Di balik gunung-gunung yang menjulang,ada dunia lain yang penuh impian. Dunia Kultivator yang mampu mengendalikan elemen dan memanjangkan usia. Shanmu, seorang pemuda desa miskin yang hidup sebatang kara, baru mengetahuinya dari sang Kepala Desa. Sebelum ia sempat menggali lebih dalam, bencana menerjang. Dusun Sunyi dihabisi oleh kekuatan mengerikan yang bukan berasal dari manusia biasa, menjadikan Shanmu satu-satunya yang selamat. Untuk mencari jawaban mengapa orang tuanya menghilang, mengapa desanya dimusnahkan, dan siapa pelaku di balik semua ini, ia harus memasuki dunia Kultivator yang sama sekali asing dan penuh bahaya. Seorang anak desa dengan hati yang hancur, melawan takdir di panggung yang jauh lebih besar dari dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YUKARO, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tebing Penantian dan Harapan yang Rapuh
Shanmu terus berlari. Kakinya, yang telah melintasi gunung dan hutan belantara, kini melesat bagai dikejar oleh bayangan sendiri. Napasnya tersengal-sengal, paru-parunya seperti terbakar, namun ia tidak berhenti. Setiap kali ia memperlambat langkah, bayangan tiga tubuh tak bernyawa itu muncul di pikirannya, diiringi suara tulang retak dan percikan darah yang menghantui. Ia berlari bukan untuk menjauh dari tempat kejadian, tetapi untuk melarikan diri dari diri yang telah berubah menjadi monster dalam pandangannya sendiri.
Tiga hari tiga malam ia terus bergerak, hanya berhenti sebentar untuk meneguk air dari sungai kecil atau mengunyah akar-akaran liar yang ia kenal. Tidur adalah kemewahan yang tak terjangkau, setiap kali matanya terpejam, mimpi buruk akan tatapan kosong ketiga pemuda itu membangunkannya dengan keringat dingin. Tubuhnya yang perkasa mulai memberikan tanda-tanda kelelahan ekstrem. Otot-ototnya berdenyut nyeri, lututnya terasa goyah, dan pandangannya kadang berkunang-kunang.
Akhirnya, pada sore hari ketiga, tubuhnya menyerah. Kakinya terpeleset di lereng berbatu, dan ia terjatuh di sebuah dataran kecil di tepi tebing. Di sana, di bawah naungan pohon pinus tua yang akarnya mencengkeram tebing seperti cakar raksasa, ia bersandar. Napasnya terengah-engah, dadanya naik turun dengan cepat. Dari posisinya yang tinggi, pandangannya terbentang luas. Di kejauhan, di antara lembah yang disinari cahaya keemasan matahari sore, sekumpulan atap rumah berjejer rapi. Sebuah desa lain.
Biasanya, pemandangan itu akan memicu harapan di hatinya. Namun kini, yang ia rasakan adalah getar ketakutan yang dalam. Perlahan, ia mengangkat kedua tangannya. Tangannya yang besar, dengan jari-jari kuat yang biasa mencengkeram pacul dan memanggul batu, kini terlihat kotor oleh debu perjalanan dan... sesuatu yang lebih gelap. Dalam pikirannya, ia melihat noda darah yang tak terhapuskan, meskipun secara fisik tangannya hanya penuh dengan kotoran tanah dan bekas luka goresan.
"Apa gunanya pergi ke sana?" bisiknya pada angin yang berhembus dingin. "Aku hanya akan membawa malapetaka. Atau mereka akan melihat... melihat pembunuh di mataku."
Keragu-raguan yang ia rasakan lebih menyakitkan daripada kelelahan fisik. Hatinya, yang dulu polos dan penuh kepercayaan, kini retak dan penuh dengan ketakutan akan penolakan dan kekerasan. Tapi tubuhnya yang kelelahan tak mampu lagi menahan beban kesadarannya. Di bawah bayangan pohon pinus, dengan pemandangan desa yang menjanjikan namun menakutkan di kejauhan, matanya terpejam. Ia tertidur dengan begitu lelap, seperti orang mati, lelap yang hanya bisa dicapai oleh kelelahan yang melampaui batas.
Keesokan harinya, ia terbangun saat fajar masih kelam, langit baru menunjukkan warna ungu kebiruan di ufuk timur. Jam empat pagi. Tubuhnya memberontak saat ia mencoba bergerak, setiap sendi berteriak kesakitan, otot-ototnya kaku bagai batu. Namun, kebiasaan bangun pagi yang tertanam dalam selama bertahun-tahun mengalahkan rasa sakit itu. Dengan perlahan, seperti orang tua renta, ia bangkit.
Prioritas pertama adalah kehangatan. Dengan gerakan yang terampil meski kaku, ia mencari batu dan membuat api unggun kecil. Nyala api yang kuning jingga itu menjadi teman sekaligus penghibur di kesendiriannya. Setelah itu, naluri bertahan hidup berbicara. Ia memasang jerat sederhana di sekitar tempatnya beristirahat, dan keberuntungan berpihak padanya. Seekor rusa muda yang lengah terperangkap. Ia menyembelihnya dengan cepat, rasa bersalah karena membunuh makhluk hidup tenggelam oleh kebutuhan mendasar dan kenangan akan darah manusia yang jauh lebih mengerikan.
Daging rusa itu ia panggang di atas apinya. Aroma daging terbakar memenuhi udara pagi yang dingin. Ia memakannya dengan lahap, menghabiskan setiap daging hingga hanya tersisa tulang belulang. Makanan hangat itu memberinya kekuatan baru, mengusir sedikit kelam di hatinya.
Kemudian, dengan perut kenyang, ia kembali duduk menghadap tebing. Matanya menatap desa di lembah itu. Ia menatapnya begitu lama, seolah-olah mencoba membaca takdir dari asap yang mengepul dari cerobong-cerobong rumah, dari bentuk atapnya, dari pola sawah di sekelilingnya.
Di dalam dirinya, pertempuran hebat terjadi. Satu sisi ingin lari lagi, menghindari kemungkinan sakit hati dan kekerasan. Sisi lain, yang lebih dalam, adalah jiwa pejuang yang telah bertahan dari kehilangan, kelaparan, dan racun hutan.
"Aku tidak boleh menyerah," gumamnya pada akhirnya, suaranya parau namun berisi tekad. "Karena pantang menyerah adalah kekuatanku. Satu-satunya kekuatan yang masih tersisa."
Meskipun kata-katanya penuh percaya diri, wajahnya menyimpan kesedihan yang dalam saat bayangan pembunuhan itu kembali mengintip. Tapi ia mengusirnya. Ia harus mencoba. Jika tidak, perjalanan setahun dan semua penderitaannya akan menjadi sia-sia.
Dengan tekad yang terkumpul, ia mulai menuruni tebing. Turun lebih sulit daripada naik, tetapi pengalamannya selama setahun di hutan membuatnya lincah. Setelah kakinya menginjak tanah datar di dasar lembah, ia tidak berjalan biasa. Ia berlari lagi. Bukan lari panik seperti sebelumnya, tetapi lari penuh tujuan. Jarak yang terlihat dekat dari atas tebing ternyata cukup jauh, dan ia ingin sampai sebelum malam tiba.
Sore hari, dengan keringat membasahi tubuhnya, ia akhirnya mencapai pinggiran desa. Desanya lebih besar dari Dusun Sunyi, terlihat lebih makmur. Dan yang membuat jantungnya berdetak kencang adalah pemandangan di pintu masuk desa. Para wanita dengan anak-anak kecil di gendongan atau berpegangan tangan, berdiri dengan senyuman cerah, menyambut para suami mereka yang pulang dari ladang atau dari berburu di hutan. Ada tawa, ada pelukan, ada pertukaran cerita. Itu adalah gambaran kedamaian dan cinta yang hampir membuat air matanya menetes. Ini adalah kehidupan yang ia rindukan, kehidupan yang ia kira telah musnah selamanya.
Harapan, seperti tunas kecil yang rapuh, mulai menyeruak lagi dari retakan-retakan di hatinya.
Dengan langkah yang penuh harapan namun masih sedikit ragu, ia mendekati kerumunan itu. Kehadirannya segera menarik perhatian. Pakaiannya yang compang-camping dan penampilannya yang terlunta-lunta membuat beberapa orang melirik dengan keheranan. Seorang pria tua dengan janggut putih yang rapi dan wajah yang bijak, mengenakan pakaian sederhana namun bersih, menghampirinya.
"Nak," suara pria tua itu lembut namun berwibawa. "Kau sedang apa di desa kami? Dari mana asalmu?"
Shanmu segera memberikan senyum tercerah yang bisa ia kumpulkan. Ia sedikit membungkuk, menunjukkan rasa hormat. Pengalaman buruknya membuatnya langsung menjelaskan tanpa ditanya lebih lanjut.
"Saya Shanmu. Saya ke sini ingin mencari tempat tinggal dan pekerjaan. Saya berasal dari desa paling ujung di seberang gunung dan hutan belantara. Butuh satu tahun perjalanan untuk sampai ke sini."
Ia mengucapkan itu dengan cepat, jujur, matanya menatap langsung ke mata pria tua itu, berharap kejujurannya tidak akan disambut dengan tinju.
Pria tua itu mengamatinya dengan saksama. Kerutan di dahinya berkerut sedikit, dan matanya yang tajam seolah membaca kisah di balik pakaian lusuh dan luka-luka di tubuh Shanmu. "Desa paling ujung..." gumannya, seolah mempertimbangkan. "Aku telah hidup delapan puluh tahun di sini, dan belum pernah mendengar ada desa di seberang Hutan Naga Berbisa, bahkan sejauh seratus kilometer."
Hati Shanmu sedikit tenggelam, namun pria tua itu melanjutkan.
"Baiklah, Nak. Sebenarnya, desa kami sedang tidak membutuhkan tenaga kerja tambahan. Semua lahan dan pekerjaan sudah terbagi." Namun, sebelum kekecewaan Shanmu menyelimuti, pria tua itu mengangkat tangannya. "Tapi... jika kau mau, ada kesempatan. Besok pagi, datanglah ke sini. Akan ada kereta pedagang yang datang, mengangkut beberapa barang dan pemuda desa seperti kamu untuk pergi ke Kota. Jika kau mau ikut, kau bisa naik. Dan kau tidak perlu membayar."
Senyum cerah langsung merekah di wajah Shanmu. Gerak tubuhnya menjadi riang, hampir seperti anak kecil. "Baik! Aku akan datang ke sini besok pagi! Pasti!"
Pria tua itu mengangguk, wajahnya tetap tenang. "Besok, jangan terlambat. Datanglah pagi-pagi sekali, sebelum matahari terbit. Kereta itu tidak akan menunggu."
"Terima kasih, Tuan! Saya mengerti!" balas Shanmu dengan penuh semangat, mengangguk berulang kali.
Saat pria tua itu berbalik dan kembali ke desa, senyum Shanmu perlahan-lahan memudar. Ia berdiri di sana sejenak, memproses kata-kata itu. Ia menyadari sesuatu, pria tua itu sebenarnya telah menolaknya dengan halus untuk tidak tinggal di desa itu. Tapi penolakan itu tidak disertai kekerasan, tidak disertai hinaan. Malah, ia memberikan alternatif, sebuah jalan keluar. Itu adalah niat baik. Orang tua itu tidak ingin menyakiti perasaannya, tidak ingin membuatnya malu. Itu adalah bentuk kebaikan yang sederhana namun tulus, yang hampir membuat Shanmu terharu.
Dan untuk itu, ia bersyukur.
Dengan hati yang tiba-tiba jauh lebih ringan, ia berbalik. Kali ini, langkahnya bukan lari panik, tetapi langkah ringan, hampir melompat-lompat kecil karena kegirangan. Ia masuk kembali ke hutan di pinggir desa, bukan untuk melarikan diri, tetapi untuk berburu makan malamnya. Esok adalah hari baru, dan untuk pertama kalinya sejak tragedi pembunuhan itu, ada sebuah tujuan konkret di depannya, Kota. Sebuah kata yang besar, asing, dan penuh kemungkinan. Api harapan, meski masih kecil dan rapuh, kembali menyala di dalam dada Shanmu.