Dibesarkan oleh keluarga petani sederhana, Su Yue hidup tenang tanpa mengetahui bahwa darah bangsawan kultivator mengalir di tubuhnya. Setelah mengetahui kebenaran tentang kehancuran klannya, jiwanya runtuh oleh kesedihan yang tak tertahankan. Namun kematian bukanlah akhir. Ketika desa yang menjadi rumah keduanya dimusnahkan oleh musuh lama, kekuatan tersegel dalam Batu Hati Es Qingyun terbangkitkan. Dari seorang gadis pendiam, Su Yue berubah menjadi manifestasi kesedihan yang membeku, menghancurkan para pembantai tanpa amarah berlebihan, hanya kehampaan yang dingin. Setelah semuanya berakhir, ia melangkah pergi, mencari makna hidup di dunia yang telah dua kali merenggut segalanya darinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puvi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertemuan di Jalan Sunyi
Lima hari telah berlalu sejak Su Yue meninggalkan batu bertulisan Haoran. Pikirannya masih dipenuhi oleh petunjuk itu, dan tubuhnya, meski masih ringkih, telah pulih cukup berkat stabilisasi Qi dari Haoran dan makanan yang lebih teratur. Dia berjalan dengan kecepatan terjaga, tidak lagi memaksakan diri, namun tetap dengan ketegangan waspada yang melekat pada orang yang pernah dikhianati oleh dunia.
Jalannya membawanya melintasi hutan lebat yang mulai menipis, memberi jalan pada padang rumput luas yang dihiasi bebatuan besar. Saat matahari hampir tepat di atas kepala, dia mendengar suara. Bukan suara binatang buas, tetapi suara manusia. Tertawa ringan, diikuti percakapan gadis.
Hati Su Yue seketika waspada. Tangannya secara refleks mendekati gagang Ratapan Dingin. Dia melangkah lebih pelan, bersembunyi di balik sebuah batu besar, dan mengintip.
Dua gadis seusianya sedang beristirahat di bawah bayangan pohon besar. Mereka berdua cantik, tetapi dengan aura yang berbeda. Yang satu memakai pakaian praktis berwarna biru langit dengan bordiran bunga plum di pinggirnya, wajahnya bulat dengan mata yang bersinar penuh semangat. Rambutnya dikepang dua, terkadang terlepas karena gerakannya yang lincah. Yang satunya lagi mengenakan pakaian berwarna hijau muda, lebih sederhana, dengan ekspresi yang lebih tenang dan bijaksana. Rambutnya diikat rapi ke belakang, dan matanya yang seperti biji almond memancarkan kewaspadaan yang halus.
"Xuqin, kita pasti hampir sampai! Aroma air sudah semakin kuat, aku bisa merasakannya!" ujar gadis berpakaian biru dengan antusias.
"Sabarlah, Lanxi. Berjalan dengan tergesa gesa hanya akan membuat kita tersesat atau, lebih buruk, bertemu binatang buas," jawab gadis bernama Xuqin dengan suara tenang.
Su Yue mengamati mereka. Mereka tidak tampak seperti kultivator tingkat tinggi. Mungkin sama seperti dirinya, calon murid yang sedang dalam perjalanan. Setelah beberapa saat mempertimbangkan, dan mengingat nasihat Haoran tentang "teman", dia memutuskan untuk keluar dari persembunyian. Namun, dia tidak langsung mendekat. Dia berjalan perlahan, dengan sengaja membuat suara langkah kaki agar tidak dianggap mengendap-endap.
Kedua gadis itu segera menoleh, kewaspadaan muncul di wajah mereka, terutama di mata Xuqin. Namun, ketika mereka melihat seorang gadis seusia mereka, kurus, compang-camping, dengan wajah pucat dan mata biru yang dalam, kewaspadaan itu sedikit mereda, digantikan oleh keheranan dan sedikit empati.
"Hai," sapa Lanxi, yang lebih berani. "Kau sendirian? Hutan ini berbahaya, tahu!?"
Su Yue mengangguk pelan. "Aku tahu. Aku sedang dalam perjalanan."
"Ke mana?" tanya Xuqin, suaranya netral.
Su Yue memandang mereka. Sesuatu di nalurinya mengatakan mereka tidak berbahaya. "Aku menuju Kota Mata Air. Untuk mencoba bergabung dengan Sekte Qingyun."
Efek ucapannya langsung terlihat. Wajah Lanxi berseri-seri, sementara Xuqin terlihat lega dan sedikit terkejut.
"Benarkah? Kebetulan sekali!" seru Lanxi, melompat kecil. "Kami juga mau ke sana! Kami dari Desa Gunung Senja, juga ingin menjadi murid Sekte Qingyun! Aku Lanxi, dan ini temanku Xuqin!"
Xuqin mengangguk santun. "Ini memang kebetulan yang baik. Berjalan sendirian memang berisiko. Jika tidak keberatan, maukah kau bergabung dengan kami? Setidaknya sampai ke kota."
Su Yue ragu sejenak. Bergaul dengan orang lain... itu asing. Tapi dia ingat tujuannya: bertahan, belajar, menjadi kuat. Menolak tawaran ini mungkin adalah kebodohan lain. "Aku... Su Yue," ucapnya perlahan. "Dan terima kasih. Aku akan bergabung."
"Baguslah! Ayo berangkat." kata Xuqin yang memimpin jalan.
Perjalanan bertiga pun dimulai. Awalnya canggung. Su Yue sangat pendiam, hanya menjawab seperlunya. Tapi Lanxi, dengan semangatnya yang tak terbendung, seperti air terjun kecil yang terus mengalir. Dia bercerita tentang Desa Gunung Senja, tentang matahari terbenam yang indah di puncak gunung, tentang pasar desa yang ramai setiap minggu, tentang orang tuanya yang pengrajin keramik, dan tentang adik lelakinya yang nakal.
"Dan kamu, Su Yue? Dari mana asalmu?" tanya Lanxi suatu sore, sambil mengunyah sebutir buah beri.
Suasa mendadak hening. Xuqin melemparkan pandangan peringatan pada Lanxi, tetapi sudah terlambat.
Su Yue berhenti berjalan. Matanya menatap jauh ke arah horizon. "Aku... tidak punya desa lagi," ucapnya, suaranya datar namun mengandung getaran halus yang hanya bisa dideteksi oleh yang sangat peka.
Lanxi terkesiap, senyumnya pudar. Xuqin menarik napas pelan.
"Ada... ada kebakaran," lanjut Su Yue, memilih kata-kata dengan hati-hati. Rasa sakit itu segar, seperti luka yang terbuka. Tapi dia tidak ingin menceritakan keseluruhan kebenaran. Itu terlalu berat, terlalu berbahaya. "Semuanya hilang."
Wajah Lanxi berubah menjadi penuh penyesalan dan empati yang polos. "Oh, Su Yue... Aku... aku sangat menyesal. Aku tidak seharusnya bertanya. Maafkan aku."
Xuqin juga mengangguk, matanya memancarkan simpati yang dalam. "Kami turut berduka. Kehilangan rumah adalah hal yang sangat berat."
Su Yue menggeleng pelan. "Tidak apa-apa. Kalian tidak tahu." Dia melihat ketulusan di mata mereka. Itu bukan rasa iba yang membuatnya muak, melainkan kesedihan yang jujur untuknya. Itu... aneh. Dan tidak sepenuhnya tidak menyenangkan.
Sejak saat itu, suasana berubah. Lanxi masih cerewet, tetapi lebih berhati-hati, menghindari topik tentang keluarga atau masa lalu. Xuqin mengambil peran sebagai pengamat yang lebih perhatian, terkadang membagikan jatah airnya atau menunjukkan jalan yang lebih mudah. Mereka memperlakukan Su Yue bukan sebagai orang asing yang aneh, tetapi sebagai seseorang yang terluka, yang butuh ruang namun juga tidak ingin ditinggal sendirian.
Tiga hari kemudian!
Mereka telah meninggalkan padang rumput dan memasuki wilayah perbukitan berbatu. Kelelahan mulai melanda. Lanxi, yang ternyata terampil dalam bertahan hidup, berhasil memasang jerat sederhana dan menangkap dua ekor kelinci hutan.
"Xuqin bisa memasak dengan baik! Nanti kau lihat!" puji Lanxi sambil membersihkan buruannya dengan cekatan.
Su Yue mengangguk pelan.
Malam itu, mereka beristirahat di sebuah cekungan batu yang terlindung dari angin. Xuqin memanggang daging kelinci di atas api unggun yang dia nyalakan dengan gesekan batu dan bahan kering yang dibawa Lanxi. Aroma daging panggang yang harum memenuhi udara, menggoda perut mereka yang keroncongan.
Mereka duduk melingkar. Su Yue, yang biasanya duduk agak menjauh, kali ini duduk lebih dekat, terpaksa oleh terbatasnya ruang yang terlindung. Cahaya api menari-nari di wajah mereka, menghangatkan kulit Su Yue yang biasanya dingin.
Ini adalah kali pertama Su Yue makan daging yang dimasak dengan benar sejak kejadian di desa. Saat gigitan pertama daging yang gurih dan hangat menyentuh lidahnya, sebuah kenangan melintas dengan cepat: Bu Li sedang menyuapinya sup ayam saat dia demam kecil. Rasa itu hampir sama. Matanya tiba-tiba berkaca-kaca.
"Enak, kan?" tanya Lanxi dengan bangga, seolah dia yang memasak.
Su Yue hanya bisa mengangguk, menelan rasa sakit di kerongkongannya bersama daging itu. "Sangat enak. Terima kasih, Xuqin."
Xuqin tersenyum kecil, senyum pertama yang Su Yue lihat di wajahnya yang tenang. "Sama sama. Makan yang banyak. Perjalanan besok masih panjang."
Mereka makan dalam keheningan yang nyaman, diselingi cerita ringan Lanxi tentang petualangan di desanya. Su Yue tidak banyak bicara, tapi dia mendengarkan. Dan untuk pertama kalinya dalam sekian lama, dia merasa... tidak terlalu kesepian. Kehadiran dua gadis ini, dengan kepolosan Lanxi dan ketenangan Xuqin, seperti selimut tipis yang menahan sedikit hawa dingin di hatinya.
Setelah makan, mereka beristirahat. Xuqin mengambil jaga pertama. Su Yue berbaring di atas alas rumput kering, memandang bintang bintang yang bertaburan di langit malam yang jernih. Suara jangkrik dan desau angin malam adalah pengantar tidur. Dia merasakan kelelahan yang dalam, namun juga sebuah perasaan aneh yang hampir terlupakan: keamanan. Meski kecil dan rapuh, ada kekuatan dalam jumlah. Dia tidak sendirian berjaga melawan kegelapan malam.
Beberapa jam kemudian, mereka bergantian berjaga dan akhirnya melanjutkan perjalanan saat fajar menyingsing. Su Yue memperhatikan bagaimana Lanxi dan Xuqin saling melindungi, saling mengingatkan. Itu adalah sebuah dinamika yang asing baginya, namun menarik.
Dua hari kemudian, tanda-tanda peradaban mulai muncul: jejak roda pedati di jalan tanah, pohon-pohon yang dipangkas, dan kemudian, aroma air yang semakin kuat bercampur dengan aroma tanah basah dan kehidupan.
Mereka mendaki sebuah tanjakan terakhir, dan di sana, terhampar di depan mata mereka.
Kota Mata Air.
Kota itu tidak terlalu besar, tetapi indah. Dikelilingi oleh tembok batu putih yang tidak terlalu tinggi, dan yang paling mencolok adalah banyaknya sungai kecil dan kanal yang membelah kota, memantulkan cahaya matahari seperti pita-pita perak. Jembatan-jembatan kayu dan batu melintang di mana-mana. Suara air mengalir, gemericik lembut, adalah soundtrack kota ini. Pepohonan hijau tumbuh subur di sepanjang tepian air, dan atap-atap rumah berwarna genting tanah liat merah terlihat damai.
"Kita sampai!" seru Lanxi, melompat kegirangan.
Bahkan Xuqin terlihat lega dan senang. Su Yue hanya berdiri memandang. Kota ini begitu hidup, begitu berbeda dengan kehancuran dan kesunyian yang melekat dalam ingatannya. Jantungnya berdebar kencang. Ini adalah babak baru. Tempat dimana dia akan mulai berlatih, mulai mencari kekuatan, dan mungkin, memahami sedikit tentang kehidupan selain dari kesedihan.
Mereka berjalan menuju gerbang kota. Penjaga hanya melirik mereka, tiga gadis muda yang tampak seperti calon murid sekte, dan membiarkan mereka masuk.
Di dalam kota, kehidupan berjalan ramai namun tidak terlalu hiruk pikuk. Pedagang berteriak menjajakan barang, perahu-perahu kecil melintas di kanal, anak-anak berlarian di tepi sungai. Aromanya adalah campuran makanan, air, tanah, dan manusia.
"Kita harus mencari penginapan dulu," usul Xuqin, praktis seperti biasa. "Besok kita cari informasi tentang ujian penerimaan Sekte Qingyun."
Lanxi mengangguk antusias. Su Yue setuju.
Saat mereka berjalan menyusuri jalan batu yang basah oleh percikan air dari sebuah kincir air, Su Yue memandang sekeliling. Dia melihat wajah-wajah asing, kehidupan yang terus berjalan. Dia merasakan Batu Hati Es Qingyun terasa hangat di dadanya, seolah mengingatkannya akan tujuan yang lebih dalam.
Dia telah sampai. Dia telah bertahan. Dan dia tidak sendirian dalam langkah pertama menuju dunia kultivasi ini. Ada Lanxi dengan semangatnya, Xuqin dengan kebijaksanaannya. Dan ada kenangan akan seorang remaja dingin dan percaya diri yang memberinya petunjuk.
Perjalanan mencari arti belum dimulai. Ini baru persiapan. Tapi setidaknya, kali ini, dia memiliki tempat untuk memulai, dan mungkin, teman untuk berbagi kesunyian di perjalanan. Sebuah benih kecil harapan, rapuh seperti es di musim semi, mulai tumbuh di antara bekuannya hati Su Yue. Dia tidak tahu apakah benih itu akan bertahan di dunia kultivasi yang kejam, tapi untuk saat ini, itu cukup. Cukup untuk membuatnya melangkah lebih jauh, memasuki keramaian Kota Mata Air, menuju takdir yang belum tertera.