Bagiamana jika kehidupan seorang mafia yang terkenal akan ganas, angkuh atau Monster ternyata memiliki kisah yang sungguh menyedihkan?
Bagaimana seorang wanita yang hanyalah penulis buku anak-anak bisa merubah total kehidupan gelap dari seorang mafia yang mendapat julukan Monster? Bagai kegelapan bertemu dengan cahaya terang, begitulah kisah Maxi Ed Tommaso dan Nadine Chysara yang di pertemukan tanpa kesengajaan.
~~~~~~~~~~~
✨MOHON DUKUNGANNYA ✧◝(⁰▿⁰)◜✧
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Four, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
O200DMM – BAB 06
MELARIKAN DIRI
Nadine sudah siap siaga untuk kabur dari ruangan tersebut. Sementara Maxi, pria tanpa rasa malu itu sudah bertelanjang dada menunjukkan tatto yang begitu banyak di area dada kirinya serta perut bagian kiri juga punggung kirinya. Apa dia seorang gangster?
“Tebakanmu hampir benar penulis. Akan aku beritahu sebutan orang-orang ketika memanggilku!” Maxi melangkah perlahan sehingga aura menakutkan darinya ikut di rasakan oleh Nadine. Selangkah demi selangkah sama saja seperti menginjak dada Nadine yang mulai sesak.
“Mereka memanggilku Killer Monster!” Nadine sudah mulai ketakutan, nafasnya memburu, detak jantungnya meningkat. Tak butuh waktu lama, gadis itu langsung berbalik dengan cepat dan berlari mencapai pintu, berusaha membuka tapi ternyata pintu tersebut terkunci. Sial!
“BUKA PINTUNYA-- ” Teriak Nadine sambil menggedor keras, tidak peduli dengan keberadaan sang pemilik rumah. Teriakan Nadine berhenti ketika sebuah tubuh keras menempel di punggungnya secara paksa.
Maxi begitu dekat dengan Nadine, dia menghirup aroma memabukkan yang keluar dari sang gadis, aroma jeruk segar. Sementara Nadine memejamkan mata saat merasakan nafas panas di area lehernya ketika tangan Maxi mulai menyingkirkan rambut panjang yang menutupi area leher jenjangnya.
“Don't touch me!” pinta Nadine penuh penekanan. Dia sangat ketakutan saat pria itu meniupkan angin kecil di telinganya membuat seluruh tubuhnya merinding.
Berusaha bergerak saja tidak bisa, dalam posisi tubuhnya harus di tekan di pintu membuat Nadine tak bisa melakukan perlawanan.
“Kamu sudah memancingku, penulis.” Bisik Maxi sedikit mendesah.
Nadine benar-benar gemetar saat tangan lainnya dari seorang Maxi mulai menggerayangi punggungnya yang masih tertutup mantel. Tangannya ia gerakan agar bisa lepas dari pria sialan itu, tapi malangnya, Maxi malah mencengkram lengannya kuat-kuat.
“Jadilah betina yang tenang.” Titah Maxi.
“Aku tidak akan mau dan aku tidak akan pernah mau merendahkan diriku sendiri kepada orang sialan seperti mu.” Gertak Nadine.
Maxi mulai menggeram ketika harus menahan emosinya sendiri, sampai pria itu memilih melepaskan Nadine tiba-tiba. Rasanya sangat menegangkan bagi Nadine, wanita itu merasa tenang untuk sejenak saat dia dan pria itu kembali berjarak.
“Aku akan pergi. Sementara kamu, bersikaplah baik sebelum aku lepas kendali.” Bukankah peringatan dari Maxi sudah sangat jelas. Tapi bagi seorang Nadine, peringatan itu tidaklah penting untuk dia dengar atupun patuhi.
Pria itu menarik Nadine untuk menjauh dari pintu. Hanya satu tarikan saja sudah membuatnya melayang hampir tersungkur ke lantai.
Saat pria itu melangkah keluar dan kembali menutup pintunya tak lupa juga untuk mengunci rapat pintu tersebut. Nadine bergegas, menggedor pintu tersebut sambil berteriak kencang. “AKU BILANG BUKA PINTUNYA. KALIAN TIDAK DENGAR HAH! BUKA PINTUNYA.” Brakkk! Brakk! brakk! Suara kasar dari pintu terus saja berbunyi.
para penjaga di sana tak memperdulikannya meski dia orang tengah berjaga di luar pintu tepat.
“Jaga wanita itu, jangan sampai kabur. Dia cukup cerdik.” Ujar Maxi kepada seluruh anak buahnya yang berjaga di mansion tersebut. Rupanya Maxi juga waspada akan tingkah dari sosok Nadine Chysara, tak di ragukan lagi kenekatan dari seorang warga Asia. Khususnya Indonesia.
Saat ia berjalan menuju mobilnya. Ponselnya berdering.
[“Aku akan datang Paman.”] Ucap Maxi datar dan langsung mematikannya tanpa banyak bicara. Jujur saja dia sedikit malas meladeni pamannya.
“Zero, antar aku ke Forexzo.” Pinta Maxi.
.
.
.
Nadine mulai menangis ketika tangannya sudah memerah akibat gedoran keras yang dia lakukan. Wanita itu merosot dan bersandar di pintu, kepalanya mendongak sambil menangis sesenggukan dan tidak tahu harus berbuat apa lagi.
Di sisi lain, di bandara Chicago. April beserta Dita masih berusaha menelpon Nadine, mereka tidak tahu kalau ponsel temannya sudah di buang di jalan. Rasa khawatir terus saja menyelimuti mereka berdua, mereka tidak mungkin pulang tanpa Nadine.
“Bagaimana keadaan Nadine? Aku sangat khawatir.” Ujar Dita menggigit jari-jarinya dengan panik.
“Ponselnya tidak aktif sejak tadi.” Balas April yang sama khawatirnya dan mulai resah.
Ternyata Maxi menyuruh anak buahnya untuk mengantar kedua wanita itu kembali ke bandara dengan selamat, meski begitu perasaan keduanya tak luput khawatir pada temannya yang masih menjadi tahanan.
10 jam lagi penerbangan menuju negara Indonesia dan tanda-tanda kehadiran Nadine masih tidak ditemukan. Bagaimana mereka bisa pulang tanpa temannya itu? Dan bagaimana keadaan Nadine saat ini?
...***...
Sempat putus asa. Nadine mulai memikirkan sesuatu untuk bisa kabur di saat pria pembunuh tadi pergi. Ia mulai menyeka air matanya, sebuah tekad besar sudah terkumpul di kedua mata Nadine, tidak peduli meskipun dia akan mati.
Dia adalah seorang penulis, imajinasi luas di miliki oleh Nadine. Wanita itu langsung mengeluarkan sebuah gincu merah darah milik Dita yang di titipkan di saku celananya. Dengan cepat Nadine mulai melumurinya di area pergelangan tangan kirinya hingga menetas seperti darah.
Nadine segera mengusap jejak air matanya lagi. Lewat 2 jam, dia mulai mengetuk pelan pintu. Tok! Tok! Tok! “Aku lapar. Aku mau makan, aku belum makan sejak tadi-- ” sebisa mungkin Nadine mengendalikan suaranya agar terdengar seperti seseorang yang benar-benar kelaparan, juga berharap ada penjaga di luar sana.
“Apa kalian dengar? Aku-- ” Tiba-tiba pintu terbuka dan masuklah satu pelayan dan satu penjaga. Sajian yang cukup cepat.
Nadine melihat sebuah hidangan di nampan yang saat ini dibawa oleh pelayan cantik berambut blonde. Sementara si penjaga berkulit hitam botak itu menatap Nadine sedikit curiga, lalu berjalan pergi meninggalkan pelayan tadi bersama Nadine setelah dilihatnya cukup aman.
“Ini makan malam Anda.” Pelayan itu masih berdiri lalu meletakkan nampan tadi di atas meja dan berjalan menuju pintu. Tanpa pelayan itu sadari, Nadine memukul lehernya menggunakan vas bunga yang terbuat dari kaca berat sehingga pelayan tadi jatuh pingsan dalam hitungan detik.
Tubuhnya bergetar saat pertama kalinya dia terpaksa melukai seseorang apalagi seorang wanita sepertinya. “Aku minta maaf!” lirihnya dan mulai memecahkan vas bunga tadi hingga suaranya terdengar sampai ke luar.
“Cepat kau periksa.” Pinta salah satu anak buah bertopi kepada pria berkulit hitam yang sempat masuk bersama pelayan tadi.
Dengan sigap pria berkulit hitam mulai masuk dan terkejut ketika melihat wanita bosnya sudah tergeletak penuh darah di pergelangan tangan beserta pecahan vas dan pelayan tadi yang masih tergeletak tanpa ada noda darah seperti Nadine. Cukup panik saat melihat dua orang wanita tergeletak tidak sadarkan diri.
“Rob! Cepat panggil dokter!” Teriak pria kulit hitam tadi mulai panik. Dengan segera, pria bertopi yang seharusnya menjaga di depan pintu, langsung pergi untuk memberitahu yang lainnya agar segera mendatangkan seorang dokter sebelum bosnya datang.
Ketika pria bertopi tadi sudah pergi, Nadine berusaha menahan nafasnya ketika penjaga tadi mencoba memeriksa hembusan nafasnya. dengan ketakutan yang luar biasa, tangan kanan Nadine mulai meraba-raba sisi sampingnya yang sudah dia siapkan sebelumnya, sebuah asbak rokok dari kaca milik Maxi.
Bruak! Satu pukulan berhasil mengenai kepala penjaga tadi hingga darah keluar dari pelipisnya. Penjaga itu sempat memegangi lukanya sembari menunjuk ke Nadine sampai ia mulai lemas dan tergeletak di lantai. Nadine memejamkan matanya sejenak, berusaha menahan tangisannya yang merasa berdosa ketika harus melakukan kekerasan kepada seseorang.
Nadine berdiri dan menatap pria tadi. “Im sorry. Aku benar-benar minta maaf hikss.” Ucapnya mulai gemetar dan segera keluar dari pintu.
3 jam lewat. Nadine mengendap-endap dan mencoba mencari jalan keluar. Sudah di duga, rumah itu seperti labirin, untung Nadine sudah menghafalnya meski sedikit.
Dia berlari kecil sambil terus waspada akan sekitar. Setiap lorong terdapat penjaga di sana, para pelayan juga tertawa riang ketika dia tidak punya pekerjaan. “Aku mohon selamatkan aku.” Gumam Nadine bersandar di tembok sejenak sambil memejamkan mata.
“CEPAT CARI WANITA ITU!” suara keras membuat Nadine mulai panik dan cepat-cepat pergi. para penjaga di sana segera mencari keberadaan nya.
Nadine berlari cepat menuju ruang tamu, dia terkejut saat melihat beberapa penjaga dan para pelayan di sana, menatapnya dengan bingung. “Ada musuh masuk lewat jendela. Mereka membawa senjata.” Desak Nadine tergesa-gesa. Seketika para penjaga tentu saja percaya.
Mereka semua segera bersiap menuju arahan yang Nadine tunjuk, sementara para pelayan masih berdiri tegak menatap Nadine dengan curiga.
“Apa yang kalian lihat. Cepat bantu mereka sebelum bos kalian datang.” Tipu Nadine benar-benar membuat ricuh satu Mansion.
Dia sangat senang saat orang-orang di mansion begitu bodoh karena tertipu olehnya.
kl menyukai ,kenapa nggak d ulangi n lanjut next yg lebih hot.
( berimajinasi itu indah.. wk wk wkk )
kl sekarang mau kabur,apa nggak puyeng liat jalur melarikan dirinya.jauuuub dr kota.awak d ganggu pemuda2 rese LG lho.
tadinya baca cerita luna almo dulu sih..untuk maxi nadine ini ditengah udah mau menyerah krn alurnya lambat ya..tapi penasaran jadi ttp aku baca..dan kesimpulannya bagus banget walaupun banyak bab yang menguras emosi..terimakasih kak author..