. Hatiku dan semuanya masih lebih besar untukmu," rayu Pamungkas.
"Sedikit? Kamu yakin?" cibir Nur.
"Terus apa kamu tega menyakiti sahabatmu itu Nur?"
"Kenapa jadi kamu menyalahkanku Mas, coba kini aku balik perkataanmu, apa kalian enggak punya perasaan telah menyakitiku?" balasnya.
Pamungkas putus asa. Ternyata membujuk Nur dengan cara baik-baik sangatlah sulit.
Sungguh dia tak mau menggunakan cara kedua, tapi sepertinya dia tak punya pilihan.
"Kalau ... Kamu masih saja menolak, apa kamu siap kalau kita berpisah?"
.
.
.
Lanjut