Elsheva selalu percaya keluarga adalah tempat paling aman.
Sampai malam itu, ketika ia menjadi saksi perselingkuhan terbesar ayahnya—dan tak seorang pun berdiri di pihaknya.
Pacar yang diharapkan jadi sandaran justru menusuk dari belakang.
Sahabat ikut mengkhianati.
Di tengah hidup yang runtuh, hadir seorang pria dewasa, anggota dewan berwajah karismatik, bersuara menenangkan… dan sudah beristri.
Janji perlindungan darinya berubah jadi ikatan yang tak pernah Elsheva bayangkan—nikah siri dalam bayang-bayang kekuasaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yazh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pasrah
.
.
.
Heksa segera menyadari bahwa penjelasan Els jauh dari kata memuaskan. "Dia keponakan aku," Heksa mendengkus kasar, tangannya mencengkeram bahu Bahu lembut tapi tegas. "Tapi dia pindah ke Amerika sejak awal kuliah. Bulan kemarin baru balik ke Indo, katanya mau kelarin study di sini. Gwen yang lihat dia keluar dari unit yang tepat berada di sebelah kamu. Dia juga tahu beberapa kali Samudera ngobrol sama kamu. Kamu tahu, Sayang, kamu milik aku. Tidak boleh ada pria lain yang bisa menyentuhmu," ucap Heksa penuh penekanan, matanya memancarkan posesif yang mendominasi dan tak terbantahkan.
ELsheva menelan ludah. Ia baru inget, Gwen mempunyai kecerdasan dan ketelitian tingkat dewa yang jarang sekali dimiliki manusia manapun. Tidak salah memang ia menjadi assisten Heksa.
"Aku tahu, Sayang. I'm yours." Els membiarkan dirinya pasrah sejenak. "Jadi, kamu nyuruh aku pindah cuma karena ini? Karena cemburu? Hmm," goda Els.
Pria itu tidak menjawab dengan kata-kata. Ia menunduk, menciumi bahu Els yang terbuka, kulit mulus Els yang selembut kulit bayi langsung bereaksi. Bibirnya terus naik, mengecupi singkat leher jenjangnya sampai ke rahang. Sementara itu, telapak tangannya yang lebar sudah menangkup dada Rubby, meremasnya dengan kelembutan yang mematikan.
"Aku tidak rela pria lain, siapa pun itu—menikmati kecantikan kamu, Sayang. Apalagi sampai menyentuh tubuh kamu. Kamu cuma milik aku," desisnya, suaranya berat. Lengannya yang kekar meraih pinggang mungil istri kecilnya itu, menuntun Els agar duduk di pangkuannya.
Els melingkarkan lengannya di leher Heksa. Meskipun takut, ia harus memanfaatkan momen keintiman ini untuk mendapatkan kendali atas emosi Heksa. "Matiin ponsel, Oppa," pintanya manja, suaranya dibuat semenggoda mungkin. "Aku nggak suka diganggu."
Heksa tersenyum puas. Bagi Heksa, permintaan itu terdengar seperti sebuah godaan besar untuknya. Ia segera mematikan ponsel di sebelahnya lalu melemparnya sembarangan ke sofa. Setelah itu, ia mulai sibuk menciptakan mahakarya baru di kulit tubuh Els yang beraroma vanila, padahal bekas jejaknya semalam saja masih bertebaran di mana-mana.
Helaan napas berat Heksa menerpa leher Els. Lidahnya menyusuri kulit sensitif itu sampai ke belakang telinganya. Ia gigit pelan cuping telinga itu dengan gemas. "Ini hukuman buat kamu yang sudah bertemu Samudera," ucapnya, dingin, suaranya berubah dalam dan mendominasi.
Tubuh Els menegang, tetapi bukan karena takut, melainkan karena gelombang kenikmatan yang beradu dengan harum aroma manis sensual dari tubuh Heksa. Meski pria itu sedang ngambek, Heksa tidak kehilangan keterampilanya dalam menyentuhnya, ia terlalu mahir. Sudah berulang kali, Els selalu mudah terbuai oleh sentuhannya. Mungkin memang hanya Heksa yang pernah membuat gadis itu merasakan gejolak yang membuncah hebat seperti itu. Heksa adalah yang pertama dan yang mengajarkan segalanya pada Els.
Dalam kungkungan sentuhan itu, pikiran Els sempat melayang pada Davina, istri sah Heksa. Kenapa wanita itu sangat tidak bersyukur memiliki suami sekelas Heksa? Pria ini tidak hanya memiliki skill bercinta sehebat itu, ia juga punya harta dan tahta yang tak main-main. Sebuah pertanyaan yang tak pernah Els dapatkan jawabannya sampai sekarang.
Els merasakan tubuhnya melayang. Heksa menggendongnya di depan seperti koala, kakinya melilit erat di pinggangnya, menuju balkon kamar. Kamar pribadi Els menghadap ke belakang, membelakangi halaman Kafe yang ramai. Jadi, tidak ada yang melihat mereka di bawah.
Pemandangan di belakang kafe itu adalah lanskap gedung-gedung tinggi Jakarta. Els sengaja meminta desainnya seperti itu karena menurutnya pemandangan malam ini sangat menenangkan. Ia bisa melihat langit bertabur bintang seluas yang ia mau, ditambah gemerlap lampu-lampu malam yang saling bersahutan dari jalanan dan gedung-gedung lainnya. Sunyi, sepi, dan damai—tempat yang sempurna untuk melarikan diri sejenak dari dunia yang tidak berpihak padanya.
"Aww, Yangg!" Els mengeratkan tangannya di leher Heksa, ia sangat menyukai posisi digendong seperti itu. Ia mendongak, matanya membola karena terkejut. "Oppa, naikin talinya! Nanti kalau dari atas sana ada yang lihat, gimana?" Els menunjuk tali tank top-nya yang ditarik turun Heksa tadi.
Senyum Heksa menyeringai. "Mau ngerasain sensasi skidipapap di balkon, nggak?" ini sudah kesekian kalinya Heksa terlihat begitu tampan di mata Els. Dia memang selalu tampan, konsisten.
"Iishh, nggak! Please biarin aku istirahat malam ini, yaa? Beberapa hari ini kamu udah ngajakin aku bekerja keras terus loh! Aku pengin tidur nyenyak malam ini," pinta Els memelas. Boleh, kan, dia sesekali menolak pria itu.
Namun, pria itu menolak. Tentu saja. Ia kembali melayangkan kecupan bertubi-tubi di bibir mungil Rubby, mencecapi rasa manis yang tak pernah ada tandingannya.
"Nggak akan," tegas Heksa. "Salah sendiri punya tubuh yang sangat menggoda. Jelas aku tidak pernah rela kalau tidak melahap kamu. Maunya tiap malam malah!" Heksa menatap gadis dalam gendongannya itu, penuh dengan keinginan yang tengah bergejolak hebat.
"Ehh, Mbak Davina belum pulang memangnya, Yang? Nanti nyariin kamu," ujar ELs berusaha mencari alasan terakhir agar tidak terkapar lemas malam ini. Ia harus mencoba.
Heksa tertawa renyah, tawa yang hanya terdengar ketika bersama Els. "Belum. Dia lagi shopping lagi, ke luar negeri. Jadi, siapin energi kamu beberapa hari ini, ya?" ujar Heksa, puas menggoda Els.
Heksa tidak peduli apa-apa lagi yang Els ucapkan. Ia kembali sibuk menjelajah setiap jengkal kenikmatan duniawi yang ada dalam genggamannya. "Ini kenapa candu banget, Sayang? Gimana aku mau puasa nggak nyentuh kamu, coba?"
"Siap, Bos! Tapi aku butuh asupan kalsium deh kayaknya. Kalau kamu terus-terusan nginep di sini. Tulangku berasa remuk semuaaaa," keluh Els tanpa banyak perlawanan, seluruh hidupnya seperti tersisa hanya untuk menjadi budak Heksa.
"And then, aku suruh Gwen beli sumber kalsium sebanyak mungkin! Karena aku selalu butuh suara merdumu yang manja di telingaku, Sayang. Aku sudah bekerja keras sejak pagi, jadi kalau aku pulang, giliran kamu yang bekerja keras untuk aku," bisik Heksa, menenggelamkan wajahnya di antara leher dan bahu Els.
"Kerja keras yang menyenangkan..." sahut Els genit, kemudian meraih bibir kissable pria tampan di depannya itu. Hampir tidak ada cela dalam diri pria itu. Dia tampan, baik, loyal, pekerja keras, dan juga tidak suka main kasar. Terlebih lagi, soal hubungan suami-istri, ia jelas sangat ahli. Hanya satu kurangnya, hubungan mereka tak lebih dari sebuah perjanjian saja. Miris sekali.
Elsheva memaksa otaknya untuk berhenti berpikir. Malam itu, ia hanya fokus pada cara agar anggota dewan ini tetap merasa harinya baik-baik saja, meski ia harus mengorbankan ketenangan dan statusnya. Toh! itu semua tidak penting lagi sekarang. Dari awal ia menyetujui perjanjian dengan Heksa saat itulah, dirinya memang milik Heksa sepenuhnya. Bahkan dunia tidak bisa memberinya pilihan.
.
.
.
semangat kakak 🤗🤗