bagaimana jadinya kalau anak bungsu disisihkan demi anak angkat..itulah yang di alami Miranda..ketiga kaka kandungnya membencinya
ayahnya acuh pada dirinya
ibu tirinya selalu baik hanya di depan orang banyak
semua kasih sayang tumpah pada Lena seorang anak angkat yang diadopsi karena ayah Miranda menabrak dirinya.
bagaimana Miranda menjalani hidupnya?
simak aja guys
karya ke empat saya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
meninggalkan rumah
Dengan langkah gontai, Miranda masuk ke rumah. Sementara itu, Reza semakin menjadi-jadi, tangannya tak berhenti mengusap pipi perempuan yang ia bawa. Gerakannya menunjukkan betapa rendahnya moral pria itu.
Miranda duduk di sofa dengan hati perih. “Mah, haruskah aku dijual untuk kesalahan yang sampai sekarang pun aku tidak mengerti?” batin Miranda, tak terima.
“Bagaimana?” tanya Reza sambil meraih kacang kulit. Cangkangnya berserakan di mana-mana. Reza memang tipe orang kaya tak beretika, seolah ingin menunjukkan bahwa Handoko tidak berarti apa pun baginya.
“Miranda setuju,” jawab Handoko akhirnya.
Reza menatap Miranda, tampak tidak puas. “Kamu tidak menyesal?”
Miranda meremas jari-jarinya erat. “Tidak, Tuan,” jawabnya singkat, meski pikirannya kacau balau.
“Baiklah. Kalau begitu cepat tanda tangan ini,” ucap Reza sambil mendorong setumpuk berkas. “Malam ini Miranda, mobil Pajero, dan dua motor sport anak kamu akan aku ambil.”
“Pak, bisakah motor saya tidak diambil?” pinta Amir cepat.
“Bisa,” jawab Reza santai.
“Syukurlah,” Amir mengelus dada lega.
“Tapi Lena saya bawa,” sambung Reza tiba-tiba.
“Aku tidak mau, Yah!” tangis Lena pecah seketika.
Handoko menatap anak-anaknya dengan wajah kesal. “Sudahlah. Ini yang terbaik,” katanya, seolah semua ini hal kecil.
Miranda hanya menunduk, tenggelam dalam luka yang semakin dalam.
Satu per satu berkas itu ditandatangani.
“Ya Tuhan… aku anak kandung, tetapi dengan mudah dilepas ayah dan saudara-saudaraku untuk membayar hutang. Sedangkan anak pungut mereka pertahankan mati-matian.”
Miranda menjerit dalam hati. Apa pun yang ia lakukan untuk memperbaiki hubungan dengan ayah dan kakak-kakaknya selalu sia-sia. Ia tidak pernah dianggap.
Miranda bangkit, kemudian melangkah menuju kamarnya. Sebelum masuk, ia sempat mengintip kamar Pak Agus dan Bi Mirna yang tertidur lelap.
“Andai aku anak Pak Agus dan Bi Mirna… mungkin aku tidak akan menderita seperti ini,” bisiknya lirih.
Ia menutup pintu kamar perlahan, lalu mulai memasukkan pakaiannya ke dalam tas. Ia mengambil bingkai foto ibunya dan memeluknya erat.
“Mah… salahku apa sebenarnya? Kenapa hidupku begini?” isaknya pecah. “Kalau begini, rasanya aku ingin menyusul Mama ke alam baka…”
Namun Miranda cepat-cepat mengusap dadanya, sadar kata-kata itu berbahaya.
“Mungkin ini yang terbaik, ya, Mah? Aku sudah lulus sekolah… akan menikah dengan pria kaya raya… mungkin kalau aku berbuat baik, dia akan izinkan aku kerja di Indomaret dan kuliah.”
Miranda berusaha tersenyum—senyum yang lebih mirip retakan di wajahnya—mencoba melihat sisi positif yang bahkan hatinya sendiri tidak percaya.
“Miranda.”
Suara Handoko disertai sentuhan di pundak membuat lamunan Miranda buyar.
“Apa kamu sudah siap, Nak?” tanya Handoko pelan.
Miranda ingin sekali berteriak, ingin mengatakan bahwa ia kecewa dan terluka. Namun suaranya tercekat. Yang keluar hanya anggukan kecil, nyaris tak terlihat.
Handoko sempat melirik kamar sempit putrinya itu. Ruangan yang sangat jauh berbeda dibandingkan kamar ketiga kakaknya yang mewah, apa lagi jika dibandingkan dengan kamar Lena yang super mewah.. anak pungut yang diperlakukan bak putri raja.
Ada sebersit rasa bersalah muncul ketika ia melihat kasur tipis yang mulai lepek, lemari tua yang nyaris rubuh, serta cat dinding yang mengelupas di sana-sini.
Namun pikiran itu cepat ia tepis.
“Anakku bukan hanya Miranda. Ada Lusi, Amar, dan Amir yang harus kujaga perasaannya,” gumamnya dalam hati, berusaha membenarkan keputusannya sendiri.
“Aku sudah selesai, Yah.”
Suara Miranda memecah lamunannya. Gadis itu berdiri sambil memegang tas kecil yang tampak penuh. Matanya sembap, tetapi ia memaksakan senyum tipis, seakan semuanya baik-baik saja.
Handoko memeluk Miranda erat, seolah itu pelukan terakhir. “Kamu pasti baik-baik saja, Nak,” bisiknya.
Ingin sebenarnya ia mengucap maafkan ayah, tetapi kalimat itu hanya bergema dalam hatinya. Terlalu berat baginya untuk mengakui kesalahan di hadapan anak bungsu yang paling sering ia abaikan.
Miranda melangkah keluar dari kamarnya. Malam ini ia meninggalkan rumah besar itu bukan sebagai remaja yang hendak meraih cita-cita, tetapi sebagai alat tukar. Nilainya setara dengan satu Pajero dan dua motor sport kakaknya. Perih itu merayap diam-diam, tetapi ia menahannya.
Reza sudah berdiri di ruang tengah dengan gaya sok berkuasa. Dua pria kekar berdiri di belakangnya seperti bayangan. Tidak ada sedikit pun tatapan iba dari kakak-kakaknya. Lena bahkan sempat tersenyum tipis, begitu pula Miranti.
“Lama sekali kalian. Aku sudah lapar,” keluh Reza sambil menggerakkan tangannya. “Kunci Pajero dan motor sport, serahkan pada anak buahku.”
“Baiklah,” jawab Handoko, meski wajahnya jelas tak rela melepas mobil barunya.
“Mila, Mili, bawa nyonya baru kita,” perintah Reza.
Kedua wanita itu mengangguk lalu mendekati Miranda.
“Sini, tasnya, Nyonya. Biar saya bawa,” ujar Mila dengan sopan.
Miranda sempat bingung. “Kenapa mereka sopan sekali padaku,” batinnya, tapi ia tetap menyerahkan tas yang ia bawa.
“Mari, Nyonya,” ucap Mili, mempersilahkan Miranda keluar.
Miranda menoleh sebentar. Ia melihat wajah ayahnya yang seolah berembun oleh rasa bersalah. Sementara ketiga kakaknya menatapnya dengan jijik, seakan dirinya aib keluarga.
Miranda menarik napas panjang lalu melangkah pergi.
“Tuhan, jika ini yang terbaik, aku terima,” batinnya lirih. “Walau hatiku terasa perih sekali.”
Miranda melangkah keluar rumah. Awalnya langkahnya berat dan gemetar, tetapi perlahan menjadi mantap. Dalam hati ia berkata, “Ini yang terakhir aku mengalah dan merasa bersalah.”
Ia segera membuka pintu depan mobil dan duduk di samping pengemudi, di dekat Reza dan dua wanita itu. Mobil melaju pelan setelah keluar dari halaman rumah.
Tiba-tiba terdengar suara tamparan.
“Plak!”
Reza menoleh sambil mengelus pipinya. Dua wanita di belakang menatapnya sinis.
“Pindah, kamu. Dari tadi cari kesempatan terus,” kata Mili.
“Astaga, galak amat,” sahut Reza sambil terkekeh.
“Ih, sebel. Pipi aku diusap-elus segala,” ujar Mila.
“Yono, berhenti,” kata Mila kepada sopir.
Miranda hanya bisa melongo melihat perubahan sikap mereka. Reza yang tadi tampak gagah, sekarang malah jadi sasaran kedua wanita seksi itu.
“Pindah ke depan,” perintah Mila lagi.
“Sebentar lagi dong. Kalian harum, tahu,” ujar Reza berusaha menggoda.
“Gue kasih tahu ke Mbak Santi ya,” ancam Mila.
Reza langsung pucat. “Jangan dong. Bisa dipotong-potong jadi dadu aku.”
Ia akhirnya turun dan bergegas membuka pintu untuk Miranda.
“Silakan, Nyonya, pindah ke belakang,” ucap Reza sopan.
Miranda makin bingung. Dia sudah membeliku, tapi kenapa memanggilku ‘Nyonya’? Apa jangan-jangan bukan dia pembelinya? Apa aku akan dijual ke luar negeri? Melayani pria hidung belang? Tapi aku kan jelek. Nilai ijazahku juga buruk... Berbagai pikiran berputar-putar di kepala Miranda hingga ia merasa pusing sendiri.
Akhirnya mobil berhenti di depan sebuah mansion mewah. Dari kejauhan terlihat banyak penjaga berjaga di beberapa titik. Tubuh Miranda langsung gemetar.
“Kenapa tempatnya seperti markas mafia...” pikir Miranda dengan rasa takut yang mengencang di dadanya.
Reza membuka pintu dan menunduk sopan. “Mari, Nyonya.”
“Kemana?” tanya Miranda pelan.
“Bertemu calon suami Anda,” jawab Reza.
Miranda menatap Reza, terkejut melihat sikapnya yang kini sangat sopan, berbeda jauh saat berada di rumahnya tadi.
“Jadi... Anda bukan calon suami saya?” tanya Miranda ragu.
Reza tersenyum kecil. “Bukan. Tapi Bos saya.”
Miranda menelan ludah. Anak buahnya saja sudah seperti ini... apalagi bosnya. Pasti pria yang punya banyak wanita...
Ketakutan itu semakin menyesakkan dadanya. Ia merasa kecil, asing, dan makin tak yakin dengan nasib yang menunggunya di dalam mansion megah itu.
Kakak ga punya akhlak
mma Karin be smart dong selangkah di depan dari anak CEO 1/2ons yg masih cinta masalalu nya