NovelToon NovelToon
Mess Up! Lover!

Mess Up! Lover!

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Obsesi / Anime / Angst / Trauma masa lalu
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Cemployn

Mess Up!

Seperti judulnya, kisah cinta Ben tidak pernah berjalan mulus—hanya penuh kekacauan.
Hidupnya tenang sebelum ia bertemu Lya, seorang perempuan dengan trauma dan masa lalu yang berat. Pertemuan itu membuka jalan pada segalanya: penyembuhan yang rapuh, obsesi yang tak terkendali, ledakan amarah, hingga kehancuran.

Di balik kekacauan yang nyaris meluluhlantakkan mental Ben, justru tumbuh ikatan cinta yang semakin dalam, semakin kuat—dan tak terpisahkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cemployn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian 4 Turtle Neck Lya

Kini aku berdiri di depan kamar Lya, membawa buah tangan apa adanya yang kupikir bisa dengan mudah dicerna orang sakit. Dengan sedikit gugup, kuketuk pintu pelan-pelan. Tak butuh waktu lama, pintu berderit terbuka, menampilkan sosok Lya dengan sweater tebal berkerah turtle neck. Wajahnya tampak banyak mengeluarkan keringat karena itu, tapi senyumnya berusaha ramah.

“Masuklah,” ucapnya pelan.

Aku mengangguk sopan, lalu melangkah masuk. Pandanganku menyapu seluruh ruangan yang mengeluarkan aroma khas sebelum akhirnya aku duduk bersimpuh di lantai yang disusul oleh Lya.

”Ini untukmu. Aku tidak tahu apa yang kau suka, tapi kau bisa minta saja jika ada yang ingin kamu makan. Akan segera kubelikan,” ujarku sambil menyodorkan buah tangan pada Lya.

”Terimakasih. Apapun darimu akan kuterima dengan senang hati.” Lya terlihat bersungguh-sungguh ketika mengatakannya. Senyumnya memancarkan rasa senang yang tulus melihat buah tangan yang kuberikan hingga membuatku sulit untuk mengontrol sikap.

”Ah... Kau banyak berkeringat... Apa kau baik-baik saja?” tanyaku mencoba mencairkan suasana.

”Oh, tentu saja. Tadi Leo sempat datang merawatku, jadi aku sudah lebih baik.” Wajahku mungkin tampak biasa saja, tapi aku merasakan jantungku berdenyut mendengar satu nama itu terlontar dari bibir Lya dengan mudahnya.

”Kalian... teman masa kecil yang akrab, ya?” tanyaku, mencoba menjadi orang yang penuh pengertian karena tidak ingin merusak suasana baik diantara kami saat ini.

Lya tersenyum dengan secercah rona yang samar di wajahnya. Entah rona itu datang karena demam yang masih melekat pada tubuhnya, atau justru karena pikirannya yang terhenti pada Leo. Yah, kemungkinan kedua hanya prasangka burukku.

”Leo adalah orang yang sejak kecil berada di sampingku... Dia berharga seperti seorang Kakak yang bisa diandalkan, selalu bersabar menghadapiku.” Hatiku terasa terpukul mendengar jawaban Lya. Aku tidak tahu perasaan apa yang kurasakan saat ini karena jika dikatakan cemburu juga tidak benar.

”Kalian sudah berapa lama bersama?” tanyaku lagi.

“Ah... Leo sudah ada di sisiku sejak aku lahir. Kami bertetangga. Sejak dulu Leo selalu bermain ke rumahku...”

Cerita Lya seperti belum selesai, namun tiba-tiba ia menghentikannya. Raut wajahnya berubah aneh, sulit kudeskripsikan. Tatapannya kosong, menembus jauh entah ke mana, lalu tangannya perlahan merambat ke leher sendiri.

Aku tercekat. Ada sesuatu yang tidak beres. Lya tampak seolah ditarik paksa oleh bayangan gelap dari dalam dirinya.

“L... Lya!” panggilku, berharap suaraku bisa membawanya kembali. Namun ia tetap terseret dalam lamunan itu, jari-jarinya semakin menekan lehernya sendiri yang terbalut kain tebal dari sweater yang ia pakai.

Dengan panik, aku meraih pergelangan tangannya, menahannya agar tidak melukai dirinya. “Lya! Hei, kau baik-baik saja?”

Butuh beberapa detik yang menegangkan sebelum akhirnya sorot matanya kembali berpendar. Ia menatapku dengan pandangan orang yang baru saja terbangun dari mimpi buruk—mata yang lelah, basah oleh peluh, napasnya memburu tak teratur. Jantungku berdebar tak karuan, banyak alasan untuk merasa takut.

”Lya... Ada apa? Kau membuatku cemas...” ujarku lagi, tanganku tidak tahan untuk tidak memeluknya. Aku tidak berpikir dua kali untuk mendekapnya, semua itu kulakukan semata-mata untuk menghilangkan rasa takutku melihat sikap Lya barusan.

Lya belum berucap apa-apa. Yang ia lakukan hanya membalas pelukanku dan kemudian memberikan tepukan ringan pada punggungku. Ia justru berusaha menenangkanku, membuatku tidak habis pikir. Tidak lama, aku pun menjauhkan jarak kami. Kugenggam dua pundak Lya, kutatap matanya lurus berharap ketulusanku sampai padanya.

“Lya... Aku mulai memperhatikanmu sejak semester tiga. Awalnya hanya rasa penasaran—tentang sosok yang selalu duduk sendiri di kelas, diam, seakan terpisah dari dunia. Tapi lama-lama, entah sejak kapan, perasaan itu berubah. Aku mulai menyukaimu. Ada rasa ingin dekat, ingin mengenalmu lebih dalam... sampai-sampai aku bertindak bodoh, seperti penguntit yang hanya bisa mengamati dari jauh, menunggu sesuatu yang baru darimu setiap hari.”

Kata-kata itu keluar begitu saja, deras, tanpa sempat kusaring. Meski terdengar konyol, mulutku tak bisa berhenti. Seakan ada beban yang mendesak dari dada, aku pun meneruskannya. ”Saat kau sendiri, aku merasa yakin kau tidak benar-benar ingin sendiri... Aku pun tahu, kau hanya canggung. Aku selalu membayangkan sifatmu yang malu-malu saat kutembak, tapi nyatanya kau sempat melempar tatapan tidak suka padaku. Itu membuatku syok. Saat kita mulai mengenal, aku senang, aku semakin suka padamu meski banyak hal yang kusalahpahami darimu. Banyak hal yang belum kutahu, tapi...”

Aku berhenti sejenak. Satu tanganku, dengan lancang, bergerak meraih kerah sweaternya. Jari-jariku menyelinap ke dalam kain hangat itu, hendak menariknya turun. Namun, secepat kilat, Lya menggenggam pergelangan tanganku. Matanya membelalak panik, seolah terhentak oleh sesuatu yang lebih besar daripada sekadar sentuhan.

Genggamannya gemetar, tapi kuat. Nafasnya memburu, menahan niatku yang setengah jalan. Dan justru dari reaksi itu aku semakin yakin—ada sesuatu yang ia sembunyikan di balik turtle neck yang tak pernah ia lepaskan, bahkan ketika cuaca terasa terik sekalipun.

“Kenapa? Jika tidak kutanya, kau tidak akan bercerita... tapi dengan bertanya aku pun tak yakin kau akan menjawab setelah reaksimu seperti ini.”

Nada sinis lolos dari bibirku, dan detik itu juga aku menyesalinya. Lya terdiam, hanya genggaman tangannya yang masih kaku di pergelanganku. Aku bisa melihat ketegangan di matanya, seolah kata-kataku barusan memaku hatinya lebih dalam lagi.

Aku menunduk, menahan napas. Perkataan Leo kembali bergema di kepalaku—tentang bagaimana sikapku mungkin hanya akan menjadi beban bagi Lya. Dan sialnya, aku mulai percaya dia benar. Namun di sisi lain, sulit bagiku untuk menahan diri, seolah ada dorongan untuk terus menggali rahasia yang Lya sembunyikan. Berbagai alasan pun kuciptakan di kepala agar aku tidak merasa terlalu salah.

“Aku tahu ini masih terlalu cepat untuk kita berbagi kesulitan satu sama lain. Tapi jika itu kau... meski berapa tahun pun kita berpacaran, apa akan ada hari di mana kau benar-benar membuka diri sepenuhnya padaku? Entah kenapa, ketika aku memikirkan hal itu, aku tidak yakin, Lya...” Dengan kasar kutarik tanganku dari genggamannya. Sejurus kemudian, hatiku langsung menyesal lagi, tapi semuanya sudah terlanjur.

Keheningan menyelimuti kamar. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar, lambat tapi menghantam telinga. Lya terdiam, sementara pikiranku berputar tak karuan. Kalut. Kata-kata Leo yang sebelumnya coba untuk tidak kupikirkan, kini meluncur begitu saja dari bibirku sendiri, seolah menjadi kebenaran yang tak bisa kuingkari.

Suasana di antara kami berubah canggung, penuh ketegangan. Aku tahu akulah yang menghancurkannya. Ironisnya, beberapa menit lalu aku bertekad menjadi sosok yang sabar, pengertian. Sekarang, yang tersisa hanyalah penyesalan. Jika bisa, aku ingin ada seseorang yang masuk saat ini juga dan menghajarku habis-habisan, agar rasa bersalah ini terbayar sedikit saja.

“Ben...” Keheningan akhirnya dipecahkan. Namaku meluncur lembut dari bibir Lya. Ada secercah harap dalam diriku—harap akan percakapan yang bisa memperbaiki jarak di antara kami. Namun ketika aku berani menatap matanya lagi, yang kutemukan hanyalah ekspresi pilu, disusul satu kata singkat yang meremukkan: “Maaf.”

Setelah itu, segalanya kabur. Aku tidak mengerti lagi. Tidak tahu bagaimana kami berpisah hari itu, bagaimana aku meninggalkan kamarnya, atau bagaimana akhirnya aku bisa sampai kembali ke kamarku sendiri. Seakan memori itu terhapus, disapu bersih oleh sesuatu yang tak bisa kujelaskan.

Yang kutahu hanyalah satu: sejak hari itu, tubuhku sendiri seperti menolak untuk sekedar mendekati Lya. Aku menghindarinya secara alami, menjauh tanpa rencana. Terdengar kejam, tapi bahkan setiap mata kami bertemu, aku dengan cepat mengalihkannya, seakan sedang melakukan protes akan tetapi secara sepihak.

***

Suara air terdengar mengalir ganas dari keran wastafel, menghantam permukaan cekungnya dengan ritme tak beraturan. Cipratan kecil berhamburan, cukup untuk membasahi meja marmer dan lantai di sekitarnya. Sesekali, tetesan air jatuh dari surai gelap perempuan yang sudah beberapa menit berdiri mematung di sana.

Uap tipis memenuhi ruangan, membuat cermin di hadapannya berembun samar. Di balik lapisan kabur itu, ia menatap pantulan dirinya sendiri—mata sayu yang tampak kosong, kulit pucat, dan bibir yang nyaris tidak bergerak. Seolah bayangan itu bukan lagi dirinya, melainkan sosok lain yang diam-diam menatap balik dengan tatapan hampa.

“Humpp!” Lya menekan mulutnya erat dengan satu tangan, berusaha menahan sesuatu yang mendesak kuat dari dalam perutnya. Tubuhnya sedikit membungkuk, bahunya gemetar, keringat dingin mulai membasahi pelipis.

Suara tercekik itu tak luput terdengar dari luar kamar mandi. Leo yang kebetulan berada di ruang tamu sontak menajamkan telinga. Alisnya berkerut, rasa cemas menyeruak tanpa bisa ditahan. Dalam hitungan detik, ia melangkah cepat mendekat, lalu menengok ke arah pintu kamar mandi yang tidak tertutup rapat.

Dapat ia lihat wajah perempuan itu pucat pasi, kontras dengan surai hitamnya yang masih basah. Kantung matanya yang semula samar kini semakin jelas, membentuk bayangan kelam di bawah kelopak. Tanda-tanda dari malam-malam tanpa tidur, dari tubuh yang terus dipaksa menanggung sesuatu yang berat. Ada getir pada wajah yang segera menoleh pada Leo begitu melihatnya dari pantulan cermin.

”Leo...” panggil Lya lemas.

”Iya, Lya... Aku di sini... Tidak apa-apa...” Leo menipiskan jarak di antara mereka, menopang tubuh kecil Lya yang hendak rubuh. Segera Lya menggenggam erat kain baju Leo dalam dekapan itu. Tubuhnya gemetar hebat seakan sedang dihantui sesuatu.

Leo menghela nafas. Tangan tebalnya dengan santai mengangkat tubuh Lya keluar dari kamar mandi dan membawanya duduk di sofa ruang tengah. Sambil masih memeluknya, mata Leo jatuh pada kalender yang tergantung pada dinding tak jauh darinya. Kemudian matanya kembali fokus pada objek kecil yang masih meringkuk dalam pelukannya.

”Orang yang tidak bisa bersabar menunggumu itu... bukanlah orang yang tepat Lya.” keheningan di tengah ruangan yang gelap dipecahkan oleh satu kalimat dari Leo. Ia semakin merendahkan tubuhnya, membawa wajahnya menyapu leher telanjang Lya.

”Hanya aku...”

”Selama ini, aku yang senantiasa menunggumu...”

”Membuatmu jauh dari bayang-bayangnya...”

”Aku yang membuatmu tidak bisa melihat luka ini...”

Sambil menempelkan kecupan ringan—hampir tak terasa sebagai kecupan—di leher Lya, jemari panjang Leo bergerak perlahan. Ia mengusap lembut, mengikuti guratan-guratan luka yang tampak sudah lama terukir di sana. Luka itu dalam, sebagian memucat, sebagian lain masih merah samar seperti habis mendapatkan garukan yang agresif, menumpuk satu sama lain hingga membentuk peta menyakitkan di kulit rapuh Lya. Kontras yang mencolok: sentuhan seolah penuh kasih, namun menyusuri jejak penderitaan yang tak terhitung jumlahnya.

Mata perempuan yang lehernya sedang dimainkan itu tampak kosong. Nafasnya yang semula menderu, kini tampak lebih tenang. Setelah merasa lepas dari ketegangan yang hanya dia rasakan, senyuman tipis merayap di wajahnya—bukan lega, melainkan semacam kepasrahan. Karena jauh di dalam hati, ia tahu ketegangan itu hanya akan datang kembali, lebih kuat dari sebelumnya.

”Terimakasih, Leo... Karena selalu ada di saat menyedihkanku.” Setelah itu, Lya menutup matanya. Merasa lelah setelah lepas dari semua tekanan yang menghantui sejak tadi.

Leo terdiam sejenak. Hening yang menekan itu pecah ketika bibirnya perlahan menyungging; bibir bawahnya sedikit ia gigit, seolah berusaha menahan gejolak yang hampir tak bisa ia kendalikan. Wajahnya memerah, matanya berkilat, menatap Lya dengan haus yang mengerikan.

Dada bidangnya semakin erat merangkul tubuh rapuh Lya. Jemarinya menelusuri surai lembut perempuan itu—sentuhan yang tampak lembut, tapi menyimpan obsesi yang menggila.

“Kapan pun itu, Lya,” bisiknya kemudian.

.

.

.

To Be Continue

1
Iyikadin
Wahh dengan siapa tuchhhh, jadi kepo dech ahh
@dadan_kusuma89
Wah, repot ini, Ben! Sepertinya ada sesuatu yang harus kamu teliti lebih dalam tentang Lya.
@dadan_kusuma89
Sepertinya kamu bakal masuk rekor muri, Ben! Dari penolakan menuju penerimaan cuma butuh waktu beberapa detik😁
fσя zуяєиє~✿
saran driku, paragrafnya jgn kepanjangan, klo bisa minimal 4-5 baris aja, atau klo diperlukan bisa smpe 6 baris aja/Grin/
saya hanya bantu koreksi yg simple2 aja/Pray/
Cemployn: siappp sudah sayaa perbaikii Kakk terimakasihhhh uyy sarannyaaa 🫶
total 1 replies
Goresan_Pena421
Kaka boleh perbanyak dialog. kecuali dalam bab awal ini khusus perkenalan tokoh GPP. jadi di buatin biografi singkat semua tokohnya atau cerita tentang tokoh-tokoh nya itu GPP kalau mau full monolog mereka kka.
Goresan_Pena421: iya kak. ☺️ saya juga masih belajar 💪. tetap semangat ya Kaka.
total 2 replies
Muffin🌸
Iyaa nikahi saja kan dengan begitu dia bisa jadi milikmu selamanya hehe🙏🏻
Anyelir
alasan berubah pikiran apa ya?
tapi lucu juga, spontan nyatain cinta karena lihat pujaan hati jalan sendirian, padahal udh mendem cukup lama
☠🦋⃟‌⃟𝔸𝕥𝕙𝕖𝕟𝕒 ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ
"𝑺𝒆𝒌𝒖𝒏𝒕𝒖𝒎 𝒎𝒂𝒘𝒂𝒓 🌹 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌𝒎𝒖, 𝑻𝒉𝒐𝒓. 𝑺𝒆𝒎𝒐𝒈𝒂 𝒔𝒆𝒎𝒂𝒏𝒈𝒂𝒕𝒎𝒖 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒃𝒆𝒓𝒌𝒂𝒓𝒚𝒂 𝒕𝒆𝒕𝒂𝒑 𝒔𝒆𝒈𝒂𝒓 𝒅𝒂𝒏 𝒊𝒏𝒅𝒂𝒉 𝒔𝒆𝒑𝒆𝒓𝒕𝒊 𝒃𝒖𝒏𝒈𝒂𝒏𝒚𝒂, 𝒅𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒂𝒘𝒂𝒎𝒖 𝒎𝒆𝒏𝒖𝒋𝒖 𝒌𝒆𝒔𝒖𝒌𝒔𝒆𝒔𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒓𝒕𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒉𝒂𝒓𝒖𝒎𝒌𝒂𝒏 𝒏𝒂𝒎𝒂𝒎𝒖.
✿⚈‿‿⚈✿
☠🦋⃟‌⃟𝔸𝕥𝕙𝕖𝕟𝕒 ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ
Wkwkwk emg kurg ajr shbqtmu itu mnt di geplak emang Wkwkwk
☠🦋⃟‌⃟𝔸𝕥𝕙𝕖𝕟𝕒 ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ
Langsung kasih pengumuman ke semua orang ya klo km pacaran 😂😂😂
Shin Himawari
Lya ga salah sih nolaknya, cuman blak blakan bgt astagaaa kasian hati Ben terpoteq🤣
Shin Himawari
setaun nyimpen cinta sendirian yaaa🤭semangaat semoga lancar pdkt-in nya
kim elly
🤣🤣bahagia nya kerasa banhet
kim elly
mana ada yang ngga tertarik pacaran🤣
👑Chaotic Devil Queen👑
Yuk! Gw pegangin sebelah kanan, Eric sebelah kiri. Kita lempar dia ke RSJ 🗿
👑Chaotic Devil Queen👑
Yang penting hasil 🗿

Tapi... Dahlah bodoamat🗿
ηιтσ
really pov 1 took. mah nyimak
TokoFebri
aku tau kau trauma lya..
CumaHalu
aku kalau jadi eric juga akan bertanya-tanya sih Ben. bisa-bisanya orang berubah pikiran dalam hitungan detik😄
@dadan_kusuma89
Ya jelas kaget lah, Ben! Nggak ada angin nggak ada hujan, tiba-tiba aja kamu nembak dia😁
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!