Ia ditemukan di tengah hujan, hampir mati, dan seharusnya hanya menjadi satu keputusan singkat dalam hidup seorang pria berkuasa.
Namun Wang Hao Yu tidak pernah benar-benar melepaskan Yun Qi.
Diadopsi secara diam-diam, dibesarkan dalam kemewahan yang dingin, Yun Qi tumbuh dengan satu keyakinan: pria itu hanyalah pelindungnya. Kakaknya. Penyelamatnya.
Sampai ia dewasa… dan tatapan itu berubah.
Kebebasan yang Yun Qi rasakan di dunia luar ternyata selalu berada dalam jangkauan pengawasan. Setiap langkahnya tercatat. Setiap pilihannya diamati. Dan ketika ia mulai jatuh cinta pada orang lain, sesuatu dalam diri Hao Yu perlahan retak.
Ini bukan kisah cinta yang bersih.
Ini tentang perlindungan yang terlalu dalam, perhatian yang berubah menjadi obsesi, dan perasaan terlarang yang tumbuh tanpa izin.
Karena bagi Hao Yu, Yun Qi bukan hanya masa lalu
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon frj_nyt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5
Pagi datang tanpa suara. Tidak ada teriakan. Tidak ada bunyi pintu dibanting. Tidak ada suara piring pecah atau langkah kaki tergesa yang biasanya menjadi tanda dimulainya hari Yun Qi.
Ia terbangun perlahan, masih setengah tidak percaya bahwa kasur empuk di bawah tubuhnya nyata. Selimutnya hangat, bau sabun lembut menempel di bantal. Cahaya matahari masuk dari sela tirai, jatuh lembut di lantai kayu.
Yun Qi membuka mata sepenuhnya. Ia masih di kamar itu. Bukan mimpi. Ia duduk pelan, kakinya menyentuh lantai yang dingin. Seketika ia menegakkan punggung kebiasaan lama seolah takut ada seseorang yang akan menegurnya karena bangun terlambat. Tidak ada siapa-siapa. Jam di dinding menunjukkan pukul tujuh.
Ia menelan ludah, lalu berdiri. Pintu kamar dibuka sedikit, ia mengintip ke luar. Apartemen itu masih sunyi. Terlalu sunyi untuk rumah yang ia kenal selama sepuluh tahun hidupnya. Yun Qi melangkah keluar dengan hati-hati.
Di dapur, ia melihat Wang Hao Yu berdiri di depan meja marmer, mengenakan kemeja putih dan celana hitam. Rambutnya rapi, wajahnya tenang, seolah semalam tidak ada keputusan gila yang ia ambil. “Selamat pagi, Pak,” sapa Yun Qi cepat, suaranya sedikit gugup. Hao Yu menoleh. “Bangun.”
“Iya, Pak.” Yun Qi ragu sejenak. “Apa… saya perlu bantu?”
“Tidak.”
Hao Yu mengambil piring, meletakkan roti dan telur sederhana di atasnya. Ia mendorong piring itu ke arah Yun Qi. “Makan.” Yun Qi mendekat. Ia duduk di kursi tinggi, kakinya tidak menyentuh lantai. “Makanan ini… saya boleh habiskan?” tanyanya, refleks.
“ya.”
“Kalau saya tidak habis—”
“Habiskan,” potong Hao Yu datar. “Tubuhmu butuh itu.” Yun Qi mengangguk cepat. “Baik, Pak.” Ia makan perlahan, tapi lebih cepat dari malam sebelumnya. Rasa hangat di perutnya membuat dadanya terasa aneh campuran lega dan takut. Lega karena kenyang. Takut karena semua ini terasa terlalu baik.
Hao Yu memperhatikannya sebentar, lalu berkata, “Hari ini aku akan keluar.” Yun Qi menegang. “Oh… saya akan sendirian?”
“Ya.”
Ia menunduk. “Saya tidak akan keluar kamar. Saya janji.”
“Tidak perlu berjanji,” jawab Hao Yu. “Ada pembantu yang datang siang. Kau bisa minta apa pun padanya.” Yun Qi mengangguk. Ia ragu sejenak sebelum bertanya, “Pak… setelah hari ini, saya… harus pergi ke mana?” Pertanyaan itu akhirnya keluar.
Hao Yu terdiam beberapa detik. Ia menyandarkan tubuh ke meja dapur, menatap Yun Qi dengan ekspresi yang sulit dibaca. “Kau tidak akan pergi,” katanya akhirnya. Yun Qi mendongak cepat. “Maksudnya…?”
“Aku sedang mengurus sesuatu,” lanjut Hao Yu. “Untuk sementara, kau tinggal di sini.”
“Untuk sementara… berapa lama itu?” tanya Yun Qi pelan. “Selama diperlukan.” Jawaban itu tidak pasti, tapi cukup untuk membuat Yun Qi menarik napas lebih dalam. “Terima kasih, Pak,” ucapnya tulus. Hao Yu mengangguk singkat, lalu mengambil ponselnya.
Kantor notaris terasa dingin. Hao Yu duduk di kursi kulit hitam, menatap dokumen di hadapannya. Di seberang meja, seorang pria paruh baya berkacamata membaca berkas dengan hati-hati. “Anak ini tidak memiliki wali resmi?” tanya notaris itu.
“Tidak,” jawab Hao Yu singkat.
“Dan keluarga kandungnya?”
“Tidak dapat dihubungi.”
Notaris mengangguk pelan. “Prosesnya bisa dilakukan, tapi akan membutuhkan beberapa dokumen tambahan. Anda yakin ingin melanjutkan ini, Tuan Wang?” Hao Yu tidak langsung menjawab.
Ia teringat wajah Yun Qi saat bertanya apakah ia harus pergi. Terlalu terbiasa ditinggalkan. Terlalu siap untuk kembali ke jalan. “Ya,” jawabnya akhirnya. “Saya yakin.”
“Adopsi penuh?” tanya notaris.
“Ya.”
Notaris itu terdiam sejenak, lalu menghela napas kecil. “Baik. Kita akan lakukan ini secara tertutup.” Hao Yu menandatangani dokumen itu tanpa ragu. Nama Yun Qi tertulis di sana. Dengan tinta hitam. Dengan legalitas. Dengan keputusan yang tidak bisa ditarik kembali.
Sore hari, Yun Qi duduk di sofa, memegang buku bergambar yang disediakan pembantu. Ia tidak benar-benar membaca. Pikirannya melayang. Pintu terbuka. Ia berdiri refleks. “Pak.”
Hao Yu masuk, meletakkan tas kerjanya. “Duduk,” katanya singkat. Yun Qi duduk kembali, jantungnya berdegup cepat. Ada sesuatu di cara Hao Yu menatapnya lebih serius dari biasanya. “Mulai hari ini,” kata Hao Yu, “kau akan tinggal di sini.”
Yun Qi mengangguk. “Aku akan mengurus sekolahmu.”
“Sekolah?” ulang Yun Qi pelan.
“Ya.” Matanya membesar. “Saya… boleh sekolah?”
“Kau seharusnya sudah sekolah,” jawab Hao Yu datar. “Tapi saya tidak punya seragam.”
“Akan ku beli kan.”
“Saya tidak punya buku.”
“Akan ku sediakan.”
“Saya—”
“Yun Qi,” panggil Hao Yu.
“Iya, Pak.”
“Kau tidak perlu memikirkan itu.”
Yun Qi terdiam. “Ada satu hal lagi,” lanjut Hao Yu. “Secara hukum, aku akan menjadi walimu.” Kata itu menggantung di udara. “Wali…?” ulang Yun Qi, suaranya bergetar.
“Artinya,” kata Hao Yu tenang, “kau adalah tanggung jawabku.” Yun Qi menatap lantai. Matanya panas. “Apakah… saya boleh memanggil Anda apa saja?” tanyanya hati-hati.
Hao Yu terdiam. “Panggil saja Tuan Wang. Atau… Pak.” Yun Qi mengangguk. “Baik, Pak.”
Ia menggenggam ujung bajunya sendiri, menahan perasaan yang membuncah di dadanya. Ia ingin menangis, tapi tidak tahu apakah itu diperbolehkan. “Malam ini,” kata Hao Yu lagi, “kau pindah ke kamar yang lebih dekat dengan ruang utama.”
“Kenapa?” tanya Yun Qi spontan.
“Agar mudah diawasi.”
“Oh.” Yun Qi mengangguk. “Baik.”
Ia berdiri, membungkuk kecil. “Terima kasih… sudah tidak mengusir saya.” Hao Yu menatapnya cukup lama. “Aku tidak menyelamatkanmu untuk mengusirmu,” katanya akhirnya.
Yun Qi mengangguk, bibirnya bergetar. Malam itu, ia tidur di kamar baru. Dengan nama yang kini tercatat resmi. Dengan hidup yang untuk pertama kalinya tidak bergantung pada belas kasihan sesaat.
Di ruang kerja, Hao Yu berdiri di depan jendela, menatap kota yang berkilau. “Mulai sekarang,” gumamnya pelan, “kau milikku untuk dijaga.” Dan tanpa ia sadari Itu bukan hanya tanggung jawab. Itu adalah awal keterikatan yang akan mengubah segalanya.