NovelToon NovelToon
TERKUTUK! Rumah Tua Ini Simpan Rahasia Kematian Ibuku Yang Sebenarnya!

TERKUTUK! Rumah Tua Ini Simpan Rahasia Kematian Ibuku Yang Sebenarnya!

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Horor / Trauma masa lalu / Keluarga / Roh Supernatural / Romansa
Popularitas:37
Nilai: 5
Nama Author: Bangjoe

Setelah kematian ayahnya, Risa Adelia Putri (17) harus kembali ke rumah tua warisan mendiang ibunya yang kosong selama sepuluh tahun. Rumah itu menyimpan kenangan kelam: kematian misterius sang ibu yang tak pernah terungkap. Sejak tinggal di sana, Risa dihantui kejadian aneh dan bisikan gaib. Ia merasa arwah ibunya mencoba berkomunikasi, namun ingatannya tentang malam tragis itu sangat kabur. Dibantu Kevin Pratama, teman sekolahnya yang cerdas namun skeptis, Risa mulai menelusuri jejak masa lalu yang sengaja dikubur dalam-dalam. Setiap petunjuk yang mereka temukan justru menyeret Risa pada konflik batin yang hebat dan bahaya yang tak terduga. Siapa sebenarnya dalang di balik semua misteri ini? Apakah Bibi Lastri, wali Risa yang tampak baik hati, menyimpan rahasia gelap? Bersiaplah untuk plot twist mencengangkan yang akan menguak kebenaran pahit di balik dinding-dinding usang rumah terkutuk ini, dan saksikan bagaimana Risa harus berjuang menghadapi trauma, dan Pengkhianatan

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 23: Jatuh ke Jurang Rahasia

Rasa melayang itu hanya berlangsung sesaat, sebelum tubuh Risa menghantam sesuatu yang keras dan berdebu. Napasnya tercekat, paru-parunya seperti diremas, dan semua udara dalam dirinya terhempas keluar. Ia jatuh terjerembap di atas tumpukan kain lapuk dan kayu-kayu tua yang rapuh, bau apek langsung menusuk hidungnya. Kegelapan pekat menyelimutinya, begitu total hingga ia tidak bisa melihat tangannya sendiri, apalagi sekelilingnya.

Kepalanya berdenyut nyeri, mungkin terbentur sesuatu saat jatuh. Samar-samar, ia mendengar teriakan frustrasi Bibi Lastri dari atas, diikuti suara gedebuk dan benturan yang keras. Pasti wanita itu mengamuk, menendang-nendang pintu cermin yang kini tertutup rapat. Risa bersyukur pintu itu tertutup, tapi juga disergap ketakutan baru. Bagaimana ia akan keluar dari sini? Di mana 'sini' ini sebenarnya?

Tangan Risa meraba-raba di sekelilingnya, berusaha mencari pijakan atau sekadar mengetahui apa yang ada di dekatnya. Debu tebal menempel di jemarinya, bercampur dengan serat-serat kain lapuk. Dingin merayap dari lantai tanah yang ia pijak, menusuk tulangnya. Ia mencoba berdiri, namun kakinya terasa lemas, mungkin terkilir ringan. Dengan susah payah, ia merangkak, menjauhi titik jatuhnya, mencari dinding atau sesuatu untuk berpegangan.

Jantungnya berdebar kencang, memukul-mukul rusuknya seolah ingin keluar. Pikiran tentang pisau berkilat di tangan Bibi Lastri masih membekas tajam. Wanita itu sungguh berniat membunuhnya. Ini bukan lagi sekadar ancaman, ini adalah usaha pembunuhan terang-terangan. Dan arwah ibunya… arwah ibunya yang menunjuk ke sini. Ke dalam kegelapan ini. Apa yang ibunya coba tunjukkan?

"Ibu…" bisik Risa, suaranya serak dan gemetar. Tidak ada jawaban, hanya keheningan yang menyesakkan, diperparah oleh suara napasnya sendiri yang terdengar begitu keras di telinganya. Ia teringat senyuman tipis arwah ibunya sebelum pintu tertutup. Senyuman itu seolah berkata, 'Kau akan baik-baik saja, Nak. Temukan kebenarannya.'

Sebuah cahaya redup tiba-tiba muncul di kejauhan, begitu samar seperti kunang-kunang yang terperangkap dalam kegelapan. Risa menoleh cepat, matanya berusaha menembus tirai hitam di hadapannya. Sumber cahaya itu… sepertinya dari celah di dinding, atau mungkin sebuah jendela kecil yang tersamar debu. Dengan tekad yang baru, Risa mulai merangkak lagi, tangannya menyapu-nyapu lantai, mencari jalan.

Setiap jengkal ia merangkak, bau apek dan lembap semakin kuat, bercampur bau tanah dan sesuatu yang lain… sesuatu yang busuk dan manis, seperti bunga yang membusuk atau… darah kering? Perut Risa mual, tapi ia memaksakan diri untuk terus maju. Cengkeramannya pada kalung liontin kunci di lehernya menguat. Ini adalah satu-satunya jimatnya, satu-satunya pengingat akan ibunya yang nyata.

Akhirnya, tangannya menyentuh sesuatu yang keras dan dingin. Sebuah dinding. Dengan hati-hati, ia menegakkan tubuhnya, meraba dinding itu. Permukaannya kasar, dingin, dan terasa seperti batu bata. Ia mengikuti dinding itu, melangkah perlahan, menyeret kakinya yang sedikit nyeri. Cahaya samar itu semakin terlihat, kini berbentuk seperti celah vertikal yang memanjang. Itu bukan jendela, itu… sepertinya sebuah pintu kayu yang sudah lapuk, dengan celah-celah di mana-mana.

Dari celah pintu itu, Risa bisa melihat sedikit. Bukan pemandangan luar, melainkan… sebuah ruangan lain. Sebuah ruangan yang sedikit lebih terang, disinari oleh cahaya rembulan yang menembus jendela tinggi berdebu. Dengan napas tertahan, Risa mendorong pintu itu pelan. Bunyi derit panjang dan mengerikan memenuhi keheningan, membuat bulu kuduknya meremang. Pintu itu terbuka, menampakkan sebuah lorong sempit yang panjang, dengan dinding batu bata yang sama dan lantai tanah yang lembap.

Lorong itu tidak kosong. Di sepanjang dinding, berjejer rak-rak kayu yang penuh dengan toples-toples kaca. Sebagian besar toples itu pecah, isinya berhamburan di lantai, namun beberapa masih utuh. Risa mengamati isinya dengan ngeri. Herbal kering, akar-akaran aneh, cairan keruh dalam botol-botol kecil, dan… beberapa benda yang tak bisa ia identifikasi. Ada bau aneh yang menyengat di sana, campuran rempah, tanah, dan sesuatu yang mistis. Bau itu familiar… seperti bau yang ia cium di kamar Bibi Lastri, sesekali.

Ini bukan gudang biasa. Ini… seperti laboratorium kuno. Atau tempat praktik ritual. Mata Risa menyapu lorong, dan di ujungnya, ia melihat sebuah meja kayu besar. Di atas meja itu, berserakan perkamen-perkamen tua, buku-buku tebal dengan sampul kulit yang usang, dan beberapa benda logam aneh yang berkilauan di bawah cahaya rembulan.

Sebuah firasat buruk merayapi punggungnya. Tempat ini terasa dingin, jahat, dan menyimpan rahasia kelam. Tapi ia tidak punya pilihan. Ia harus tahu apa yang ada di sini. Apa yang ibunya ingin ia temukan. Dengan langkah hati-hati, Risa memasuki lorong itu, melewati toples-toples yang pecah, serpihan kaca mengilat seperti gigi-gigi tajam di kegelapan.

Ia mendekati meja kayu itu. Perkamen-perkamen itu dipenuhi tulisan tangan yang rapi namun kuno, berbahasa yang tidak ia kenali. Ada diagram-diagram aneh, simbol-simbol yang belum pernah ia lihat. Beberapa halaman buku tampak seperti gambar-gambar anatomi tubuh manusia, tapi dengan detail yang mengganggu, ada aura-aura hitam yang melingkupinya. Semakin ia melihat, semakin ia merasa tidak nyaman. Ini bukan ilmu biasa. Ini adalah… ilmu hitam.

Di tengah tumpukan buku dan perkamen, tergeletak sebuah kotak kayu kecil yang tertutup rapat. Kotak itu diukir dengan simbol yang sama dengan yang ada di perkamen-perkamen itu. Jantung Risa berdetak lebih kencang. Naluri mengatakan ada sesuatu yang sangat penting di dalam kotak ini. Atau sangat berbahaya.

Tangannya gemetar saat ia meraih kotak itu. Permukaan kayunya terasa dingin, seolah menyerap semua kehangatan dari sekitarnya. Sebuah kunci kecil tergantung di sisi kotak, berkarat dan usang. Risa ingat kalungnya. Liontin kunci kecilnya. Apakah ini… kunci untuk membuka kotak ini? Mungkinkah ini yang ibunya ingin ia temukan? Mungkinkah ini alasan ibunya menunjuk ke arah cermin itu?

Dengan tergesa-gesa, ia melepaskan liontin kunci dari kalungnya. Kunci itu memang sangat mirip, bahkan ukurannya pun pas. Tangannya bergetar hebat saat ia memasukkannya ke lubang kunci pada kotak. Klik! Suara kecil itu memecah keheningan, terasa seperti guntur di telinganya. Kotak itu terbuka.

Di dalamnya, teronggok beberapa benda. Sebuah gulungan perkamen yang jauh lebih tebal dari yang lain, terikat pita sutra merah yang sudah pudar. Sebuah liontin perak berbentuk bulan sabit, dengan ukiran yang rumit. Dan sebuah buku catatan kecil bersampul kulit hitam, yang terlihat jauh lebih baru dibandingkan benda-benda lainnya.

Risa mengambil gulungan perkamen itu terlebih dahulu. Saat ia membuka ikatan pitanya, sebuah foto kecil terjatuh dari dalamnya. Foto seorang wanita muda, tersenyum lembut. Wajahnya… wajah ibunya. Tapi bukan ibunya yang ia ingat. Ini ibunya saat masih sangat muda, mungkin seumuran Risa sekarang. Di samping ibunya, berdiri seorang wanita lain yang wajahnya tidak asing. Bibi Lastri. Tapi Bibi Lastri di foto itu terlihat berbeda, lebih ramping, dengan senyum yang tidak sehangat senyum ibunya. Ada bekas luka samar di tangan kanan Bibi Lastri, persis seperti yang sering disembunyikan Bibi Lastri di masa kini.

Jantung Risa berdesir. Kedua wanita itu memegang tangan seorang anak kecil, yang wajahnya masih kabur karena foto yang sudah usang. Anak kecil itu memakai kalung liontin kunci. Kalung yang sama dengan miliknya sekarang.

Ia beralih ke buku catatan hitam. Sampulnya terasa licin di jemarinya. Saat ia membukanya, tulisan tangan rapi yang dikenalnya langsung menyambutnya. Tulisan tangan ibunya. Ini adalah buku harian ibunya. Tanggal entri pertama adalah sekitar dua puluh tahun yang lalu. Mata Risa bergerak cepat, membaca kalimat demi kalimat. Setiap kata yang ia baca, seolah menancapkan kuku dingin ke dalam jiwanya.

*27 Maret, [Tahun X]*

*Aku tidak tahu harus mulai dari mana. Sejak ayah meninggal, Lastri menjadi sangat berbeda. Ia selalu menatapku dengan tatapan aneh, terutama saat berbicara tentang rumah dan tanah warisan. Aku tahu, aku hanya anak tiri dari istri kedua mendiang suaminya, tapi Ibu selalu mencintaiku seperti anak kandungnya sendiri. Dan sekarang, dia menganggap semua ini miliknya.* Lastri… maksudnya Bibi Lastri?

*Dia mulai mempelajari hal-hal aneh, buku-buku kuno, ramuan-ramuan yang dia buat sendiri. Aku sering melihatnya berbicara sendiri di sudut taman, atau di loteng itu, tempat di mana aku tidak pernah diizinkan masuk. Aku ketakutan. Aku merasa dia merencanakan sesuatu. Dia ingin semua ini.* Ada yang tak beres. Bibi Lastri yang ramah dan tersenyum itu… adalah orang yang sama yang ibunya takuti?

*Aku mulai merasa tidak enak badan. Sakit kepala terus-menerus, mual, dan sering pingsan. Setiap kali aku makan makanan yang dia siapkan, rasanya seperti ada yang aneh. Dokter bilang aku baik-baik saja, tapi aku tahu ada yang tidak beres dengan tubuhku. Lastri selalu ada di dekatku, 'merawatku' katanya, tapi matanya… aku melihat kilatan yang mengerikan di sana.* Risa meremas buku harian itu. Mual, pingsan… gejala keracunan?

*Aku yakin dia meracuniku perlahan. Dia ingin aku mati. Dia ingin rumah ini. Dia ingin semuanya.* Kalimat itu seperti kilat yang menyambar, menusuk langsung ke ulu hati Risa. Ibunya… diracuni? Oleh Bibi Lastri? Darah Risa berdesir dingin. Rasa jijik dan amarah membuncah di dadanya. Semua kebaikan Bibi Lastri selama ini, semua perhatiannya, adalah topeng? Topeng untuk menutupi kejahatan yang mengerikan.

Ia membalik halaman-halaman berikutnya dengan jari-jari gemetar. Semakin banyak entri, semakin jelas pola itu. Ibunya semakin lemah, semakin curiga, semakin putus asa. Dan nama Lastri selalu muncul, sebagai bayangan gelap yang mengintai.

*Hari ini, aku mendengar bisikan Lastri di loteng. Dia sedang berbicara dengan seseorang, atau sesuatu. Aku tidak bisa mendengar jelas, tapi aku tahu ini bukan hal baik. Dia menyebutkan 'ritual' dan 'pengorbanan'. Jantungku mencelos. Dia akan melakukan sesuatu. Aku harus pergi. Tapi aku terlalu lemah.* Ritual? Pengorbanan? Tenggorokan Risa tercekat. Semua kejadian aneh di rumah ini… bisikan-bisikan itu… apakah semua ini berhubungan?

*Aku sudah menulis surat wasiat. Semua yang kumiliki, rumah ini, tanah ini, untuk putriku, Risa. Aku ingin dia aman. Aku ingin dia tahu kebenarannya, jika aku tidak selamat. Aku menyembunyikan surat itu di tempat yang aman. Hanya dia yang bisa menemukannya.* Risa tiba-tiba teringat surat wasiat ayahnya, yang menyatakan bahwa rumah itu memang milik ibunya dan kini diwariskan kepadanya.

*Aku takut sekali. Lastri semakin berani. Dia tidak lagi menyembunyikan kebencian di matanya. Aku rasa, sebentar lagi… sebentar lagi semuanya akan berakhir. Aku hanya berharap Risa akan tumbuh menjadi gadis yang kuat. Aku berharap dia akan memaafkan ibunya yang tidak bisa melindunginya.* Air mata Risa menetes, membasahi halaman buku harian itu. Ibunya… ibunya tahu apa yang akan terjadi padanya. Dan dia tidak berdaya.

Entri terakhir adalah yang paling menggetarkan.

*Malam ini. Aku mendengarnya. Lastri sedang menyiapkan semuanya di loteng. Aku harus menyembunyikan buku harian ini. Dan liontin ini… liontin bulan sabit ini, adalah kunci untuk membangkitkan kekuatanku, kekuatan yang diwariskan dari garis keturunan kita. Kekuatan untuk melawan. Aku akan mencoba. Jika aku gagal, tolong, Risa, temukan kebenaran. Jangan biarkan dia menang. Ingatlah, Nak. Aku akan selalu bersamamu. Jangan takut.* Ada coretan samar di bawah entri itu, seperti noda darah kering yang sudah memudar, atau mungkin… tinta yang luntur karena air mata.

Risa menatap liontin bulan sabit di kotak itu. Liontin perak itu. Kunci untuk membangkitkan kekuatan? Kekuatan apa? Dan garis keturunan apa? Begitu banyak pertanyaan, namun satu kebenaran yang paling mengerikan sudah terkuak: Bibi Lastri adalah pembunuh ibunya. Bukan kecelakaan, bukan penyakit, tapi pembunuhan berencana.

Kemarahan menyelimutinya, membakar semua rasa takut yang tadi sempat menguasainya. Wanita itu… wanita itu telah hidup dengan kebohongan selama bertahun-tahun, berpura-pura baik hati, memanipulasinya, dan kini mencoba membunuhnya. Risa mengepalkan tangan. Ia tidak akan membiarkannya. Ia akan mengungkap semua kebusukan Bibi Lastri.

Tiba-tiba, suara derit di belakangnya membuat Risa tersentak. Pintu lorong yang tadi ia masuki berayun terbuka sedikit, dan sebuah bayangan hitam menjulang di ambang pintu. Bukan bayangan Bibi Lastri. Bayangan itu lebih tinggi, lebih kurus, dan… ada sesuatu yang aneh dari bentuknya. Matanya memicing di kegelapan, berusaha melihat. Sosok itu melangkah masuk. Angin dingin berhembus kencang, memadamkan lilin tua di sudut ruangan, menyisakan hanya cahaya rembulan yang samar.

"Siapa di sana?" Risa berseru, suaranya bergetar, tapi kali ini bukan karena takut, melainkan karena amarah yang memuncak. Ia mengambil buku harian ibunya dan menggenggam erat liontin bulan sabit. Ia tidak akan lari lagi.

Sosok itu semakin mendekat, langkahnya tanpa suara. Risa bisa merasakan aura dingin yang memancar darinya, bukan aura ibunya yang penuh kasih sayang, melainkan sesuatu yang gelap dan mengancam. Sosok itu berhenti, beberapa langkah di depannya. Di bawah cahaya rembulan, Risa bisa melihat wajahnya. Wajah itu… bukan wajah manusia. Kulitnya pucat keabu-abuan, matanya cekung dan hitam pekat, dan bibirnya… bibirnya tersenyum, menunjukkan deretan gigi taring yang tajam dan panjang. Hantu. Bukan hantu ibunya. Ini adalah… hantu lain. Hantu yang jahat. Hantu yang mungkin selama ini bersekutu dengan Bibi Lastri.

"Kau… anak dari wanita itu?" suara serak itu seperti bisikan angin di antara dedaunan kering, menggema di lorong sempit. "Gadis bodoh yang berani mengusik tidurku?"

Risa mundur selangkah, jantungnya kembali berdebar. Dia salah. Dia tidak sendirian di sini. Dan dia telah membangunkan sesuatu yang seharusnya tetap terlelap dalam kegelapan.

Sosok itu mengangkat tangannya yang kurus kering. Kuku-kukunya panjang dan tajam seperti cakar. "Kau telah menemukan rahasia yang tidak seharusnya kau sentuh. Dan sekarang… kau harus membayar harganya."

Ia menerjang ke arah Risa, dengan kecepatan yang mengerikan, bayangan hitamnya membengkak di dinding. Risa menjerit, namun suara itu tertahan di tenggorokannya. Ia tahu, ini bukan mimpi. Ini nyata. Dan dia dalam bahaya besar.

"Risa!" Tiba-tiba, suara lain memecah keheningan, menggelegar dari kejauhan. Suara yang sangat dikenalnya. Kevin! Pintu cermin di loteng pasti sudah terbuka. Tapi apakah Kevin akan sampai tepat waktu? Atau dia juga akan terseret ke dalam neraka ini?

Sosok hantu itu terhenti sesaat, kepalanya menoleh ke arah sumber suara. Kebingungan sesaat itu cukup bagi Risa untuk melihat kesempatan. Ia meraih buku harian ibunya, memasukkannya ke dalam saku jaketnya, dan menggenggam liontin bulan sabit erat-erat di tangannya. Ia harus lari. Tapi ke mana? Dan bagaimana menghadapi hantu yang mengerikan ini? Kematian ibunya, rahasia Bibi Lastri, dan sekarang… entitas jahat ini. Semua terhubung dalam benang kusut yang mencekik.

Sosok hantu itu kembali menatap Risa, senyumnya semakin lebar, semakin mengerikan. "Tidak ada yang bisa menyelamatkanmu, gadis kecil."

Dan ia menerjang lagi.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!