NovelToon NovelToon
CINDELOKA

CINDELOKA

Status: sedang berlangsung
Genre:Ilmu Kanuragan / Dunia Lain / Action / Spiritual / Epik Petualangan / Roh Supernatural
Popularitas:323
Nilai: 5
Nama Author: teguhsamm_

Raden Cindeloka Tisna Sunda, seorang bocah laki laki berparas tampan dari Klan Sunda, sebuah klan bangsawan tua dari Sundaridwipa yang hanya meninggalkan nama karena peristiwa genosida yang menimpa klannya 12 tahun yang lalu. keberadaannya dianggap membawa sial dan bencana oleh warga Sundari karena ketampanannya. Suatu hari, seluruh warga Sundari bergotong royong menyeret tubuh kecil Cindeloka ke sebuah tebing yang dibawahnya air laut dengan ombak yang mengganas dan membuangnya dengam harapan bisa terbebas dari bencana. Tubuh kecilnya terombang ambing di lautan hingga membawanya ke sebuah pulau misterius yang dijuluki sebagai pulau 1001 pendekar bernama Suryadwipa. di sana ia bertemu dengan rekannya, Lisna Chaniago dari Swarnadwipa dan Shiva Wisesa dari Suryadwipa yang akan membawanya ke sebuah petualangan yang epik dan penuh misteri gelap.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon teguhsamm_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Teman Sekamar

Langit sore mulai meremang. Awan jingga berubah menjadi ungu, kemudian menjadi kelam, tanda malam siap turun ke Suryadwipa. Di atas dahan pohon tinggi, Cindeloka masih duduk sambil memainkan sulingnya, nada lembut bercampur angin.

Suara langkah terdengar dari bawah.

Kang Wijen menatapnya dari bawah pohon, tangan disilangkan.

"Cindeloka. Sudah cukup main sulingnya. Malam hampir tiba. Masuklah ke Asrama Putra. Kamar 9, lantai dua."

Cindeloka menyimpan sulingnya dan melompat turun.

"Baik, Kang. Tapi jangan salahkan kalau aku bikin asrama makin ramai ya."

"Asrama itu sudah cukup ramai tanpa kau." balas Kang Wijen dengan santai.

Cindeloka nyengir lebar.

Bentuk arsitektur asrama Padepokan Suryajenggala dibuat seperti candi Prambanan yang berada di sebelah timur. Asrama-asrama murid berada di kompleks yang sama, simetris namun memiliki karakter masing-masing, bangunannya terhubung oleh jembatan yang berada ditengahnya yang dibawahnya terdapat kolam penuh ikan, terdapat taman kecil di sekitar halaman asrama yang dihiasi bunga-bunga.

Asrama putra dibangun menyerupai Candi Shiva, dengan struktur tiga tingkat yang dihiasi relief singa dan burung garuda. Lorong-lorongnya panjang, dingin, dan penuh bayangan. Setiap pintu kamar berukir pola flora Jawa Kuno. Pada malam hari, obor di sepanjang teras menyalakan cahaya keemasan yang memantul di batu hitam, menciptakan kesan tegas dan maskulin.

Asrama putri mengambil inspirasi dari Candi Brahma, bentuknya lebih ramping, indah, dan halus. Relief-relief bidadari dan sulur anggrek menghiasi dinding luar. Jendela-jendela tinggi membiarkan sinar matahari masuk lembut setiap pagi, menyalakan gemericik air dari kolam kecil di halaman yang dipenuhi teratai merah muda.

Kedua asrama dihubungkan oleh jalan batu dengan lentera-lentera kecil yang menyala biru saat malam tiba-menghasilkan suasana magis yang tak ditemukan di padepokan lain

Cindeloka memasuki asrama putra di bagian kiri asrama putri dan menatap bangunan tersebut dengan kagum tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata.

Semuanya hidup.

Obor menyala di setiap pilar, bayangan para murid melintas di lorong-lorong, suara tertawa, gosip, dan latihan ringan terdengar dari berbagai kamar.

"Gila... ini tempat tidur? Atau tempat ritual raksasa?" ujar Cindeloka dengan wajah terpukau.

Ia naik ke lantai dua, melewati deretan pintu kayu dengan angka kuningan. Hiruk pikuk para murid di asrama berlalu lalang sambil membicarakan Cindeloka dari belakang dengan wajah penuh waspada dan curiga. Namun Cindeloka menghiraukan gosipan tersebut dan melanjutkan langkah kakinya menuju kamar 9.

Kamar 9 Bertuliskan 'SATRIA' dengan arca

Ia mengetuk pelan, lalu masuk.

Begitu pintu terbuka, BLAR!

Kepulan asap rokok tebal menyambutnya seperti kabut perang.

"Khhk! KHAAK! Ini kamar atau cerobong pabrik?!" Ujar Cindeloka dengan batuk batuk

Di dalam, duduk seorang bocah yang sudah ia kenal.

Shiva.

Sang bocah kulkas.

Tapi kali ini... lebih ekstrem.

Ia duduk bersandar di ranjang, bertelanjang dada, hanya memakai celana putih dan sarung Bali yang tergantung di pinggangnya. Di tangannya terdapat sebatang batang rokok yang diisap bersamaan seperti naga kecil.

Dinding kamarnya terbuat dari batu marmer yang disemen diukir indah oleh arca di bagian bawah. Lantainya terbuat dari papan kayu jati, terdapat kamar mandi di sebelah kanan yang jaraknya 4 cm dari ranjang kanan, terdiri dari dua ranjang yang ditengah tengahnya terdapat jendala bulat besar dengan ukiran batik khas pekalongan yang bisa dibuka seperti pintu dan di luar terdapat balkon seukuran 5×4 cm.

Asap mengepul dari mulutnya dengan santai.

"SERIOUSLY?! Umur 12 tapi sudah merokok?!" ucap Cindeloka dengan mata terbelalak kaget melihat Shiva merokok.

Shiva menoleh sedikit, tatapan dinginnya tak berubah.

"Mataku tidak buta. Aku tahu umurku sendiri."

"Bang Kulkas, itu lima rokok. Sekaligus! Kau mau paru-paru gosong?!"

Shiva mendengus.

"Kalau paru-paruku gosong, itu bukan urusanmu."

Cindeloka memutar bola mata.

"Ya ampun... bocah apa batu es sih."

Ia mulai menaruh barangnya di ranjang sebelah kiri. Lalu tanpa ragu-

Ia membuka baju silatnya, menggantinya dengan baju rompi khasnya dan melemparkannya ke kasur dan juga membunyikan suling bambunya dengan nada yang merdu.

Shiva melirik sekilas.

"Kenapa kau main suling tengah malam?"

"Karena aku nggak mau kalah keren dari kamu. Lagian supaya suasana kamar tidak beku seperti Antartika." Jawab Cindeloka

Shiva diam.

Cindeloka lanjut bicara sambil mengganti celana silatnya menjadi celana pendek lusuh khasnya.

"Kenalin resmi ya. Raden Cindeloka Tisna, Klan Sunda. Pengendali elemen angin. Bocah tampan. Jago suling. Dan sekarang tinggal sekamar sama kulkas hidup."

"Tidak lucu." celetuk Shiva dengan nada datar dan ekspresi jijik.

"Serius. Mulai malam ini, kita punya aturan baru:

kalau malam, suara suling harus terdengar.

Sampai matahari terbit." seru Cindeloka sambil memperlihatkan wajah tampannya yang tengil.

Shiva tidak menjawab.

Ia hanya merokok, memejamkan mata, dan menghela napas panjang.

"Terserah."

Cindeloka terdiam sebentar, kaget karena Shiva tak memprotes.

Asap rokok terakhir padam.

Shiva rebah ke kasurnya, memalingkan wajah.

"Jangan ganggu aku."

Lalu dalam hitungan detik-bocah itu sudah tertidur.

Wajahnya tenang, namun aura dingin tetap terasa.

"Aneh banget nih bocah... tapi ya udahlah." ujar Cindeloka dengan pelan.

Cindeloka pun tertidur ditemani oleh asap rokok dari Shiva yang menyusul tidur.

Pagi datang perlahan.

Sinar matahari masuk dari ventilasi kamar, mengenai wajah Cindeloka yang masih terlelap, rambut coklatnya tergerai acak. Ia bangun sambil meregangkan badan.

Shiva masih tidur pulas, juga bertelanjang dada, wajahnya seperti pahatan batu.

"Bangunannya mirip Candi Prambanan... tapi isinya bocah-bocah aneh semua." ucap Cindeloka dalam hati nuraninya.

Ia mengambil handuk, menggantungkan kalung liontinnya, lalu ke kamar mandi dekat ranjang milik Shiva.

Shiva tetap tidur, napasnya tenang, dingin seperti biasa-seolah dunia lain tak pernah mengusik mimpinya.

Padahal di dalam dirinya, tersimpan sesuatu yang bisa membakar seluruh Suryadwipa habis... sekali lagi.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!