ongoing
Tian Wei Li mahasiswi miskin yang terobsesi pada satu hal sederhana: uang dan kebebasan. Hidupnya di dunia nyata cukup keras, penuh kerja paruh waktu dan malam tanpa tidur hingga sebuah kecelakaan membangunkannya di tempat yang mustahil. Ia terbangun sebagai wanita jahat dalam sebuah novel.
Seorang tokoh yang ditakdirkan mati mengenaskan di tangan Kun A Tai, CEO dingin yang menguasai dunia gelap dan dikenal sebagai tiran kejam yang jatuh cinta pada pemeran utama wanita.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon frj_nyt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#5
Wei Li belajar satu hal penting pagi itu di dunia orang kaya, perang jarang dimulai dengan senjata. Biasanya dimulai dengan senyum, bisikan, dan segelas anggur mahal.
Ia berdiri di depan cermin besar kamarnya sementara dua pelayan membantu merapikan gaun biru tua yang jatuh sederhana di tubuhnya. Tidak terbuka. Tidak mencolok. Tidak sesuai dengan gaya Lu Xian Yue yang dulu—dan itu disengaja. “Apa aku harus kelihatan lebih… galak?” tanya Wei Li sambil mengamati pantulan dirinya.
Jae Hyun, yang berdiri bersandar di pintu sambil memainkan ponsel, mengangkat kepala. “Nyonya kelihatan seperti orang yang bisa membeli pulau dan membakar isinya tanpa berkedip.” Wei Li mengangguk puas. “Bagus.”
Hari ini ada acara makan siang amal. Kedengarannya mulia. Kenyataannya? Ajang pamer kekuasaan, koneksi, dan siapa yang paling bersih di luar tapi paling kotor di dalam. Wei Li tahu ini sebuah jebakan. Karena Shen Yu An pasti ada di sana.
Mobil hitam berhenti di depan gedung megah yang dipenuhi karpet merah. Kamera berkilatan. Orang-orang tersenyum seperti aktor kelas dunia. Wei Li turun dengan langkah tenang, dagunya terangkat, wajahnya datar. Beberapa bisikan langsung terdengar.
“Itu Lu Xian Yue…”
“Katanya dia pingsan kemarin…”
“Masih berani muncul?”
Wei Li menangkap semuanya. Ia tidak menoleh. Tidak bereaksi. Di sampingnya, Jae Hyun berbisik, “Kalau Nyonya mau, saya bisa menjatuhkan seseorang dari balkon.” Wei Li menahan senyum. “Simpan dulu tenaga kriminalmu itu.”
Di dalam aula, Shen Yu An berdiri dikelilingi beberapa wanita bangsawan dan istri investor. Gaunnya hari ini warna krem lembut, ekspresi wajahnya tenang dan ramah seolah seperti malaikat yang tidak pernah menyentuh lumpur. Begitu melihat Wei Li, matanya berbinar. “Xian Yue,” katanya sambil melangkah mendekat. “Aku senang kau datang.”
"hmm sayang sekali,” jawab Wei Li ringan. Beberapa orang di sekitar mereka tertawa kecil, mengira itu candaan. Shen Yu An ikut tertawa, tapi matanya dingin.
Makan siang berlangsung normal selama dua puluh menit pertama. Obrolan ringan. Donasi. Senyum palsu. Lalu Shen Yu An mulai bergerak. “Ngomong-ngomong,” katanya santai sambil memutar sendok kecil di cangkir tehnya, “aku dengar ada dana amal yang… tersendat.”
Beberapa kepala langsung menoleh. Wei Li tetap makan. “Oh?”
“Iya,” lanjut Shen Yu An lembut. “Katanya ada kesalahan sistem. Dana yang seharusnya disalurkan malah tertahan.” Seorang wanita di ujung meja mengerutkan kening. “Bukankah bagian itu dipegang oleh…?” Semua mata perlahan mengarah ke Wei Li. Ah, Ini dia. Wei Li meletakkan sendoknya dengan tenang. “Dipegang oleh yayasan,” katanya. “Bukan aku.”
Shen Yu An menatapnya penuh pengertian palsu. “Tentu saja. Tapi bukankah kau yang mengawasi sistem keuangannya?”. Wei Li tersenyum kecil “Kau dengar dari siapa?”. Shen Yu An terdiam sesaat “Oh, hanya… kekhawatiran.”
“Kekhawatiran yang sangat spesifik,” balas Wei Li. Suasana berubah kaku. Wei Li menyandarkan punggung. “Kalau ada dana yang tertahan, berarti ada yang mengutak-atik sistem. Dan aku penasaran kenapa semua orang langsung menoleh ke arahku?” Keheningan langsung datang. Salah satu pria paruh baya berdeham. “Kami hanya—”
“Takut,” potong Wei Li. “Karena lebih mudah menuduh orang yang reputasinya buruk.” Beberapa wajah memerah. Shen Yu An tersenyum tipis. “Kau terlalu sensitif.”
Wei Li menatapnya lurus. “Dan kau terlalu suka bermain bersih sambil menginjak orang.” Itu bukan kalimat yang pantas di acara amal. Tapi Wei Li tidak peduli. Wei Li berdiri. “Jae Hyun.” Asistennya langsung melangkah maju. “Ya, Nyonya.”
“Hubungi tim IT. Sekarang.” Beberapa menit kemudian, tablet dibawa ke meja. Wei Li mengambilnya, jarinya bergerak cepat. Terlalu cepat untuk ukuran wanita yang dianggap hanya boneka kaya. “Dana tidak hilang,” katanya. “Dialihkan sementara.”
Shen Yu An mengernyit. “Dialihkan ke mana?” Wei Li mengangkat pandangan. “Ke rekening bayangan. Yang dibuat… dua hari lalu.”
Ia memutar layar tablet, memperlihatkan nama pemilik akun. Bukan Wei Li. Melainkan donatur dekat Shen Yu An. Bisikan meledak. Shen Yu An membeku. “Itu tidak-”
“Aku belum selesai,” potong Wei Li dingin. “Alamat IP yang digunakan… berasal dari jaringan internal. Bukan luar.” Beberapa orang mulai berdiri. Wei Li menatap Shen Yu An. “Kalau mau menjebakku, setidaknya jangan pakai cara murahan.”
Wajah Shen Yu An pucat sesaat. Tapi hanya sesaat. Ia segera tersenyum lagi. "Kesalahpahaman,” katanya lembut. “Syukurlah kau meluruskannya.” lanjut Shen Yu An
Wei Li mendekat, menurunkan suara. “Lain kali, pastikan pisau yang kau pakai cukup tajam.” Shen Yu An menatapnya. Untuk pertama kalinya, ada kebencian muncul di sana. Acara bubar lebih cepat dari seharusnya.
Di dalam mobil, Wei Li bersandar lelah. “Brutal,” kata Jae Hyun kagum. “Saya hampir terharu.” Wei Li menghela napas “Gue benci drama.”
“Sayangnya drama mencintai Nyonya.” celetuk Jae Hyun. Saat mobil berhenti di lampu merah, Wei Li menatap keluar jendela. Di seberang jalan, sebuah mobil hitam lain terparkir. Di dalamnya, seorang pria duduk dengan tenang. Kun A Tai.
Tatapan mereka bertemu. Tidak ada senyum. Hanya pengamatan. Dan ketertarikan yang berbahaya. Wei Li merasakan perutnya tiba-tiba mules. “Kenapa dia lihat gue kayak mau menguliti njir?” gumamnya.
Jae Hyun melirik. “Karena mungkin… Tuan Kun tidak menyukai orang yang keluar dari kendalinya.” ucap Jae Hyun spontan. Mobil Kun A Tai melaju lebih dulu. Wei Li bersandar lagi, menutup mata. Fitnah pertama berhasil ia patahkan. Tapi ia tahu Ini baru sebuah awal. Dan di dunia ini, yang kalah bukan yang salah. Melainkan yang tidak siap.