"Apakah kamu sudah menikah?" tanya Wira, teman satu kantor Binar. Seketika pertanyaan itu membuatnya terdiam beberapa saat. Di sana ada suaminya, Tama. Tama hanya terdiam sambil menikmati minumannya.
"Suamiku sudah meninggal," jawab Binar dengan santainya. Seketika Tama menatap lurus ke arah Binar. Tidak menyangka jika wanita itu akan mengatakan hal demikian, tapi tidak ada protes darinya. Dia tetap tenang meskipun dinyatakan meninggal oleh Binar, yang masih berstatus istrinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Akikaze, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejutan
Pukul 5 sore, Tama keluar dari kantor. Menaiki mobil berwarna putih, dia menuju sebuah tempat di mana dia memesan perhiasan, berganti tempat, lalu mengambil buket bunga mawar ukuran besar. Dengan wajah sumringahnya dia kembali masuk ke dalam mobilnya, meletakkan hadiah-hadiah tersebut di dalam mobilnya. Kemudian dia kembali berangkat.
Pukul 9 malam, dia tiba di rumah. Tidak seperti hari-hari sebelumnya, kali ini Binar menunggu suaminya pulang. Dia tengah duduk di kursi makan, makanan sudah tersaji dengan lengkap. Menunggu untuk makan malam berdua. Bahkan malam ini Binar dandan agar terlihat lebih cantik dari dandanan dia biasanya.
"Akhirnya mas Tama pulang," sambutnya.
Tama tersenyum manis melihat istrinya menyambutnya, tangan kanan tersembunyi di belakang. Sebuah buket berukuran kecil berada di balik tubuhnya. Tama mendekat, Binar berdiri hendak memeluk suaminya.
"Selamat ulang tahun sayang," Tama mengecup kening istrinya, kemudian memutar tangan kanannya dan menyerahkan buket tersebut. Bunga mawar berwarna putih gading diterima istrinya dengan raut wajah bahagia.
"Ah...terima kasih mas," Binar nampak senang dengan kejutan dari suaminya. "Maaf ya, ulang tahun kali ini, aku nggak bisa bawa kamu kemana-mana,"
"Iya mas, nggak apa-apa, aku senang mas pulang jam segini, jadi kita bisa makan malam," jawabnya legowo, dia sudahh sangat hafal dengan ritme pekerjaan Tama sekarang, meskipun sesekali dia merasa bosan juga, merasa kesepian, sedangkan dia bukan tipe yang suka kumpul dengan orang lain tanpa tujuan. Tama menaikkan kedua alisnya, perutnya sudah terasa kenyang, tapi dia tidak mau mengatakan itu. Dia tidak mau menolak ajakan Binar untuk makan malam yang sudah disiapkan secantik malam ini.
"Yuk," Tama menarik kursi dan duduk tak jauh dari Binar. Tama membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna hitam. "Sebelum makan malam, ini ada sesuatu buat kamu sayang, semoga kamu suka," Binar menatap hadiah dari tangan suaminya, lalu menerimanya. Tidak terlalu kaget, karena kemarin diia menemukan nota di dalam saku celana suaminya. Sebuah nota yang menujukkan suaminya membeli sebuah kalung.
"Boleh aku buka sekarang mas?" Binar meminta persetujuan.
"Boleh dong, buka," Tama mempersilahkan, senyumnya mengembang.
Binar membuka perlahan kotak tersebut, senyum yang semula mengembang tiba-tiba sirna. Ternyata bukan seperti yang dia kira. Sebuah gelang berada di kotak tersebut, sebuah gelang emas putih.
Tama mengambil kotak perhiasan tersebut, lalu mengambul gelangnya. "Aku lihat ini dari beberapa bulan yang lalu, aku berfikir bahwa gelang ini akan sangat cantik berada di pergelangan orang secantik kamu," Tama membantu memakainan ke pergelangan tangan kiri Binar. Binar kembali menyunggingkan senyum meskipun otaknya sedang mencerna cerita lain.
"Nah kan, cantik," Tama berhasil memakaikan gelang tersebut, Tama meraih tangan istrinya lalu menciumnya.
"Ehm....terima kasih mas," Binar memperhatikan gelang tersebut sejenak, kemudian beralih melihat suaminya dan tersenyum kecil. Kemudian senyum itu memudar, dia sibuk makan malam, begitu juga Tama. Hanya perayaan kecil di hari kelahirannya, tidak seperti tahun lalu atau bahkan tahun sebelumnya. Tapi entah kenapa, Binar merasa bukan ini yang dia inginkan, bukan barang mewah juga. Ada yang mengganjal, tapi tidak bisa dia untai dala cerita, bahkan walau di hatinya.
***
Setelah mengambil hadiah dan juga bunga, Tama pergi ke toko kue brand ternama. Dia ingat, ada seseorang yang menyukai roti di sana. Tidak ada salahnya memesannya di hari ulang tahunnya. Tama meletakkan ke dalam mobil dengan sangat hati-hati, agar kue ulang tahun itu tetap selamat sampai tujuan, bahkan dia mengemudi seaman mungkin menghindari goncangan.
Tama tiba di sebuah rumah bercat putih, tangan kanannya memencet bel yang berada di luar pagar. Tidak menuggu lama, seorang perempuan keluar rumah dengan wajah ceria. Dia sangat senang menyambut kedatangan Tama.
"Ada angin apa?" tanya perempuan tersebut menggoda.
"Ada yang bertambah umur hari ini," Tama menatap perempuan itu penuh cinta. Perempuan itu merasa tersipu.
"Selamat ulang tahun sayang,"
"Masuk ih, nggak enak dilihat tetangga," usul perempuan itu, Tama melihat sekeliling, meskipun sepi, tapi ada benarnya dengan apa yang dikatakan oleh perempuan itu.
"Ok" Tama mengangguk. "Sebentar ya," Tama kembali membuka pintu mobilnya, mengambil kue, Bunga raksasa, dan juga hadiah secara bergantian. Perempuan itu nampak takjub dengan apa yang dilakukan Tama.
"Ini buat aku?" tanyanya.
"Buat siapa lagi?" Tama mengedikkan bahu.
"Terima kasih ya Mas,"
Mereka sudah berada di ruang tengah, barang-barang sudah diletakkan di meja kaca. Kue ulang tahun berbentuk bunga, buket bunga dipeluk erat oleh perempuan itu, dan untuk hadiahnya masih disimpan Tama di sakunya.
Tama membantu menyalakan lilin ulang tahun, di sana tertera sebuah angka 23 tahun. Tama mengangkat kue berwarna biru muda dengan hiasan bunga itu, agar perempuan itu dengan mudah meniupnya.
"Selamat ulang tahun ya sayang....sebelum kamu meniupnya, kamu berdoa dulu, apa harapan kamu di ulang tahun kali ini," ujar Tama.
Perempuan itu menutup matanya dan mengucapkan harapannya dalam hati. Beberapa detik kemudian, dia membuka matanya dan meniup lilin hingga padam. Tama meletakkan kue tersebut kembali ke atas meja. Lalu dia memeluk perempuan itu erat.
"Mau tahu nggak doaku apa?" tanya perempuan itu masih dalam pelukan Tama.
"Apa?"
"Aku ingin kamu berada di sini selamanya, Mas," harapnya. Tama melepas tubuhnya perlahan dan menatap perempuan yang ada di depannya. Kedua tangannya meraih kedua tangan perempuan itu dan mengecupnya.
"Maafkan aku ya, suka buat kamu sedih, belum bisa memenuhi harapan kamu,"
"Makanya aku berdoa mas," rengeknya.
"Iya..." jawab Tama.
Beberapa detik suasana hening.
"Oh ya, kamu suka bunganya nggak?" Tama mengambil bunga berwarna biru muda, warna kesukaan perempuan yang ada di depannya. Perempuan itu mengangguk senang. "Dan tunggu, ada satu lagi" Tama merogoh sesuatu dari dalam saku celananya. Sebuah kotak berwarna hitam berada di tangannya, perlahan dia menyerahkannya untuk perempuan itu.
"Bukalah," perintahnya. Dengan mata berbinar, prempuan itu meraih kotak perlahan, lalu membukanya. Tidak hanya kalung, tetapi juga sebuah cincin berlian.
"Buat aku,?" seoah perempuan itu tidak percaya.
"Iya sayang, sini aku bantu pakaikan," Tama meraih sebuah kalung dan melingkarkan ke leher perempuan itu. Perempuan itu memegang kalung tersebut, dia meyakini kalung itu mahal. "Dan ini....sebuah cincin sebagai penanda bahwa kamu adalah milikku," ujar Tama dengan percaya diri.
Sejenak perempuan itu terdiam, andai saja situasinya tidak serumit ini, maka dia akan amat sangat bahagia dengan momen ini. Seolah seperti lamaran pada umumnya. Tapi nyatanya berbeda.
"Ini momen bahagiamu, jangan pasang wajah cemberut," Tama menyentil hidung mancung perempuan itu. "Sini" Tama meraih tangan kiri perempuannya, dan memakaikan cincin tersebut di jari manisnya.
"Pas, sangat cocok di jari lentikmu," lagi-lagi Tama mencium jemari perempuan itu.
"Terima kasih atas semuanya ya mas..."
Tama menarik tubuh perempuan itu dan memeluknya erat. Jam dinding menunjukkan pukul 9 kurang, dengan berat hati Tama harus bergegas pulang.