"Kembalikan benihku yang Kamu curi Nona!"
....
Saat peluru menembus kaki dan pembunuh bayaran mengincar nyawanya, Mora Valeska tidak punya pilihan selain menerima tawaran gila dari seorang wanita tua yang menyelamatkannya untuk mengandung penerus keluarga yang tak ia kenal.
5 tahun berlalu. Mora hidup tenang dalam persembunyian bersama sepasang anak kembar yang tak pernah tahu siapa ayah mereka. Hingga akhirnya, masa lalu itu datang mengetuk pintu. Bukan lagi wanita tua itu, melainkan sang pemilik benih sesungguhnya—Marco Ramirez.
"Benihmu? Aku merasa tak pernah menampung benihmu, Tuan Cobra!" elak Mora, berusaha melindungi buah hatinya.
Marco menyeringai, tatapannya mengunci Mora tanpa ampun. "Kemarilah, biar kuingatkan dengan cara yang berbeda."
Kini, Mora harus berlari lagi. Bukan untuk menyelamatkan diri sendiri, tapi untuk menjaga anak-anaknya dari pria yang mengklaim mereka sebagai miliknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kenz....567, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perhatian Di Balik Wajah Sangar
Mora melangkah keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih setengah basah, melilitkan handuk kecil di lehernya untuk menahan tetesan air yang jatuh. Ia baru saja selesai mandi, membiarkan guyuran air dingin membasuh rasa lelah dan ketegangan yang menumpuk seharian ini. Harum sabun lavender menguar lembut dari tubuhnya, memberikan sedikit ketenangan di tengah badai emosi yang baru saja ia alami.
Seperti rutinitas biasanya, setelah berpakaian Mora akan menyempatkan diri untuk mengecek kedua anaknya sebelum tidur, memastikan selimut mereka terpasang rapi dan tidak ada nyamuk yang mengganggu tidur lelap buah hatinya. Dengan langkah pelan agar tidak menimbulkan suara, ia memutar gagang pintu kamar anak-anak dan mendorongnya perlahan.
Namun, pemandangan yang menyambutnya di balik pintu membuat langkahnya terhenti seketika.
Biasanya, ia akan melihat Vier dan Rakael tidur berpelukan atau saling menendang selimut. Tapi malam ini, ada pemandangan asing yang mengguncang hatinya. Di sana, di atas kasur berukuran sedang itu, seorang pria berbaring miring sambil mendekap kedua anaknya dalam pelukan protektif.
Marco Ramirez, pria itu telah melepas jas mahalnya, menyisakan kemeja putih yang kini terlihat kusut di beberapa bagian. Lengan kemejanya digulung hingga siku, memperlihatkan otot lengan yang kokoh. Wajahnya yang biasanya keras dan penuh intimidasi kini terlihat damai saat tertidur, dengan satu tangan melingkari tubuh mungil Rakael dan tangan lainnya menjadi bantal bagi kepala Vier.
Mora tertegun, pemandangan itu begitu hangat. Seolah-olah ada kepingan puzzle yang hilang selama ini akhirnya menemukan tempatnya. Aura seorang daddy menguar kuat dari sosok Marco. Tanpa sadar, Mora menahan napasnya, takut merusak momen rapuh itu.
Tiba-tiba, kelopak mata Marco bergerak. Perlahan, mata tajam itu terbuka dan langsung terkunci pada sosok Mora yang berdiri mematung di ambang pintu.
Mora tersentak kaget, wajahnya memanas karena tertangkap basah sedang memandangi pria itu. Jantungnya berdegup tak karuan, salah tingkah. Dengan cepat, ia mengalihkan pandangannya ke arah lemari, berpura-pura mengecek sesuatu.
Marco tersenyum tipis melihat reaksi itu. Ia bergerak pelan, melepaskan pelukannya dari anak-anak dengan sangat hati-hati agar tidak membangunkan mereka. Setelah berhasil turun dari kasur tanpa suara, ia berjalan mendekati pintu, lalu menutupnya perlahan di belakang punggungnya.
Kini, mereka berdua berdiri berhadapan di lorong sempit depan kamar.
"Aku bisa menginap malam ini di sini?" tanya Marco, suaranya rendah dan serak khas bangun tidur, namun tatapannya menuntut.
Mora langsung memasang tembok pertahanannya kembali. "Tidak ada kamar kosong di sini," balasnya ketus, berusaha terdengar tidak peduli.
"Aku bisa tidur di kursi ruang tamu. Atau di lantai sekalipun," balas Marco, nadanya terdengar keras kepala. Ia tidak akan pergi, tidak setelah menemukan apa yang ia cari selama ini.
Mora menatapnya tak percaya. Seorang Marco Ramirez mau tidur di kursi kayu reyot? "Terserah," ucap Mora akhirnya, terlalu lelah untuk berdebat. Ia membalikkan badan dan melangkah pergi menuju kamarnya sendiri, meninggalkan Marco yang menatap punggungnya dengan kening berkerut.
"Kenapa dia terlihat begitu dendam padaku? Apa salahku selain mencari anak-anakku?" gumam Marco pada dirinya sendiri. Ia menghela napas panjang, lalu mengangkat bahunya acuh tak acuh.
Marco berjalan menuju ruang tamu. Ia menghempaskan tubuh besarnya ke kursi kayu panjang beralaskan busa tipis yang sudah kempes di sana-sini. Kursi itu jelas tidak didesain untuk pria setinggi 185 cm sepertinya. Kakinya menggantung di ujung kursi, dan punggungnya langsung protes karena permukaannya yang keras.
Marco mencoba mencari posisi nyaman, bergeser ke kiri dan ke kanan, namun sia-sia. Kursi itu benar-benar menyiksa. "Sial, tulangku bisa remuk kalau begini terus," keluhnya pelan.
Meskipun tubuhnya kesakitan, hatinya terasa penuh. Ingatan tentang pelukan hangat anak-anaknya tadi masih membekas di kulitnya. "Tanpa tes DNA sekalipun, aku yakin seratus persen mereka anak-anakku. D4rah Ramirez mengalir deras di nadi mereka," gumam Marco sambil tersenyum sendiri dalam kegelapan.
Ia memejamkan mata, mencoba tidur. Namun, tantangan baru muncul. Udara di ruang tamu terasa panas dan lembap karena tidak ada AC, hanya kipas angin tua yang berputar lambat. Marco merasa gerah, keringat mulai membasahi punggungnya. Dengan frustrasi, ia membuka dua kancing teratas kemejanya dan mengibas-ngibaskan kerahnya.
Belum cukup dengan panas, musuh kecil bersayap mulai melancarkan serangan udara.
Ngiiing!
Suara dengungan nyamuk terdengar di telinganya, diikuti rasa gatal yang menyengat di leher dan lengan.
Plak!
Marco menepuk lehernya sendiri dengan keras. Kosong. Nyamuk itu sudah terbang.
"Argh! Hewan apa itu? Kenapa gatal sekali dan bunyinya mengganggu!" gerutu Marco sambil menggaruk tangan dan dadanya yang mulai bentol-bentol. Ia benar-benar frustrasi. Bagaimana bisa orang tidur dengan gangguan seperti ini?
Plak!
Plak!
Marco menepuk udara kosong berkali-kali seperti orang gila.
"Pakai ini."
Sebuah suara menghentikan aksi tepuk nyamuk Marco. Ia menoleh dan melihat Mora berdiri di dekatnya, menyodorkan satu sachet lotion anti nyamuk berwarna merah muda.
Marco menatap benda asing itu dengan bingung. Ia tidak langsung mengambilnya, malah mendongak menatap wajah Mora yang terlihat kesal namun ... peduli?
Dengan ragu, Marco menerima sachet itu. Ia membolak-baliknya, membaca tulisan kecil di kemasannya dengan mata menyipit dalam keremangan.
"Cara pakainya bagaimana? Diminum?" tanya Marco polos. Seumur hidup tinggal di rumah steril, ia tidak pernah berurusan dengan lotion nyamuk sachet.
Mora mendelik. Tanpa aba-aba, ia menghempaskan pantatnya duduk di sebelah Marco dengan kasar, membuat kursi kayu itu berderit protes.
"Kalau kamu yang minum, kamu yang m4ti keracunan. Aku sih senang-senang saja, tapi kasihan orang tuamu nanti menangisi mayat anaknya," desis Mora tajam.
Marco mendengus kesal. "Mulutmu itu ...,"
Mora tidak membiarkannya bicara. Ia merebut kembali sachet itu dari tangan Marco, mer0bek ujungnya dengan gigi, lalu menuangkan cairan kental berwarna merah muda ke telapak tangannya. Aroma floral yang menyengat langsung memenuhi udara.
Tanpa permisi, Mora meraih lengan kekar Marco dan mulai mengoleskan lotion itu dengan gerakan cepat namun merata.
Ada sensasi aneh yang menjalar saat kulit telapak tangan Mora yang halus bersentuhan dengan kulit lengan Marco yang kasar dan berbulu halus. Marco terdiam, matanya terpaku pada wajah Mora yang begitu dekat. Dalam jarak sedekat ini, ia bisa melihat bulu mata lentik wanita itu, serta gurat kelelahan yang tersembunyi di balik ekspresi galaknya.
Mora, di sisi lain, berusaha mati-matian mengabaikan degup jantungnya yang semakin kencang. Kulit Marco terasa hangat di bawah sentuhannya. Otot-otot lengan pria itu terasa keras dan tegang. Kenapa ia melakukan ini? Harusnya ia biarkan saja pria ini dimakan nyamuk sampai anemia.
"Sudah," ucap Mora cepat, menarik tangannya seolah tersengat listrik.
Marco menatap lengannya yang kini berkilau karena lotion. Rasa gatalnya perlahan mereda digantikan sensasi dingin. "Kakiku belum," ucap Marco, menunjuk kakinya yang terekspos karena celana bahannya sedikit terangkat.
Mora mendelik tajam, matanya seolah ingin menelan Marco hidup-hidup. "Pake sendiri! Kan udah dicontohin! Kamu punya tangan kan?" sentak Mora.
Ia meletakkan sisa sachet itu dengan kasar di meja, lalu bangkit berdiri dan melangkah pergi dengan hentakan kaki yang disengaja.
Marco menatap punggung Mora yang menghilang di balik pintu kamar, senyum geli terukir di bibirnya.
"Dia selalu marah-marah, tapi perhatian," gumam Marco pelan. Ia meraih sachet itu, menuangkan isinya ke tangan, dan mulai mengoleskannya ke kakinya sendiri dengan perasaan yang sulit dijelaskan.
"Baunya seperti kuburan, pantas nyamuk tidak suka," gumamnya sambil mengendus lotion itu, lalu kembali berbaring. Kali ini, tidurnya sedikit lebih nyenyak.
Walau terkesan santai, tp Raka jeli
Itu bagus
Tau & kelak bergerak dlm senyap
Bkn mengawal...tp mengawasi !
Pacti celuuu nyanyi baleenngg 😆😆
Suruhan siapa lagi ini
Wah bahaya ini.