Firman (22) punya satu prinsip dalam hidupnya: "Jangan pernah berharap sama manusia, maka kamu tidak akan kecewa." Pengkhianatan di masa lalu mengubahnya menjadi jurnalis yang dingin dan skeptis terhadap komitmen. Baginya, cinta adalah variabel yang tidak rasional.
Di sebuah lapangan badminton di Samarinda, ia bertemu Yasmin (22). Seorang dokter muda yang lembut namun memiliki tembok yang sama tingginya dengan Firman. Yasmin adalah ahli dalam mengobati fisik, tapi ia sendiri gagal menyembuhkan luka akibat ditinggalkan tanpa penjelasan.
Mereka tidak menjanjikan selamanya. Mereka hanya sepakat untuk berada di "level" yang sama sebagai teman diskusi, teman batin, namun tanpa ikatan yang mencekik. Namun, ketika masa lalu mulai kembali menagih janji dan jarak antar kota (Bontang hingga Labuan Bajo) mulai menguji, mampukah mereka tetap di level yang aman? Ataukah mereka harus memilih: Berhenti sebelum terluka, atau berani hancur demi satu kesempatan bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11: SISA HENING DI BALIK KATA
Samarinda setelah hujan selalu menyisakan aroma yang sama: tanah basah yang bercampur dengan uap panas dari aspal yang belum sepenuhnya mendingin. Firman duduk di depan meja kerjanya yang berantakan di kantor redaksi. Di depannya, layar monitor menampilkan kursor yang berkedip-kedip, seolah sedang mengejek kebuntuan pikirannya.
Sudah dua hari sejak pembicaraan di halte itu. Dua hari sejak ia dan Yasmin menetapkan garis batas bernama "Teman Level".
Firman menghela napas panjang, menyandarkan punggungnya ke kursi kerja yang sedikit berderit. Ia meraih ponselnya, ibu jarinya berhenti tepat di atas nama Yasmin di daftar kontak WhatsApp. Tidak ada pesan masuk. Tidak ada notifikasi.
“Teman level adalah pokoknya.”
Kalimat itu terus terngiang, tapi anehnya, bukannya merasa lega karena sudah memiliki "zona aman", Firman justru merasa ada sesuatu yang mengganjal di ulu hatinya. Sebuah rasa hampa yang sulit dijelaskan secara logika jurnalisme.
"Man, lo kalau mau ngelamun mending di pinggir Mahakam aja, jangan di depan deadline," tegur Bang Surya, editor seniornya, sambil meletakkan tumpukan berkas di meja Firman.
Firman tersentak, lalu memaksakan sebuah senyum tipis. "Cuma lagi mikir sudut pandang buat artikel profil dokter relawan itu, Bang."
"Oalah, Dokter Yasmin itu ya? Memang menarik sih. Jarang ada dokter muda, cantik, mau-maunya tugas di panti asuhan pelosok gitu. Gue rasa pembaca bakal suka kalau lo gali lebih dalam soal motivasinya," ujar Bang Surya tanpa tahu bahwa "menggali lebih dalam" adalah hal terakhir yang ingin dilakukan Firman sekarang.
"Iya, Bang. Nanti saya bereskan."
Setelah Bang Surya pergi, Firman kembali menatap ponselnya. Ia akhirnya memberanikan diri mengetik sesuatu. Bukan pesan romantis, tentu saja. Ia harus tetap berada di "level"-nya.
Firmansah: Yas, soal riset buku medis yang kamu minta kemarin. Saya sudah dapat kontak kolega di Bandung yang punya koleksi langka itu. Kalau kamu ada waktu, kita bisa bahas detailnya sore ini.
Pesannya terkirim. Centang dua abu-abu. Firman meletakkan ponselnya dengan jantung yang berdegup sedikit lebih cepat dari biasanya. Ia merasa konyol. Dia adalah pria dewasa berusia 22 tahun yang sudah pernah hampir menikah, kenapa sekarang dia merasa seperti remaja yang sedang menunggu balasan dari gebetannya?
Lima menit. Sepuluh menit. Lima belas menit.
Ponselnya bergetar.
Yasmin: Halo, Mas Firman. Wah, cepat juga ya dapatnya. Terima kasih. Sore ini saya shift siang sampai jam 4. Mungkin jam 5 kita bisa ketemu di perpustakaan kota? Suasananya lebih tenang buat bahas buku.
Firman tanpa sadar mengembuskan napas lega yang panjang. Perpustakaan kota. Tempat yang netral. Tempat yang aman.
Perpustakaan Kota Samarinda sore itu cukup sepi. Cahaya matahari yang mulai jingga masuk melalui jendela-jendela besar, menyinari debu-debu yang menari di antara deretan rak buku tua. Aroma kertas dan kayu jati yang khas menyambut Firman saat ia melangkah masuk.
Ia melihat Yasmin sudah duduk di salah satu meja di pojok ruangan, di kelilingi oleh tumpukan jurnal medis. Dia mengenakan kemeja biru muda yang rapi, kacamata bertengger di hidungnya, membuatnya tampak sangat serius namun tetap mempesona.
"Sudah lama, Yas?" tanya Firman sambil menarik kursi di depan Yasmin.
Yasmin mendongak, lalu melepas kacamatanya. Senyumnya muncul senyum yang sopan, namun ada sedikit jarak di sana. Jarak yang mereka sepakati sendiri dua hari lalu.
"Baru sepuluh menit, Mas. Tadi habis beresin beberapa catatan pasien," jawab Yasmin. Ia menutup jurnalnya. "Gimana kabar kantor? Katanya lagi sibuk liputan pilkada ya?"
"Begitulah. Dunia jurnalisme nggak pernah tidur, Yas. Sama kayak rumah sakit, kan?" balas Firman.
Mereka terdiam sejenak. Keheningan itu terasa berbeda. Bukan hening yang canggung seperti saat pertama kali bertemu di GOR Badminton, tapi hening yang penuh dengan kata-kata yang tertahan. Mereka berdua sama-sama sadar bahwa mereka sedang memainkan peran. Peran sebagai "teman level".
"Jadi, soal buku itu..." Firman mengeluarkan sebuah katalog dari tasnya. "Ini daftar buku yang tersedia di Bandung. Ada beberapa judul yang memang sudah nggak dicetak lagi. Kolega saya minta kamu buat daftar prioritasnya dulu."
Yasmin menerima katalog itu, jemarinya sempat bersentuhan dengan jemari Firman. Hanya sekejap, tapi Firman bisa merasakan aliran listrik statis yang membuatnya ingin menarik tangan, atau justru ingin menggenggamnya lebih lama.
Ingat levelmu, Firman, batinnya mengingatkan.
"Ini bagus banget, Mas. Terima kasih banyak ya. Mas Firman memang handal kalau soal cari literatur," Yasmin menatap katalog itu dengan antusiasme yang jujur. "Buku-buku ini bakal sangat bantu buat riset metode pengobatan di daerah minim fasilitas."
"Sama-sama. Itu memang tugas saya sebagai konsultan buku," jawab Firman datar.
"Hanya tugas?" Yasmin menoleh, menatap mata Firman. Tatapannya dalam, seolah sedang mendiagnosis kembali apa yang ada di balik nada bicara dingin pria itu.
Firman tertegun. Ia merasa pertahanannya mulai goyah. "Maksudnya?"
Yasmin tersenyum tipis, kali ini senyumnya sedikit lebih hangat. "Enggak. Maksud saya, Mas Firman selalu melakukan lebih dari sekadar tugas. Kemarin di panti asuhan, Mas nggak cuma meliput, tapi Mas juga bantu bagiin susu, main sama anak-anak. Itu bukan bagian dari jobdesk jurnalis, kan?"
"Saya cuma bosan nungguin kamu kelar periksa pasien," kilah Firman, mencari alasan paling rasional.
Yasmin tertawa kecil, suara tawanya yang seperti gemericik air itu memenuhi sudut perpustakaan yang sunyi. "Mas Firman ini memang ahli dalam urusan penyangkalan, ya?"
"Saya jurnalis, Yas. Saya percaya pada apa yang saya lihat dan saya rasakan secara fisik. Hal-hal yang abstrak... kayak 'niat baik' atau 'perasaan', itu sulit diverifikasi," kata Firman sambil menyandarkan punggungnya, mencoba terlihat santai.
Yasmin menutup katalognya, lalu menopang dagunya dengan tangan, menatap Firman dengan saksama. "Lalu, 'Teman Level' kita ini... menurut Mas Firman itu abstrak atau nyata?"
Pertanyaan itu seperti sebuah jebakan Batman. Firman berdehem, mencoba mengatur suaranya. "Nyata. Itu adalah sebuah kesepakatan rasional agar kita bisa berinteraksi tanpa harus terbebani oleh ekspektasi yang nggak perlu. Kamu nggak perlu takut saya bakal tiba-tiba ngilang, dan saya nggak perlu takut kamu bakal nuntut perhatian lebih."
Yasmin mengangguk-angguk pelan. "Zona nyaman. Begitu ya?"
"Tepat sekali."
"Tapi Mas..." Yasmin merendahkan suaranya. "Ada satu hal yang saya pelajari di kedokteran. Kadang, kondisi yang paling 'aman' dan 'stabil' justru adalah kondisi di mana pertumbuhan berhenti. Sel yang nggak berubah adalah sel yang mati. Apa kita nggak takut hubungan kita jadi... mati?"
Firman terdiam. Ia menatap deretan rak buku di belakang Yasmin. Ia memikirkan semua buku di sana setiap buku adalah cerita tentang perubahan, tentang konflik, tentang pertumbuhan. Tidak ada satu pun buku yang bercerita tentang keamanan yang statis.
"Mati itu lebih baik daripada hancur, Yas," sahut Firman pendek.
"Tapi hancur itu tanda kalau kita pernah berjuang, Mas," balas Yasmin dengan nada yang sama kuatnya. "Saya pernah hancur di Surabaya. Mas pernah hancur karena rencana pernikahan itu. Kita berdua adalah dua orang yang selamat dari kecelakaan emosional. Tapi kalau kita terus-menerus hidup di dalam ambulans karena takut keluar dan terluka lagi, apa itu namanya hidup?"
Firman merasa dadanya sesak. Yasmin selalu punya cara untuk menusuk tepat ke ulu hatinya tanpa perlu menggunakan pisau bedah.
"Kamu terlalu puitis sore ini, Dokter," ucap Firman, berusaha mengalihkan pembicaraan. "Mungkin kamu harus berhenti baca jurnal medis dan mulai nulis puisi."
Yasmin tertawa lagi, kali ini lebih lepas. "Mungkin. Tapi serius, Mas. Terima kasih buat bantuannya soal buku. Ini berarti banyak buat saya."
Mereka kembali berbincang tentang hal-hal ringan tentang kopi yang terlalu pahit di kantin rumah sakit, tentang macetnya Samarinda di jam pulang kantor, dan tentang rencana pameran buku bulan depan. Selama satu jam itu, mereka benar-benar menjadi "Teman Level". Tidak ada godaan, tidak ada drama.
Namun, saat mereka hendak pulang dan berjalan menuju parkiran, sebuah mobil mewah berwarna putih berhenti tepat di depan mereka.
Seorang perempuan cantik dengan gaun kerja yang sangat elegan turun dari mobil. Wajahnya yang tampak sangat familiar bagi Firman dan juga bagi Yasmin dari foto yang pernah ia lihat muncul dengan senyum yang dipaksakan.
Sarah.
Dunia Firman seolah mendadak membeku. Semua rasionalitas yang ia bangun di dalam perpustakaan tadi menguap dalam hitungan detik.
"Firman..." suara Sarah terdengar lembut, tapi bagi Firman, itu seperti suara gesekan kuku di atas papan tulis.
Firman berdiri kaku, tangannya terkepal di samping tubuhnya. Ia merasakan kehadiran Yasmin di sampingnya, sebuah kehadiran yang entah bagaimana memberinya sedikit kekuatan untuk tetap berdiri tegak.
"Sarah. Mau apa kamu ke sini?" tanya Firman dengan suara yang sangat dingin.
Sarah melirik ke arah Yasmin, lalu kembali menatap Firman. Matanya tampak berkaca-kaca, sebuah akting yang sangat dikenal Firman. "Aku... aku cuma mau bilang kalau pernikahanku bulan depan."
"Aku tahu. Kamu sudah kirim undangannya ke kantor," potong Firman cepat.
"Fir, aku... aku mau minta maaf secara langsung. Aku nggak mau kita punya ganjalan sebelum aku memulai hidup baru," Sarah melangkah mendekat, mengabaikan keberadaan Yasmin. "Bisa kita bicara sebentar? Berdua saja?"
Firman merasakan dadanya bergemuruh. Amarah, luka, dan harga dirinya bertarung di dalam sana. Ia baru saja bicara tentang "zona aman" dengan Yasmin, dan sekarang masa lalunya yang paling merusak berdiri di depannya, meminta "bicara berdua".
Ia melirik ke arah Yasmin. Ia berharap Yasmin akan menunjukkan rasa cemburu, atau setidaknya melarangnya. Tapi Yasmin justru memberikan senyum tipis senyum "Teman Level" yang sangat profesional.
"Mas Firman, silakan bicara. Saya duluan ya, masih ada urusan di RS," ucap Yasmin dengan nada yang sangat tenang, seolah kehadiran Sarah tidak memengaruhinya sama sekali.
Yas, jangan pergi, batin Firman menjerit. Tapi bibirnya tetap terkunci.
Yasmin berjalan melewati mereka menuju motornya tanpa menoleh lagi. Firman menatap punggung Yasmin yang menjauh, merasa separuh dari kekuatannya ikut pergi bersama perempuan itu.
"Firman? Kamu dengar aku?" Sarah memegang lengan Firman.
Firman menyentak tangan Sarah dengan kasar. Ia menatap Sarah dengan sorot mata yang penuh dengan kebencian sekaligus kekecewaan yang mendalam.
"Selesai, Sarah. Urusan kita sudah selesai setahun lalu. Jangan pernah muncul di depan saya lagi, apalagi di depan teman saya," ucap Firman dengan suara yang bergetar.
"Teman? Jadi dia benar cuma teman? Rendy bilang kalian"
"Terserah Rendy bilang apa! Tapi satu hal yang perlu kamu tahu..." Firman menunjuk ke arah jalan tempat Yasmin baru saja menghilang. "Dia jauh lebih berharga daripada semua permintaan maafmu yang basi itu. Pergilah. Nikmati pernikahanmu, dan biarkan saya menikmati hidup saya."
Firman berbalik, menuju motornya sendiri. Ia memacu motornya dengan kecepatan tinggi, mencoba mengejar bayangan Yasmin yang sudah tidak terlihat lagi di jalanan Samarinda yang mulai gelap.
Malam itu, Firman menyadari satu hal. Garis batas "Teman Level" yang ia buat ternyata sangat rapuh. Saat Sarah muncul, orang pertama yang ia cari adalah Yasmin. Bukan sebagai teman diskusi, bukan sebagai narasumber, tapi sebagai jangkar agar ia tidak hanyut kembali ke masa lalunya yang kelam.
Ia sampai di depan kosannya, namun ia tidak langsung masuk. Ia mengambil ponselnya dan mengetik sebuah pesan singkat.
Firmansah: Yas, maaf soal tadi. Terima kasih sudah tidak bertanya apa-apa. Kamu benar... terkadang kondisi yang paling aman adalah kondisi di mana kita paling rentan untuk hancur.
Di sisi lain kota, Yasmin membaca pesan itu sambil duduk di balkon rumahnya. Ia menatap stetoskop di tangannya. Air matanya menetes pelan.
"Aku nggak bertanya bukan karena aku nggak peduli, Firman. Tapi karena aku takut kalau aku bertanya, aku bakal melampaui level yang kamu buat sendiri," bisiknya pada angin malam.
Fase perkenalan memang sudah usai, tapi badai yang sesungguhnya baru saja mengirimkan awan mendungnya. Dan mereka berdua harus memutuskan, apakah mereka akan tetap di dalam ambulans yang aman, atau berani keluar dan kehujanan bersama.
Sarah tidak menyerah begitu saja. Dia mulai mengirimkan pesan-pesan teror kepada Yasmin, menuduh Yasmin sebagai perusak hubungan orang lain. Di saat yang sama, Firman mendapatkan tugas investigasi yang mengharuskannya pergi ke Bontang selama seminggu. Akankah jarak ini membuat "Teman Level" mereka semakin kuat, atau justru membuat keraguan Yasmin semakin besar saat Firman tidak ada di sampingnya untuk memberikan kepastian?