Empat tahun lalu, Aira Nadiya mengalami malam paling kacau dalam hidupnya—malam yang membuatnya kehilangan arah, tapi juga memberi dirinya sesuatu yang paling berharga: seorang anak laki-laki bernama Arvan.
Ia tidak pernah memperlihatkan siapa ayah anak itu. Tidak ada foto, tidak ada nama, tidak ada cerita. Satu-satunya petunjuk hanya potongan ingatan samar tentang pria misterius dengan suara rendah dan mata gelap yang menatapnya seolah ingin menelan seluruh dunia.
Aira mengira itu hanya masa lalu yang terkubur.
Sampai suatu hari, karena utang ayahnya, ia dipaksa menikah dengan Dion Arganata, CEO muda yang terkenal dingin dan tidak punya empati. Lelaki yang seluruh hidupnya diatur oleh bisnis dan warisan. Lelaki yang membenci kebohongan lebih dari apa pun.
Dan Aira bahkan tidak tahu…
Dion adalah pria dari malam itu.
Ayah dari anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 5 — Anak yang Disembunyikan
Aira selalu berhati-hati. Di mana pun ia berada di penthouse Dion, ia memastikan ponsel murahnya, satu-satunya penghubung ke dunia nyata dan Arvan, selalu disembunyikan. Di bawah kasur, di balik laci pakaian dalam, atau bahkan dibungkus handuk di sudut kamar mandi—tempat yang paling ia yakini tidak akan disentuh oleh Bi Surti atau mata dingin Dion.
Telepon genggam itu bergetar. Sebuah pesan masuk.
Aira bergegas meraihnya, hatinya berdebar tak karuan. Itu adalah video singkat dari Ibunya.
Video itu menampilkan Arvan. Empat tahun. Sosok kecil yang pintar dengan rambut ikal dan tatapan mata yang sama persis dengan Dion: gelap, tajam, dan penuh keingintahuan. Arvan sedang duduk di teras rumah di kampung, tangannya memegang miniatur truk.
“Mama lagi kerja di kota besar,” kata Arvan ke kamera, suaranya ceria. “Arvan harus jadi anak pintar biar Mama cepet pulang dan beliin pesawat.”
Senyum Arvan terlihat begitu murni dan bahagia, namun itu menusuk Aira lebih tajam dari pisau. Arvan tidak tahu ‘pekerjaan’ apa yang membuat Mamanya harus menikah dengan pria yang hampir ia yakini adalah Ayah kandungnya.
Aira menekan tombol pause pada video itu, menatap wajah Arvan lekat-lekat. Garis rahang kecil itu, bentuk mata yang menukik ke bawah—semuanya Dion versi miniatur. Setiap hari, kemiripan itu semakin jelas, semakin mematikan.
Ia mengirim pesan balasan, hati-hati: Tolong jangan pernah bilang padanya kalau aku sudah menikah, Bu. Bilang saja aku magang di tempat jauh.
Aira tahu, ia mengorbankan kejujurannya pada Arvan. Tapi ia lebih takut jika Arvan tahu tentang Dion, dan sebaliknya. Kehidupan tenang Arvan adalah harga dari pernikahan kontraknya.
Rasa bersalah adalah pakaian yang tidak pernah bisa Aira tanggalkan. Ia menjalani perannya sebagai Nyonya Arganata—menghadiri acara sosial yang membosankan, tersenyum di depan kamera, dan berdiri di samping Dion sebagai aksesoris mahal—tetapi jiwanya terasa hampa.
Dion, di sisi lain, tampak semakin tidak nyaman dengan kehadiran Aira, meskipun ia adalah orang yang menuntut Aira. Setelah insiden penolakan di dapur (Bab 4), Dion menjadi lebih dingin, lebih kaku, dan lebih fokus pada pekerjaannya. Ia seperti memaksakan kembali tembok yang sempat retak.
Namun, ketegangan itu tidak hilang; ia hanya berubah bentuk.
Suatu sore, Dion pulang lebih awal, wajahnya tegang dan muram. Dia langsung menuju sofa di ruang keluarga, melemparkan tubuhnya ke bantal kulit, memejamkan mata.
Aira, yang semula hendak turun ke gym pribadi di lantai bawah, mengurungkan niatnya. Ia melihat kelelahan di wajah Dion—sebuah kelemahan yang jarang diperlihatkan.
Aira melangkah pelan, mendekati meja kopi, dan meletakkan segelas air lemon dingin di sana. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya membiarkan air lemon itu berbicara.
Dion membuka matanya, menatap gelas itu, lalu menatap Aira. “Apa ini?”
“Air lemon,” jawab Aira, singkat. “Untuk menghilangkan penat. Anda terlihat lelah.”
“Aku tidak butuh belas kasihanmu,” balas Dion, suaranya mengandung nada kasar.
Aira mengangkat bahu. “Saya tidak memberikan belas kasihan. Saya hanya tidak suka melihat seseorang terlihat seperti akan meledak di ruang tamu saya.”
Dion terdiam sejenak. Ia mengambil gelas itu, menyesapnya, dan menghela napas. Udara di antara mereka kembali menjadi tebal, kali ini bercampur dengan sedikit kelelahan, bukan hanya kemarahan.
“Kau terlalu peduli pada hal-hal yang tidak penting,” komentar Dion, matanya masih terpejam.
Aira menyilangkan tangan. “Dan Anda terlalu cuek pada hal-hal yang penting. Itu salah satu perbedaan kita.”
“Apa yang kau anggap penting?” Dion membuka mata, menatap langit-langit, tidak benar-benar menatap Aira.
Aira menahan napas. Ia ingin mengatakan: Keluarga. Kesetiaan. Cinta. Anak kita.
Tapi ia hanya berkata, “Ketulusan. Saya percaya, ketenangan batin datang dari ketulusan, bukan dari angka di rekening.”
Dion tertawa kecil, tawa tanpa humor yang terdengar pahit. “Ketulusan? Di dunia ini, Aira, ketulusan hanya membuatmu menjadi target empuk. Itu kelemahan.”
“Mungkin bagi Anda,” balas Aira, suaranya melunak. “Tapi bagi saya, itu adalah benteng. Saya belajar, jika saya berpegangan pada hal yang tulus—seperti cinta seorang anak—saya bisa menghadapi badai apa pun.”
Aira segera menyesali kata-katanya. Cinta seorang anak. Terlalu spesifik.
Dion seketika tegang. Ia menurunkan kakinya, duduk tegak. Ia menoleh, menatap Aira dengan pandangan yang menusuk.
“Cinta seorang anak?” ulang Dion, nadanya curiga. “Kau terdengar seperti seorang Ibu. Siapa anak itu? Keponakanmu?”
Aira merasa darahnya mengering. “Ya. Keponakan saya. Dia… sangat penting bagi saya. Dia yang membuat saya tegar melewati kesulitan.”
Dion menatap Aira selama beberapa detik yang terasa abadi. Ia menguji kejujuran di mata Aira. Aira berusaha keras mempertahankan air muka yang tenang, meskipun di dalam hatinya ia sudah berteriak.
“Kau tampak sangat terikat pada anak itu,” komentar Dion, kecurigaannya belum mereda. “Seorang anak kecil seharusnya tidak menjadi beban emosional yang begitu besar.”
“Dia bukan beban,” kata Aira, dengan nada yang berubah menjadi protektif, refleks keibuan yang tak tertahankan. “Dia adalah alasan saya bernapas.”
Dion bangkit. Seluruh suasana hatinya yang lelah tiba-tiba menghilang, digantikan oleh kekakuan CEO yang dominan. Ia mengambil map tebal di tasnya.
“Aku sudah memperingatkanmu, Aira. Jaga batasanmu. Fokus pada peranmu di sini. Urusan masa lalumu, urusan keponakanmu, harus tetap di luar penthouse ini. Aku tidak suka ikatan emosional yang rumit. Aku benci kekacauan.”
Dion berjalan melewati Aira. Tapi kali ini, ia berhenti di belakang Aira, sangat dekat, dan ia tidak menyentuh. Jarak yang sangat kecil itu dipenuhi oleh ketegangan yang lebih kuat daripada sentuhan.
“Kau terlihat sangat lembut, Aira,” bisik Dion, suaranya rendah dan mengancam. “Tapi aku tahu, kau menyembunyikan gigi tajam di balik kepolosan itu. Aku membenci wanita yang menyimpan rahasia.”
Dion pun pergi ke ruang kerjanya. Suara pintu ditutup dengan keras membuat Aira tersentak.
Aira bergegas ke kamarnya, air mata berlinang karena ia hampir saja membongkar rahasia Arvan. Kata-kata Dion, "Aku membenci wanita yang menyimpan rahasia," berputar di kepalanya.
Ia mengeluarkan ponselnya dan melihat lagi video Arvan. Ia harus melakukan sesuatu untuk mengurangi kerinduannya.
Ia memutuskan untuk melanggar salah satu aturan Dion yang tidak tertulis: ia akan keluar kota untuk menemui Arvan secara diam-diam.
Aira menghubungi Ibunya dan menyusun rencana. Ia akan memberi tahu Dion bahwa ia ingin menghabiskan akhir pekan di rumah temannya, di luar kota, untuk menghindari acara sosial yang ia benci.
Ia menyusun pesan teks singkat untuk Dion, melalui Bi Surti.
“Yth. Tuan Arganata, saya mohon izin untuk pergi ke luar kota akhir pekan ini. Saya butuh istirahat dari hiruk pikuk kota. Saya akan kembali Minggu malam.”
Tak lama kemudian, balasan dari Dion muncul, dikirim melalui Bi Surti, seolah mereka tidak bisa berkomunikasi secara langsung.
“Diizinkan. Tapi jangan sampai ada fotomu di media. Dan jangan berulah.”
Aira menghela napas lega. Ia tahu ini berisiko. Jika Dion tahu ia menemui Arvan, bukan sekadar teman, Dion bisa murka. Tapi ia tidak bisa menahan diri. Arvan adalah satu-satunya pelabuhan hatinya.
Jumat sore itu, Aira berpakaian kasual, meninggalkan kemewahan penthouse. Ia tidak menggunakan mobil Dion, melainkan memesan taksi biasa ke stasiun kereta. Ia ingin bepergian sebagai Aira Nadiya, bukan sebagai Nyonya Arganata.
Setelah tiga jam perjalanan yang panjang, ia sampai di kota kecil yang tenang, tempat ia membesarkan Arvan.
Saat Aira melangkah ke teras rumah kecilnya, Arvan, yang sedang bermain dengan tanah, mendongak.
“Mama!”
Wajah Arvan bersinar. Dia berlari kencang, menabrak Aira, dan memeluknya erat-erat. Pelukan itu terasa seperti menambal semua lubang di hati Aira.
“Anak Mama!” Aira memeluknya, menciumi rambut Arvan yang beraroma matahari dan debu. Air mata kebahagiaan dan kesedihan mengalir tak tertahankan.
Mereka menghabiskan waktu dua hari yang ajaib. Aira menjadi dirinya sendiri lagi. Ia tertawa, memasak, dan tidur sambil memeluk Arvan. Ia merasa hidup kembali.
Namun, kebahagiaan itu harus dibayar mahal dengan rasa takut.
Minggu malam, saat Aira kembali ke stasiun kereta, ia menyadari ia lupa membawa cardigan kesayangan Arvan, yang ia bawa dari penthouse Dion untuk dicuci dan dikembalikan. Cardigan itu kini tertinggal di kursi ruang tamu rumah Ibunya.
Aira memaksakan dirinya untuk melupakan. Itu hanya cardigan.
Di penthouse Dion, Dion baru kembali dari golf malam dengan Ayahnya. Ia masuk ke ruang keluarga.
Matanya langsung tertuju pada sofa besar. Di sana, di sudut, ia melihat sebuah foto. Foto Arvan, anak kecil yang sangat mirip dengannya. Aira lupa menyembunyikan foto itu dengan sempurna sebelum ia pergi.
Dion berjalan mendekat, mengambil foto itu. Ia menatap wajah anak itu, garis rahang yang kuat, mata yang tajam, dan tatapan yang familiar. Ia membalik foto itu. Tidak ada tulisan.
Siapa anak ini? Kenapa wajahnya… terasa seperti darahku sendiri?
Dion melempar foto itu kembali ke sofa, rasa kesal dan kecurigaan yang membingungkan menguasainya. Ia merasa didorong ke tepi jurang oleh rahasia Aira. Ia tidak suka hal yang tidak ia ketahui.
Tiba-tiba, ia melihat sesuatu yang lain di meja kopi. Sebuah mainan miniatur jet besar, yang ditinggalkan Aira saat ia sedang mengemasi barang-barangnya buru-buru. Dion mengambil mainan itu. Itu adalah model jet tempur yang sangat mahal dan detail.
Dion ingat, ia pernah melihat Arvan di video itu berkata, “Arvan harus jadi anak pintar biar Mama cepet pulang dan beliin pesawat.”
Dan kini, ia menemukan mainan jet mahal itu di penthouse-nya.
Dion Arganata tidak bodoh. Ia menghubungkan titik-titik itu: Keterikatan emosional Aira. Anak laki-laki di foto. Anak laki-laki yang meminta pesawat. Dan kini mainan itu ada di rumahnya.
Rasa curiga Dion berubah menjadi kepastian yang menakutkan: Aira menyembunyikan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar keponakan.
Ia langsung mengambil ponselnya dan memanggil kepala keamanannya.
“Aku ingin kau melacak semua rute perjalanan Aira Nadiya akhir pekan ini,” perintahnya, suaranya sekeras baja dingin. “Bukan sekadar kemana dia pergi. Cari tahu dengan siapa dia bertemu. Dan, aku ingin rincian lengkap anak laki-laki yang ada di foto itu. Semuanya. Aku ingin tahu dia siapa. Malam ini juga.”
Dion tahu, ia sudah dekat dengan kebenaran yang akan menghancurkan pernikahan kontraknya. Dan saat kebenaran itu terungkap, Aira akan membayar mahal.
semoga cepet up lagi