Hafidz tak pernah menyangka jika dirinya ternyata tak terlahir dari rahim ibu yang selama ini mengasuhnya. Dia hanya bayi yang ditemukan di semak dan di selamatkan oleh sepasang suami istri yang dia kira orang tua kandungnya, membuatnya syok dengan kenyataan itu.
Sebenarnya dia tak ingin mengetahui siapa orang tua kandungnya, karena dia merasa sudah bahagia hidup bersama orang tua angkatnya saat ini, tapi desakan sang Ibu membuatnya mencari keberadaan keluarga kandungnya.
Mampukah dia menemukan keluarganya?
Bagaimana saat dia tahu jika ternyata keluarganya adalah orang terkaya di ibu kota? Apakah dia berbangga hati atau justru menghindari keluarga tersebut?
"Perbedaan kita terlalu jauh bagikan langit dan bumi," Muhammad Hafidz.
"Maafin gue, gue sebenarnya juga sakit mengatakan itu. Tapi enggak ada pilihan lain, supaya Lo jauhin gue dan enggak peduli sama gue lagi," Sagita Atmawijaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Abil Rahma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 5
Hari ini adalah hari pertama Hafidz menjadi guru private, dia mengambil jam sore hingga malam karena paginya harus kuliah. Tepat setelah pulang kuliah dia menaiki bus kota menuju alamat yang tertera dalam sebuah kartu nama. Tak butuh waktu lama Hafidz pun sudah sampai di depan rumah mewah. Tak menyangka jika pemilik kafe tersebut ternyata orang kaya, terbukti dari rumah yang ada dihadapannya ini.
"Assalamualaikum, permisi Pak. Bapak Ando nya ada?" tanya Hafidz pada satpam penjaga gerbang.
"Wa'alaikumussalam, kalo boleh tahu Anda siapa ya?" tanya satpam itu.
"Saya Hafidz Pak, sa--"
"Oh, silakan masuk Mas Hafidz, sudah di tunggu sama Pak Anda di dalam," satpam itu memotong ucapan Hafidz, karena dia sudah di beritahu jika Hafidz akan datang siang ini.
Dengan diantar satpam tersebut, Hafidz masuk ke dalam rumah mewah itu. Takjub, tentu saja karena baru kali ini dia melihat rumah mewah secara langsung, biasanya hanya melihat di televisi saja.
"Hafidz, silahkan masuk," pemilik rumah tersebut menyambut kedatangan Hafidz.
Hafidz duduk berhadapan dengan Ando.
Ando menjelaskan kapan saja dia harus datang ke rumah itu, setelah itu menceritakan seperti apa karakter putrinya yang sering gonta-ganti guru privat karena tidak cocok.
"Semoga kamu betah jadi guru privat anak saya," pungkas Ando.
"Amin, semoga saja Pak,"
"Dia sekarang lagi pergi sama Mamanya, mungkin sebentar lagi kembali,"
Belum juga lima menit, orang yang dibicarakan sudah heboh masuk ke rumah bersama sang Mama.
"Nah, ini dia. Sini Ziva, kenalan sama Kak Hafidz dulu." Anda melambaikan tangan pada putrinya supaya mendekat.
"Halo Ziva, salam kenal ya," Hafidz menyapa gadis berusia sepuluh tahun itu dengan wajah riang.
"Kak Hafidz bisa main bola?" Ziva tak menanggapi perkenalan itu, dia justru bertanya hal lain.
"Bisa dong, Ziva mau main bola sama kakak?"
"Mau! Hore, ada teman main bola!" Ziva begitu riang saat mengetahui Hafidz bisa bermain bola seperti keinginannya.
"Ayo Kak, kita main bola sekarang!" Ziva turun dari pangkuan Papanya, lalu menarik Hafidz menuju halaman depan yang sangat luas.
Papa dan Mama Ziva hanya menggelengkan kepala melihat tingkah putrinya.
Hafidz benar-benar menemani Ziva bermain bola, dia begitu bahagia saat melihat gadis kecil itu tertawa.
"Udah mainnya ya, sekarang kita istirahat terus belajar. Kak Hafidz kesini kan mau jadi guru kamu, bukan jadi teman main bola," ucap Mama Ziva.
"Yah, bentar lagi Ma, Ziva belum puas," rengek Ziva.
Mama menggeleng, "Besok bisa main lagi. Atau nanti kalau sudah selesai belajarnya," ucapnya.
Mau tak mau Ziva pun menuruti sang Mama.
Dengan telaten Hafidz mengajari Ziva belajar matematika, karena itu kelemahan Ziva. Dalam pelajaran lain Ziva terlihat lebih baik, tapi saat belajar matematika Ziva selalu tak mau berfikir dan itu membuat nilai matematika Ziva selalu di bawah rata-rata.
Tapi dengan Hafidz, Ziva terlihat antusias saat menghitung. Mereka belajar tidak terlalu tegang, mungkin itu yang Ziva inginkan hingga dia bisa menyelesaikan soal yang diberikan oleh Hafidz, meski tak semuanya benar.
🍁🍁🍁
"Kak Hafidz nya harus pulang sayang, kasian ini sudah malam. Kak Hafidz juga harus belajar, besok juga sekolah sama seperti Ziva," bujuk Mama dan Papa, pasalnya Ziva melarang Hafidz pulang, dia beralasan masih ingin belajar dengan Hafidz.
"Kenapa Kak Hafidz enggak nginep di sini aja sih Ma?" rengek Ziva.
"Ya enggak bisa sayang, kak Hafid kan harus kuliah juga. Kasian kalau nginep di sini, nanti di marahin sama gurunya kalo sampai telat masuk,"
Ziva cemberut, dia tetap kekeh menginginkan Hafidz tinggal di rumahnya.
"Besok Kak Hafidz kan ke sini lagi, besok kita main lagi. Terserah mau main apa, Kakak ikutin deh," ucap Hafidz ikut membujuk Ziva.
"Tapi janji ya,"
"Iya janji,"
Akhirnya Hafidz pun bisa pulang dengan perasaan lega, karena Ziva sudah terlihat lebih baik tidak ngambek seperti tadi. Padahal mereka baru saja bertemu sekali, tapi Ziva terlihat sangat menyukainya, entah apa yang Ziva sukai dari Hafidz, mungkin karena Hafidz lebih banyak mengalah pada gadis kecil itu.
🍁🍁🍁
Semakin hari perkembangan belajar Ziva makin membaik, membuat kedua orang tua Ziva memberi uang lebih pada Hafidz karena rasa terimakasih sudah membuat Ziva mau belajar dengan baik. Tapi Hafidz merasa tak enak hati, pasangan suami istri itu terlalu baik padanya. Seminggu lalu saja sudah memberinya sebuah smartphone, meskipun bekas tapi menurut Hafidz masih sangat bagus, dan jika dijual harganya masih jutaan, tapi orang tua Ziva memberinya dengan cuma-cuma. Sebab, Hafidz yang susah dihubungi karena masih memakai ponsel jadul yang hanya bisa untuk telfon dan pesan saja.
Tak terasa Hafidz sudah melewati masa kuliah selama satu tahun, banyak sekali yang sudah dia lewati. Tapi sampai saat ini dia belum bisa menemukan dimana keluarga kandungnya. Bahkan dia sudah mencoba bertanya pada orang tua Ziva, tapi mereka tak mengenal simbol liontin tersebut.
Hari ini dia harus berangkat ke kampus lebih pagi, karena harus masuk kelas pagi. Setelah selesai mata kuliah pertama, seperti biasa Hafidz selalu menghabiskan waktu di perpustakaan, tapi baru saja akan keluar kelas teman sekelasnya justru mengajaknya untuk duduk kembali.
"Kenapa Dra?" tanyanya saat mendapati temannya itu mengamati wajahnya dengan intens.
"Wih, bagai pinang dibelah dua!" seru Indra.
"Ada apa sih?" tanya Hafidz tak mengerti.
"Gue mau kasih tahu Lo sesuatu Fidz. Lo tahu kan gue kemarin jadi panitia penerimaan Maba, dan gue lihat cewek wajahnya mirip banget sama Lo Fidz, gue sampe heran, gue kira itu Lo tapi nyamar," celetuk Indra asal.
"Ngaco! Mana ada yang mirip sama gue! Mungkin Lo salah lihat," protes Hafidz.
"Serius gue enggak salah lihat, Lo bisa tanya sama yang lain. Tuh coba tanya sama Silfi." Indra menunjuk seorang perempuan berhijab yang sedang fokus membaca buku.
"Sil, woy!" seru Indra.
"Iya, apa Ndra?" tanya gadis itu.
"Sini!"
Silfi mendekat, "Ada apa?" tanyanya.
"Lo inget enggak sama cewek yang mirip banget sama Hafidz?"
Silfi nampak berfikir sejenak setelah itu dia mengangguk, "Iya inget, namanya siapa ya gue lupa. Iya dia mirip banget sama Hafidz, aku kok baru nyadar ya." Kini giliran Silfia yang menatap wajah Hafidz intens, tapi setelahnya dia merasa malu sendiri karena tanpa permisi menatap lawan jenis seperti itu.
"Eh, maaf Fidz. Tapi serius mirip banget kok, tapi aku lupa namanya siapa, sempet bicara juga sama dia," ucap Silfia.
Hafidz tak percaya begitu saja jika belum melihat langsung. Jika benar, apakah mungkin itu adiknya? Atau bahkan kembarannya? Entahlah, dia ingin memastikan sendiri seperti apa rupa gadis itu.
Kebetulan yang sangat menguntungkan dan mengejutkan buat Hafidz, karena saat akan pulang dia bertemu dengan gadis yang digadang-gadang mirip dengannya. Entah kenapa jantungnya berpacu lebih cepat saat melihat gadis itu, terus menatap gadis berambut hitam legam itu hingga hilang dari pandangan matanya.
"Ya Allah, apakah dia benar saudara ku? Tolong tunjukkan kebenarannya," doa Hafidz dalam hati.
Sungguh, jika gadis itu benar saudaranya, dia akan sangat bahagia karena berhasil bertemu dengan keluarganya. Tapi di sisi lain dia merasa sedih, saat mengingat dia tak diinginkan bahkan sengaja di buang.
"Jangan terlalu berharap Fidz, nanti kamu kecewa," tuturnya pada diri sendiri.
Bersambung...
🍁🍁🍁
karena di bab awal seingatku nama sopirnya Tio, dan setelah itu disuruh kerja ke Padang.