Elang Alghifari, CEO termuda yang sukses, dijebak oleh sahabat dan calon istrinya sendiri. Dalam semalam, ia kehilangan segalanya—perusahaan, reputasi, kebebasan. Tiga tahun di penjara mengubahnya dari pemimpin visioner menjadi pria yang hidup untuk satu tujuan: pembalasan.
Namun di balik jeruji besi, ia bertemu Farrel—mentor yang mengajarkan bahwa dendam adalah seni, bukan emosi. Setelah bebas, Elang kabur ke Pangalengan dan bertemu Anya Gabrielle, gadis sederhana yang mengajarkan arti cinta tulus dan iman yang telah lama ia lupakan.
Dengan identitas baru, Elang kembali ke Jakarta untuk merebut kembali segalanya. Tapi semakin dalam ia tenggelam dalam dendam, semakin jauh ia dari kemanusiaannya. Di antara rencana pembalasan yang sempurna dan cinta yang menyelamatkan, Elang harus memilih: menjadi monster yang mengalahkan musuh, atau manusia yang memenangkan hidupnya kembali.
Jatuh untuk Bangkit adalah kisah epik tentang pengkhianatan, dendam, cinta,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21: NYARIS KETAHUAN
#
Pagi itu warung Bu Marni lebih rame dari biasanya—hari Sabtu, banyak buruh kebun teh yang libur mampir buat sarapan. Elang lagi di dapur bantu Anya goreng tempe dan tahu, keringat tipis di dahi meskipun udara Pangalengan dingin. Tangan dia udah mulai terlatih—gak kayak dulu yang pertama kali pegang spatula aja bingung. Sekarang dia bisa multitasking: goreng sambil atur api, sambil dengerin Anya cerita tentang tetangga yang anaknya mau nikah.
"Mas, tempenya keangkat dulu, udah cokelat tuh," Anya ngingetin sambil senyum—senyum yang bikin pagi terasa lebih hangat dari kompor.
"Oh iya," Elang cepet angkat tempe, taro di piring yang udah dialas tisu. "Makasih Nya."
Pintu warung terbuka. Bunyi lonceng kecil yang Bu Marni pasang berbunyi—tanda ada pelanggan baru. Elang gak langsung noleh—biasa aja, pelanggan masuk keluar tiap hari. Tapi ada sesuatu yang bikin tengkuknya merinding—insting yang diasah tiga tahun di penjara, insting yang bilang ada bahaya meskipun gak keliatan.
Ia lirik ke arah pintu dari sudut mata. Cowok paruh baya, tinggi, tegap, setelan casual tapi rapi—terlalu rapi buat Pangalengan di hari Sabtu pagi. Wajahnya keras, mata tajam yang langsung scan seluruh ruangan dengan cara yang terlalu profesional buat turis biasa. Dan mata itu—mata itu berhenti sebentar di Elang.
Jantung Elang langsung berdetak dua kali lebih cepet. Ia turunin kepala, pura-pura fokus ke penggorengan, tapi seluruh tubuhnya tegang kayak dawai gitar yang ditarik maksimal.
"Selamat pagi, Bapak," Bu Marni menyapa dengan ramah dari konter depan. "Mau pesan apa?"
"Kopi item, Mbok," suara cowok itu dalam dan serak—suara yang udah sering interogasi orang, Elang bisa rasain. "Sama pisang goreng kalau ada."
"Aya atuh, Pak. Mangga silakan duduk dulu."
Elang dengar suara kursi diseret. Ia gak berani lihat, tapi ia tau—ia bisa rasain—mata cowok itu masih ngawasin dia. Tangannya yang pegang spatula gemetar sedikit. Anya ngeliatin dengan alis berkerut, tapi Elang geleng pelan—tanda jangan tanya sekarang.
"Nya," bisiknya pelan banget, "aku ke belakang bentar. Lo yang anter pesanan nanti ya."
"Kok mas? Lagi gak enak badan?" Anya khawatir, tapi Elang udah jalan cepet ke belakang dapur, ke ruang kecil yang biasa buat nyimpen bahan makanan. Ia bersandar di dinding, napas berat, tangan nyentuh dada yang rasanya mau meledak.
Detektif. Itu pasti detektif. Cara dia lihat, cara dia observasi—gak mungkin salah. Brian kirim orang. Dan orang itu sekarang duduk di warung, sepuluh meter dari dia.
"Tenang," Elang bisik ke dirinya sendiri. "Lo beda sekarang. Rambut panjang. Jenggot. Kacamata. Dia gak akan—"
"Mbok," suara detektif itu kedengeran dari luar, santai tapi ada sesuatu di baliknya, "yang bantu di dapur siapa? Kayaknya baru ya?"
Elang membeku. Seluruh dunia berhenti sedetik.
"Oh, itu Mas Galang," suara Bu Marni dengan bangganya—gak tau dia lagi jawab pertanyaan yang bisa ngancurin hidup orang yang ia anggap kayak anak sendiri. "Anak ngekos aku. Udah setengah tahun di sini. Baik orangnya, rajin sholat, tulung-tulung. Orang Jakarta katanya, tapi udah betah di dieu."
"Jakarta ya?" nada detektif itu berubah sedikit—lebih tertarik. "Kerja apa dia di Jakarta dulu?"
"Waduh, aku mah kurang terang. Anakna teh jarang cerita. Tapi katingalna alus, teu macam-macam."
Elang harus keluar. Kalau dia terus sembunyi, malah makin mencurigakan. Ia tarik napas dalam, atur ekspresi wajah—netral, tenang, gak ada yang disembunyiin. Ambil nampan yang Anya udah siapin dengan kopi dan pisang goreng. Jalan keluar dengan langkah yang berusaha gak terlalu cepet atau terlalu lambat.
Mata detektif itu langsung ke dia. Elang bisa rasain intensitasnya—kayak disorot lampu interogasi.
Ia jalan ke meja detektif itu, taruh nampan dengan tangan yang berusaha gak gemetar. "Pesanan bapak," katanya dengan suara yang lebih rendah dari biasa—sengaja dibikin agak beda, agak lebih kasar.
"Makasih mas," detektif itu jawab sambil terus menatap wajah Elang—gak nyaman, tapi Elang paksa dirinya balas tatapan dengan senyum tipis.
"Sama-sama, Pak."
Detik itu terasa kayak jam. Mata mereka ketemu—cokelat gelap bertemu cokelat gelap. Elang bisa lihat otaknya lagi kerja di balik mata itu, lagi bandingkan wajah di depannya dengan foto yang mungkin ada di hapenya, lagi cari kesamaan dan perbedaan.
Lalu detektif itu senyum—senyum profesional yang gak nyampe mata. "Mas dari Jakarta ya? Jauh-jauh pindah ke sini."
"Iya Pak," Elang jawab singkat. "Cari suasana baru."
"Kerja apa sekarang?"
"Bantu-bantu di warung. Gak pasti. Apapun yang ada."
"Hmm." Detektif itu angguk, ambil kopi, minum pelan sambil mata tetep ngawasin. "Wajahnya familiar. Kita pernah ketemu?"
Jantung Elang berhenti sedetik. "Gak kayaknya, Pak. Aku jarang keluar dari Pangalengan."
"Mungkin emang cuma mirip orang yang aku kenal," detektif itu akhirnya bilang, tapi nada suaranya gak meyakinkan—lebih kayak nyimpen informasi buat dipikirin nanti.
Elang angguk sopan, berbalik, jalan kembali ke dapur dengan langkah yang berusaha natural meskipun kaki rasanya kayak jelly. Begitu sampe dapur dan yakin detektif gak lihat, ia sandar ke dinding, tangan nutup wajah, napas keluar berat.
"Mas!" Anya bisik khawatir, dekatin dia dengan tangan mau sentuh lengannya tapi ragu. "Mas gak apa-apa? Mukanya pucat banget."
"Gue... gue baik-baik aja," Elang bisik balik meskipun jelas dia gak baik-baik aja. "Cuma... cuma kepanasan di dapur."
Tapi Anya gak bodoh. Ia lihat cara Elang gemetar, cara napasnya gak teratur, cara matanya terus melirik ke arah depan dengan was-was. "Orang itu..." bisiknya lebih pelan lagi, "orang itu siapa, Mas?"
Elang menatap Anya—mata yang polos tapi udah mulai ngerti bahwa ada bahaya nyata di depan mereka. Ia gak bisa bohong ke dia. Gak ke Anya.
"Orang suruhan Brian," akhirnya ia akuin dengan suara yang nyaris gak kedengeran. "Detektif. Dia lagi cari aku."
Wajah Anya berubah—dari khawatir jadi takut, dari takut jadi sedih. "Terus... terus mas mau gimana? Dia udah liat mas. Dia udah di sini."
"Aku gak tau," Elang jujur dengan keputusasaan yang gak bisa disembunyiin. "Aku cuma bisa berharap perubahanku cukup buat bikin dia ragu. Cukup buat dia gak yakin aku itu Elang."
Mereka diam—dua orang di dapur kecil yang bau minyak goreng dan bumbu, dengerin suara detektif di luar yang ngobrol santai sama Bu Marni, tanya-tanya tentang Pangalengan, tentang tempat bagus buat nginep, tentang orang-orang Jakarta yang mungkin pindah ke sini.
Setelah dua puluh menit yang rasanya kayak dua jam, akhirnya detektif itu bayar dan pergi. Elang intip dari celah pintu dapur, lihat punggungnya menjauh, naik motor yang diparkir di depan, dan akhirnya hilang di tikungan jalan.
Cuma setelah motor itu bener-bener hilang, Elang baru bisa napas lega—napas panjang yang keluar kayak mengerang.
"Mas," Anya pegang lengannya sekarang dengan grip yang erat, "orang itu... orang itu ngelihatin mas terus tadi. Gak kayak pelanggan biasa. Dia... dia tau, kan? Dia tau mas itu..."
"Dia curiga," Elang koreksi sambil duduk di kursi kecil dapur dengan kaki yang tiba-tiba lemes. "Tapi curiga bukan bukti. Aku beda banget dari foto lama. Rambut, jenggot, berat badan—semua beda. Dan aku pakai nama lain, identitas lain. Dia gak bisa langsung asal tuduh."
"Tapi dia bakal balik," Anya bisik dengan kepastian yang ngeri. "Dia bakal balik buat mastiin. Dan kalau dia bawa foto, kalau dia tanya lebih banyak orang..."
Elang tau Anya bener. Detektif itu gak akan berhenti di sini. Dia udah dapat jejak—meskipun belum yakin, tapi udah cukup buat investigasi lanjut. Dan investigasi lanjut berarti lebih banyak pertanyaan, lebih banyak observasi, lebih banyak resiko.
"Aku harus lebih hati-hati," akhirnya Elang bilang dengan suara yang berusaha terdengar lebih kuat dari yang dia rasain. "Gak boleh keluar warung kalau gak perlu. Gak boleh kelihatan terlalu sering. Harus—"
"Mas harus pergi," Anya memotong dengan suara yang gemetar tapi tegas. "Mas harus pergi dari sini sebelum dia balik dengan lebih banyak orang. Sebelum dia—"
"Aku gak akan ninggalin lo," Elang potong balik, megang tangan Anya yang dingin dan gemetar. "Aku gak akan kabur dan biarin lo sama emak lo dalam bahaya. Kalau aku pergi tiba-tiba setelah detektif itu dateng, itu malah konfirmasi kecurigaan dia. Aku harus tetep di sini, tetep acting normal, tetep jadi Galang yang biasa."
"Tapi mas—"
"Percaya sama aku, Nya," Elang menatap matanya dengan intensitas yang bikin Anya gak bisa ngelak. "Aku udah bertahan tiga tahun di penjara dengan orang-orang yang lebih bahaya dari detektif itu. Aku bisa handle ini. Aku harus."
Anya menatap dia lama—mata berkaca-kaca tapi dia tahan air matanya jangan sampe jatuh. Akhirnya ia angguk pelan, meskipun jelas dia gak sepenuhnya yakin, gak sepenuhnya tenang.
"Janji sama aku," bisiknya dengan suara yang pecah, "janji mas gak akan kenapa-kenapa. Janji mas gak akan ditangkep lagi. Janji mas... janji mas gak akan ninggalin aku."
Elang gak bisa janji itu—gak dengan jujur, gak dengan keadaan yang sekarang. Tapi dia lihat wajah Anya yang penuh harapan dan takut, dan dia gak sanggup ambil harapan itu.
"Aku janji," bohongnya dengan lembut—bohong yang paling menyakitkan yang pernah dia ucapin. "Aku janji, Nya."
Anya peluk dia—pelukan yang desperate, yang takut kehilangan, yang bilang "tolong jangan pergi tolong jangan ninggalin aku sendiri". Dan Elang peluk balik dengan mata yang menatap jendela dapur ke arah jalan di mana detektif itu tadi lewat.
Perang udah sampe ke depan pintu rumahnya. Dan entah gimana, Elang harus bertahan tanpa ngancurin orang-orang yang udah jadi keluarga barunya.
---
**[Bersambung