"Aku ingin menikah denganmu, Naura."
"Gus bercanda?"
***
"Maafin kakak, Naura. Aku mencintai Mas Atheef. Aku sayang sama kamu meskipun kamu adik tiriku. Tapi aku gak bisa kalau aku harus melihat kalian menikah."
***
Ameera menjebak, Naura agar ia tampak buruk di mata Atheef. Rencananya berhasil, dan Atheef menikahi Ameera meskipun Ameera tau bahwa Atheef tidak bisa melupakan Naura.
Ameera terus dilanda perasaan bersalah hingga akhirnya ia kecelakaan dan meminta Atheef untuk menikahi Naura.
Naura terpaksa menerima karna bayi yang baru saja dilahirkan Ameera tidak ingin lepas dari Naura. Bagaimana jadinya kisah mereka? Naura terpaksa menerima karena begitu banyak tekanan dan juga ia menyayangi keponakannya meskipun itu dari kakak tirinya yang pernah menjebaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fega Meilyana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perasaan Rendra
Untuk pertama kalinya, senyuman Rendra menghiasi wajahnya sejak semalam. Senyuman itu tak pernah pudar.
Ia merasa berbunga-bunga, ini kali pertama ia merasakan sesuatu yang berbeda dalam hatinya. Mencintai seseorang yang bahkan tidak pernah terpikir dalam hidupnya-mencintai karyawannya sendiri.
Mustahil memang seorang pimpinan perusahaan, tidak pernah tertarik pada seorang wanita, tapi Rendra hanya tertarik saja, setelah itu tidak ada perasaan lebih. Baginya, semua wanita sama saja, hanya mengincar kekayaannya saja. Tapi bagi Rendra, Laras adalah wanita yang berbeda. Ia tau sejak kali pertama mulai mengenal Laras.
Rendra menepikan mobilnya di pinggir jalan, ia ingin membelikan bunga untuk Laras. Namun hendak ingin memilih bunga, ia melihat Arga-mantan kekasih Laras yang masih saja terus mengganggu Laras tak begitu jauh dari Rendra berdiri.
Rendra cukup lama memperhatikan Arga, dan tak lama seorang wanita berperut buncit datang menghampiri Arga.
"Siapa wanita itu?"
Rendra masih terus memperhatikan interaksi mereka berdua.
"Arga... Akhirnya kamu mau jemput aku." Ucap wanita tadi yang bernama Ayu.
"Diem lo!"
"Arga, kamu kenapa sih kasar sama aku? Ini itu anak kamu!"
"Dia bukan anak gue! Kita ngelakuin itu aja lo udah gak perawan. Dan gara-gara lo, gue kehilangan Laras!"
"Argaaaa!!!"
Arga tidak suka Ayu meneriakinya. Arga mendorong Ayu namun dengan cepat Rendra menangkap wanita hamil itu agar ia tidak terjatuh.
"Siapa lo! Jangan ikut campur urusan orang lain!"
"Saya tidak ikut campur, tapi saya gak suka kalau ada orang yang menyakiti wanita yang sedang hamil. Anda jangan jadi pengecut."
"Banyak bacot lo!"
"Dan saya minta kamu bertanggung jawab sama wanita ini. Jangan kamu ganggu gadis lain."
Arga mengernyitkan alisnya. "Maksud lo, siapa? Laras?"
"Iya. Dia pacar saya sekarang!"
"Ck, gue gak akan lepasin Laras, dia milik gue!"
Rendra menatapnya tajam. "Dan saya tidak akan membiarkan itu."
***
Malam itu, Rendra masih di dalam mobilnya. Ia tidak turun, hanya memandangi rumah kontrakan Laras. Hujan turun deras, membuat suasana semakin sunyi. Rendra duduk di kursi kemudi dan di sampingnya bunga yang indah yang sudah ia beli tadi.
Pikirannya penuh.
Tentang Laras. Tentang caranya menunduk saat bekerja. Tentang caranya tetap sopan meski disakiti. Tentang caranya berkata “tidak” tanpa menyakiti siapa pun.
Ia menghela napas panjang. Ini tidak seharusnya terjadi.
Namun segalanya runtuh ketika bertemu mantan Laras.
'Gue gak akan lepasin Laras. Dia milik gue!"
Rendra mengepalkan tangan.
Arga.
Dan sekarang Rendra berada di depan kontrakan Laras.
Saat mobilnya berhenti di depan rumah Laras, lampu teras masih menyala. Laras duduk di tangga kecil, memeluk lutut, wajahnya pucat.
Rendra turun tergesa.
“Laras!”
Laras mendongak. Wajahnya terkejut. “Rendra?”
“Kamu kenapa di luar? Hujan begini.”
“Aku… cuma butuh udara dan memberikan ini." jawabnya lirih. Ia memberikan bunga cantik yang ia beli tadi.
"Untuk aku?"
Rendra mengangguk.
Laras mencium aroma bunga itu, seketika seulas senyum ia tunjukkan. "Terimakasih."
Rendra duduk di sampingnya, menjaga jarak—namun seluruh tubuhnya siaga. Saat Laras menggigil, Rendra refleks melepas jasnya dan menyelimutkannya ke bahu Laras.
Saat itulah dadanya terasa perih.
Ia tidak lagi sekadar peduli.
Ia takut kehilangan.
“Arga menghubungimu lagi?” tanyanya pelan.
Laras mengangguk. “Aku sudah menutup semua pintu. Tapi masa lalu memang tidak selalu mau pergi.”
Kalimat itu menusuk Rendra lebih dalam dari yang ia kira.
Ia menatap wajah Laras yang basah oleh hujan dan air mata. Dan tiba-tiba, semua pertahanan runtuh.
Ia tidak ingin lagi berdiri sebagai penonton.
Ia ingin berada di sisinya.
“Aku tidak bisa diam lagi,” ucap Rendra, suaranya bergetar tipis. “Bukan karena aku atasanmu. Bukan karena aku ingin terlihat sebagai pelindung.”
Ia menarik napas panjang. “Aku takut… kalau aku tidak jujur sekarang, aku akan kehilanganmu.”
Laras menoleh, matanya membulat.
Rendra menatapnya lurus. Untuk pertama kalinya, tanpa jarak, tanpa topeng.
“Aku jatuh cinta sepenuhnya padamu, Laras.”
Hujan menjadi latar sunyi bagi pengakuan itu. “Aku mencintaimu bukan karena kamu membutuhkan perlindungan,” lanjutnya. “Aku mencintaimu karena kamu kuat. Karena kamu memilih bertahan tanpa mengeraskan hati.”
Tangannya gemetar—bukan karena dingin, melainkan karena takut.
“Aku tidak tahu apakah kamu siap,” ucapnya jujur. “Tapi aku tahu satu hal… perasaanku tidak akan berubah.”
Laras terisak pelan.
Untuk pertama kalinya, ia tidak merasa sendirian dalam lukanya. Dan Rendra tahu—di saat itulah ia tidak lagi sekadar jatuh cinta. Ia sudah tenggelam sepenuhnya.
***
Sejak malam itu, ada sesuatu yang berubah—bukan di kantor, tetapi di antara mereka.
Di hadapan orang lain, Rendra tetaplah Rendra yang sama, tegas, tenang, dan berjarak. Ia memanggil Laras dengan profesional, memberi tugas tanpa nada istimewa, dan menjaga sikap seolah tak pernah ada pengakuan di tengah hujan malam itu.
Namun saat hanya ada mereka berdua, cinta itu hadir pelan, tidak memaksa, namun nyata. Rendra tidak datang dengan janji-janji besar. Ia datang dengan konsistensi.
Ia mengantar Laras pulang tanpa banyak bicara, memastikan lampu teras rumah Laras menyala sebelum ia pergi. Ia mengirim pesan singkat setiap pagi, sederhana.... “Jangan lupa sarapan.”
Ia tak pernah memaksa Laras membalas cepat, tak pernah menuntut perhatian. Dan Laras memperhatikannya.
Ia menyadari bahwa Rendra mencintainya dengan cara yang aman.
Suatu sore, mereka menyelesaikan pekerjaan lebih cepat. Rendra menutup map terakhir dan menoleh.
“Kita sudah selesai. Kamu boleh pulang lebih awal.”
Laras mengangguk. “Terima kasih, Pak.”
Namun saat di parkiran, Rendra memanggilnya lagi—kali ini tanpa jarak.
“Laras.”
“Iya?”
“Mau makan?” tanyanya, ragu namun tulus. “Kalau kamu tidak keberatan.”
Laras terdiam sejenak, lalu mengangguk kecil. “Boleh.”
Mereka makan di tempat sederhana. Tak ada obrolan berat. Hanya cerita ringan—tentang masa kecil, tentang kegemaran kecil yang tak pernah mereka ceritakan pada siapa pun.
Rendra mendengarkan dengan penuh perhatian. Tidak memotong. Tidak menilai.
“Terima kasih sudah mau mendengarkan aku,” kata Laras pelan.
Rendra tersenyum tipis. “Aku selalu mau.”
Hari-hari berikutnya, Laras mulai menunggu pesan Rendra tanpa ia sadari. Ia mulai tersenyum saat membaca namanya muncul di layar ponsel.
Ia mulai merasa tenang saat tahu Rendra ada—tanpa harus bersama.
Suatu malam, Laras pulang dengan tubuh lelah. Ia duduk di teras rumah, menatap kosong.
Tak lama, mobil Rendra berhenti.
“Kamu kenapa?” tanya Rendra pelan.
“Aku capek… bukan fisik,” jawab Laras jujur.
Rendra duduk di sampingnya, tetap menjaga jarak. “Kamu tidak harus kuat terus.”
Kalimat itu membuat air mata Laras jatuh.
Untuk pertama kalinya, ia menangis di hadapan seorang laki-laki tanpa rasa takut.
Rendra tidak memeluknya. Ia hanya berada di sana. Diam. Menemani. Dan itu cukup.
Malam itu, Laras berkata lirih, “Rendra… aku takut membuka hati lagi.”
Rendra menoleh. “Aku tidak meminta kamu percaya sepenuhnya sekarang.”
Ia tersenyum lembut. “Aku hanya minta kamu izinkan aku berjalan di sampingmu. Pelan-pelan.”
Laras menghela napas panjang. “Aku akan mencoba,” ucapnya akhirnya. “Aku mau menerima kehadiran kamu.”
Rendra menutup mata sesaat, menahan rasa syukur yang membuncah. “Terima kasih,” katanya tulus.
Tidak ada ciuman. Tidak ada pelukan. Hanya dua hati yang akhirnya searah.
Dan sejak malam itu, Laras tidak lagi menutup pintu hatinya. Ia membiarkan Rendra masuk—perlahan, dengan kepercayaan yang baru tumbuh.
***
Sore itu, langit tampak mendung sejak siang. Laras baru saja keluar dari kantor, langkahnya sedikit tergesa. Ia ingin segera pulang.
Namun langkahnya terhenti.
Arga berdiri di seberang trotoar.
Jantung Laras seketika mencelos. Wajah itu yang dulu ia kenal, kini terasa asing dan menakutkan.
“Apa lagi yang kamu mau?” suara Laras bergetar, namun ia memaksakan ketegasan.
“Aku datang menjemput kamu,” jawab Arga santai, seolah tak pernah ada luka di antara mereka. “Kita harus bicara.”
“Aku sudah bilang, tidak ada yang perlu dibicarakan.”
Arga mendekat. Terlalu dekat.
“Kamu berubah sejak dekat dengan atasanmu itu,” katanya sinis. “Kamu pikir dia serius sama kamu?”
Laras mundur selangkah. “Tolong jaga ucapanmu.”
“Aku masih punya hak atas kamu,” Arga menahan lengannya.
Laras terkejut. “Lepaskan!”
Sebuah suara tegas memotong udara. “Lepaskan dia!!"
Rendra berdiri beberapa langkah dari mereka. Wajahnya tenang, namun sorot matanya tajam. Ia baru saja turun dari mobil.
Arga menoleh, tertawa kecil. “Datang juga pahlawanmu.”
Rendra melangkah maju dan berdiri di depan Laras—posisinya jelas, tubuhnya menjadi perisai.
“Dia sudah menolakmu,” ucap Rendra dingin. “Dan kamu tidak punya hak menyentuhnya.”
“Ini urusan pribadi,” balas Arga keras. “Kamu atasan, bukan siapa-siapa.”
Rendra menoleh sekilas ke Laras. “Masuk mobil.”
Laras ragu sejenak, lalu menurut.
Rendra kembali menatap Arga. “Sekarang dengarkan saya baik-baik.”
Nada suaranya rendah, terkontrol—berbahaya. “Jika kamu datang lagi, menghubunginya, atau mencoba memaksanya, saya akan menempuh jalur hukum. Bukan sebagai pimpinan perusahaan. Tapi sebagai orang yang mencintainya.”
Arga terdiam.
“Kamu mencintainya?” ejeknya.
“Iya,” jawab Rendra tanpa ragu. “Dan saya tidak akan membiarkan siapa pun menyakitinya lagi.”
Keheningan menekan.
Arga meludah kecil, lalu mundur. “Kita lihat saja.”
Ia pergi dengan langkah kasar.
Di dalam mobil, Laras menggigil. Tangannya mengepal di pangkuan. “Kamu baik-baik saja?” tanya Rendra lembut.
Laras mengangguk, air matanya jatuh. “Aku takut.”
Rendra memarkir mobil, lalu menoleh penuh perhatian.
“Dengar aku,” ucapnya pelan namun tegas. “Kamu tidak sendirian. Bukan lagi.”
Ia berhenti sejenak. “Aku tidak akan melindungimu hanya di kantor. Aku akan melindungimu di hidupmu.”
Laras menatapnya, matanya basah. “Kenapa kamu mau sejauh ini?” tanyanya lirih.
Rendra tersenyum kecil. “Karena aku mencintaimu. Dan cinta tidak pernah setengah-setengah.”
Untuk pertama kalinya, Laras tidak menahan air matanya. Ia bersandar ke kursi, merasa aman.
Dan di saat itulah, Laras benar-benar percaya—ia telah memilih orang yang tepat untuk berdiri di sisinya.
***
Arga tidak tinggal diam, ia masih terus mengganggu Laras. Arga ingin Laras kembali padanya. Karena Arga baru menyadari bahwa dirinya mencintai Laras, Arga memang pernah berselingkuh dari Laras. Itu hanya nafsu sesaat, karena Laras tidak ingin disentuh sebelum ada ikatan pernikahan. Arga pergi mencari kesenangan lain.
Ancaman itu datang kembali di saat Laras mulai merasa sedikit tenang.
Pagi itu, Laras baru saja sampai di kantor ketika ponselnya bergetar. Nomor tak dikenal.
Ia ragu sejenak, lalu mengangkatnya.
“Angkat juga akhirnya,” suara Arga terdengar, rendah dan dingin.
Jantung Laras berdegup kencang. “Aku sudah bilang, jangan hubungi aku lagi.”
“Kamu pikir aku akan berhenti begitu saja?” Arga tertawa pendek. “Aku kehilangan segalanya karena kamu.”
“Aku tidak pernah meminta kamu datang lagi ke hidupku,” suara Laras bergetar, namun tegas.
“Dengar aku baik-baik,” potong Arga. “Kalau kamu tetap memilih dia, aku pastikan hidupmu tidak akan tenang. Pekerjaanmu, nama baikmu—semuanya bisa hancur dalam satu malam.”
Laras menutup mata. Tangannya gemetar. “Kamu mengancam aku?”
“Aku memperingatkan,” jawab Arga santai. “Kita bisa baik-baik saja… asal kamu kembali.”
Sambungan terputus.
Laras terduduk lemas. Dadanya sesak, napasnya pendek. Kenangan lama—rasa takut, rasa terjebak—kembali menyerbu.
Tanpa sadar, ia berdiri dan berjalan menuju ruang Rendra.
Rendra langsung tahu ada yang tidak beres saat melihat wajah Laras.
“Apa yang terjadi?” tanyanya, bangkit dari kursi.
Laras menyerahkan ponselnya dengan tangan gemetar. “Dia… Arga. Dia mengancam aku.”
Rendra membaca pesan dan mendengarkan rekaman panggilan yang sempat Laras simpan. Rahangnya mengeras. Tangannya mengepal.
“Ini sudah melewati batas,” ucapnya dingin.
Rendra meraih ponselnya sendiri dan menelepon.
“Pak Surya,” katanya tenang namun tajam. “Saya butuh bantuan hukum. Sekarang.”
Laras menatapnya, panik. “Rendra, aku nggak mau bikin kamu repot—”
Rendra memotongnya lembut tapi tegas. “Ini bukan soal repot. Ini soal keselamatanmu.”
Ia menatap Laras penuh keyakinan. “Dan aku tidak akan mundur.”
Sore itu, Arga menerima panggilan balasan. Bukan dari Laras.
Dari Rendra.
“Anda sudah selesai?” tanya Rendra tanpa basa-basi.
“Hah… si bos?” Arga terkekeh. “Lo pikir bisa beli semuanya?”
Rendra tersenyum tipis—tanpa kehangatan. “Saya sudah menyerahkan bukti ancamanmu ke kuasa hukum. Rekaman, pesan, saksi.”
Arga terdiam.
“Mulai hari ini,” lanjut Rendra, “kamu dilarang mendekati Laras. Jika kamu melanggar, laporan pidana langsung berjalan.”
“Lo berani?!" suara Arga meninggi.
“Saya tidak berani,” jawab Rendra datar. “Saya siap.”
Keheningan panjang.
“Dan satu hal lagi,” ucap Rendra pelan namun menusuk. “Laras tidak kembali padamu bukan karena saya. Tapi karena kamu mengkhianatinya. Jangan salahkan siapa pun selain dirimu sendiri.”
Telepon ditutup.
Malamnya, Rendra mengantar Laras pulang. Ia tidak berbicara banyak. Namun sebelum Laras turun dari mobil, Rendra menggenggam tangannya—erat, menenangkan.
“Aku takut,” Laras jujur.
Rendra menatapnya penuh keteguhan. “Takut itu wajar. Tapi kamu tidak sendirian.”
Ia menghela napas, lalu berkata dengan suara paling jujur yang pernah Laras dengar.
“Kalau dunia harus aku lawan agar kamu aman, aku akan melakukannya. Karena mencintaimu bukan pilihan setengah-setengah bagiku.”
Air mata Laras jatuh—bukan karena ancaman.
Melainkan karena akhirnya, ia benar-benar dilindungi.
Dan di kejauhan, Arga kehilangan satu-satunya senjata yang ia punya: kuasa atas rasa takut Laras.