Penasaran dengan ceritanya yuk langsung aja kita baca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mbak Ainun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 5: Barikade di Garis Jingga
Udara subuh masih terasa dingin dan lembap saat Aris tiba kembali di sektor 12-B. Matanya merah karena tidak tidur setetes pun, namun tangannya menggenggam gulungan cetak biru yang baru ia selesaikan di percetakan 24 jam dengan sisa uang tabungannya. Di kejauhan, suara mesin diesel yang berat memecah keheningan pagi. Suara itu terdengar seperti geraman binatang buas yang lapar.
Baskoro tidak main-main. Dua unit buldoser berwarna kuning terang sudah terparkir di depan gerbang seng, dikelilingi oleh belasan pria berbadan tegap yang mengenakan seragam keamanan swasta.
Warga bantaran sungai sudah berkumpul. Mereka berdiri membentuk barisan manusia di depan pagar seng. Pak RT berdiri di paling depan, wajahnya pucat namun rahangnya mengeras. Aris segera melangkah maju, membelah kerumunan warga yang memberinya jalan dengan tatapan penuh harap.
"Berhenti!" teriak seorang pria berseragam safari yang tampaknya adalah kepala lapangan. "Kami punya surat perintah kerja. Lahan ini akan segera dibersihkan. Siapa pun yang menghalangi akan kami laporkan karena masuk tanpa izin!"
Aris maju ke depan, berdiri tepat di antara warga dan moncong besi buldoser yang dingin. "Saya Aris, mantan arsitek utama proyek kalian. Saya tahu prosedur kalian. Kalian tidak bisa melakukan pembersihan lahan sebelum analisis dampak lingkungan (AMDAL) terbaru disosialisasikan kepada warga terdampak!"
Pria berseragam itu tertawa mengejek. "AMDAL? Pak Tua, ini Jakarta. Uang sudah bicara lebih dulu daripada kertas-kertasmu itu. Minggir, atau kami pindahkan paksa!"
Mesin buldoser menderu lebih keras, mengeluarkan asap hitam yang menyesakkan dada. Beberapa ibu-ibu di barisan belakang mulai panik, memeluk anak-anak mereka erat-kerta. Namun, tidak ada satu pun yang beranjak.
Aris membuka gulungan cetak birunya. Ia membentangkannya di depan para penjaga itu, meskipun ia tahu mereka mungkin tidak peduli. "Lihat ini! Ini bukan sekadar taman. Ini adalah sistem resapan air terpadu yang akan menyelamatkan wilayah ini dari banjir tahunan. Jika kalian membangun gudang beton di sini, kalian tidak hanya merampas tanah mereka, kalian sedang menenggelamkan rumah mereka!"
"Cukup omong kosongnya!" pria itu memberi isyarat kepada operator buldoser.
Buldoser mulai bergerak maju perlahan. Tanah di bawah kaki Aris bergetar. Ia bisa merasakan hawa panas dari mesin raksasa itu. Di saat kritis itu, Aris tidak lari. Ia justru duduk bersila di tanah, tepat di jalur roda baja tersebut.
"Pak Aris! Menyingkir!" teriak Pak RT panik.
"Tidak!" sahut Aris lantang. "Jika kalian ingin meratakan tanah ini untuk sesuatu yang sia-sia, mulailah dengan meratakan tubuhku dulu!"
Aksi Aris memicu keberanian warga lainnya. Satu per satu, para pria dan pemuda di sana ikut duduk bersila di samping Aris. Mereka membentuk barisan pertahanan diam. Suasana menjadi sangat tegang. Operator buldoser tampak ragu, ia menoleh ke arah atasannya, menunggu instruksi.
Tiba-tiba, sebuah mobil sedan mewah berwarna hitam berhenti di tepi jalan yang sempit. Baskoro turun dari mobil itu, penampilannya kontras dengan debu dan kemiskinan di sekitarnya. Ia berjalan mendekat dengan payung yang dipegangi ajudannya, seolah takut sinar matahari pagi akan melukai kulitnya.
"Drama yang luar biasa, Aris," ucap Baskoro sambil menatap mantan rekannya yang duduk di tanah. "Kamu selalu suka menjadi pahlawan tragis. Tapi ingat, pahlawan selalu mati di akhir cerita."
Aris mendongak, menatap Baskoro dengan ketenangan yang mematikan. "Aku sudah mati sejak sepuluh tahun lalu, Bas. Yang kamu lihat sekarang hanyalah sisa-sisa harapan yang menolak untuk menyerah. Kamu punya mesin, tapi aku punya mereka."
Baskoro melihat ke arah kerumunan warga. Ia menyadari ada beberapa orang yang memegang ponsel, merekam kejadian itu secara langsung. Di era digital ini, satu kesalahan kecil bisa menjadi bencana bagi citra perusahaannya yang sedang bersiap untuk melantai di bursa saham internasional.
"Kamu pikir video-video pendek ini akan menghentikanku?" bisik Baskoro tajam.
"Mungkin tidak menghentikanmu hari ini," jawab Aris. "Tapi video ini akan sampai ke tangan investor yang sangat peduli pada isu sosial. Aku tahu siapa mereka, Bas. Aku yang dulu membantu kamu meyakinkan mereka."
Baskoro terdiam. Rahangnya berkedut. Ia tahu Aris benar. Aris masih menyimpan daftar kontak dan rahasia cara kerja Grup Mahakarya.
"Tarik mundur mesinnya," perintah Baskoro tiba-tiba kepada anak buahnya.
Warga bersorak kegirangan, namun Aris tetap tenang. Ia tahu ini bukan kemenangan akhir, melainkan hanya penundaan perang.
Baskoro mendekati Aris, berbisik cukup pelan agar hanya Aris yang mendengar. "Kamu menang satu ronde, Aris. Tapi lahan ini tetap milikku. Aku akan memberimu waktu satu minggu. Jika dalam satu minggu kamu tidak bisa mendapatkan dukungan resmi dari pemerintah atau pendana yang nyata, aku akan kembali dengan kekuatan yang tidak bisa dihentikan oleh barisan manusia mana pun."
Baskoro kembali ke mobilnya dan meluncur pergi, meninggalkan kepulan debu.
Aris berdiri perlahan, dibantu oleh Pak RT. Tubuhnya terasa sangat lemas, namun semangatnya menyala-nyala. Ia melihat ke arah warga yang kini menyalaminya dengan penuh terima kasih.
"Kita punya waktu satu minggu," ucap Aris kepada mereka. "Hanya satu minggu untuk membuktikan bahwa mimpi ini layak untuk diperjuangkan."
Saat matahari semakin tinggi, Aris kembali melihat ke arah langit. Senja kemarin memberinya inspirasi, dan fajar hari ini memberinya kekuatan. Kini, ia harus berlari melawan waktu. Ia harus menemukan cara untuk mengubah coretan pensilnya menjadi kenyataan sebelum kegelapan yang sesungguhnya benar-benar datang menjemput.