Hidup dalam lingkaran kemiskinan, membuat Rea ingin bekerja setelah lulus SMA, semua itu dia lakukan demi keluarga.
Namun takdir berkata lain, Ayahnya sudah memutuskan masa depan Rea, sebagai istri dari seorang lelaki bernama Ryan.
Dia tidak bisa menolak dan menerima keinginan sang ayah.
Hanya saja, Rea tidak pasrah, dia bukan wanita lemah, selama belasan tahun berjuang dalam kesengsaraan, melatih mental yang kuat menahan setiap penghinaan para tetangga.
Sehingga dia akan berusaha membuat Ryan menyesal karena sudah menikah dengannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shina Yuzuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mantan pacar temannya
Ayah Rea yaitu bapak Samroji bukanlah orang terkenal, bukan pula orang kaya, bukan sekretariat desa, bukan ajudan lurah, apa lagi ketua RT, ketua RW atau pun lainnya.
Samroji hanya seorang kepala rumah tangga, bekerja sebagai kuli angkut di pasar, lelaki polos yang mencintai keluarga sepenuh hati, tanpa pernah Rea melihatnya mengeluh, walau hidup dalam kemiskinan tujuh turunan dari desa kecil di ujung selatan kabupaten Tegal.
Masyarakat di sini memang mayoritas adalah para keluarga miskin, hidup sebagai petani atau pun pedagang, tapi karena itulah mereka bisa hidup saling memahami kesengsaraan satu sama lain.
Beberapa orang memang memiliki tekad merantau ke kota untuk mengubah urat nadi kesengsaraan yang mereka bawa dari lahir.
Pulang dengan jas dan dasi, meskipun pada kenyataannya orang-orang itu hanya berakhir sebagai tukang parkir, kenek metromini atau pun sales penjual kuwaci.
Berat tanggung jawab sang ayah yang sudah dia pikul selama 18 tahun, membawa Rea hidup, dari awal dia terlahir di Puskesmas kecamatan Margasuri pada malam Sabtu Kliwon, hingga sekarang, Rea menjadi murid di SMA negeri satu Margasuri dan lulus.
Kini tragedi besar akan datang mengubah kehidupan Rea, sebuah pernikahan, dimana musik dari sound sistem sudah berkumandang menyayikan lagu perdamaian.
Rombongan dari tamu undangan pun mulai datang dan duduk di kursi masing-masing, mereka menunggu sosok pemeran utama yang akan merangkai cerita di kehidupan baru, sebagai seorang suami dan istri.
Tangguh wajah Samroji menatap foto hitam putih yang berisi keluarga tercintanya di sebuah kebun binatang. Terbayang sebuah ekspresi Samroji dalam foto, hampir tidak ada bedanya untuk seekor kera yang sama-sama menerima penderitaan di dalam jeruji sampai akhir hayat.
Tapi hanya foto inilah yang menjadi tanda kebahagiaan sejati bagi Samroji dan keluarganya, satu waktu dimana untuk pertama kali dalam hidup mereka berpiknik.
Satu sosok wanita cantik menawan yang mengenakan gaun putih abu-abu, bermake-up tipis, gincu merah muda, cat kuku, segala aksesoris memperindah pandangan mata siapa pun yang melihat.
Tubuh kurus kering Samroji tidak bergeming, dia menahan perasaan campur aduk dimana hari ini, melihat anaknya tampil beda, bukan dengan seragam sekolah SMA, melainkan kebaya pengantin.
"Kau sangat cantik Rea." Ucap Samroji dengan gemetar bahagia dan sedih bercampur menjadi satu.
"Aku tidak yakin." Rea hanya tersenyum pahit di depan cermin.
"Ya kau sama cantiknya dengan ibumu saat masih muda."
"Jika aku cantik seperti ayah, tentu akan ada kumis di bawah hidungku, aku tidak ingin membayangkannya." Balas Rea.
Tapi seperti inilah keadaan yang harus di hadapi oleh Samroji, Rea akan menjadi istri orang, dimana artinya dia harus rela membiarkan anak perempuannya itu pergi.
Rasa kehilangan jelas ada, Samroji membesarkan Rea bukan satu tahun dua tahun, tapi seumur hidup yang dia serahkan demi kebahagiaan keluarganya.
Meski pun Samroji tidak tahu apakah ini menjadi satu hal baik untuk dia terima, memberi suatu paksaan kepada Rea menikahi orang asing.
Samroji membawa Rea keluar kamar, duduk diam di kursi menghadap penghulu.
Lelaki itu belum datang, bahkan Rea sedikit berharap dia terlambat datang, akan lebih baik tidak perlu datang, Rea benar-benar berharap.
Tapi harapan itu memang sekedar harapan, karena tidak berselang lama, satu mobil berhenti di depan rumah, berganti lagi mobil lain, tidak berhenti karena ada sepuluh mobil yang terparkir di halaman sekarang.
Seorang lelaki muda, bertubuh tinggi, berparas tampan, rambut klimis dengan tatapan tajam namun memiliki senyum lembut di wajahnya.
"Maaf aku terlambat pak." Ucapnya yang menjabat tangan Samroji penuh rasa sopan.
"Itu tidak masalah, lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali." Tersenyum cerah Samroji menjawab.
'Aku sedikit berharap dia tidak datang sekalian.' pikir Rea merasa kesal sendiri karena takdir tidak berpihak kepadanya.
"Jalan di sekitar sini sedikit susah dan perlu banyak waktu untuk sampai."
"Hmmm mungkin sebaiknya kau menggunakan apa itu... Heli.. hellikolper, helikoper..."
"Helikopter pak."
"Itu maksudku." Tawa Samroji karena yang dia katakan sedikit bercanda.
Rea tidak menyukai sikap dari Ryan, bisa dibilang kehadirannya mudah mengakrabkan diri kepada siapa pun diberbagai macam kondisi dan situasi, seperti gambaran seorang salesman tingkat pro.
"Mungkin akan aku bawa nanti pak." Di tanggapi oleh Ryan dengan tersenyum namun terlihat serius.
"Eh... Kau bisa saja, bapak hanya bercanda."
"Ya baiklah pak." Melihat keseriusan mata Ryan itu tidak ditunjukkan seperti orang berbohong.
"Kau benar-benar punya ?." Kini Samroji serius bertanya.
"Paling tidak aku punya satu." Jawab Ryan.
Samroji tahu bahwa calon menantunya ini kaya, tapi tidak menyangka dia punya helikoper sebagai kendaraan pribadi keluarganya.
Suara merdu, rayuan handal, murah senyum dan tatapan mata tajam namun menawan. Rea secara tegas menolak bahwa sosok lelaki itu bisa membuat siapa pun jatuh cinta.
Tapi tidak dengannya, Rea tetap memandang Ryan bukan lelaki baik seperti kisah romantis Romeo dan Juliet. Semua yang dia tunjukkan tidak lebih dari pura-pura.
Semua sudah berkumpul untuk memulai acara sakral dari pernikahan, suasana menjadi menegangkan, Samroji dan ibunya pun merasa gugup.
Ryan menjabat tangan penghulu, kalimat demi kalimat yang dia ucapkan menjadi syarat penerimaan Rea sebagai istrinya sekarang.
"Saya terima nikahnya Reafani nur Azizah binti Samroji Waseso dengan maskawin seperangkat alat sholat dibayar tunai."
Di hadapan kedua orang tuanya, adik-adiknya, saudara-saudara jauh dan dekat, mertua, penghulu, wakil penghulu, saksi-saksi, tetangga kiri atau pun kanan, adik kelas, kakak kelas, teman kelas, guru wali kelas, hingga petugas kebersihan kelas, guru mengaji, guru madrasah Ibtidaiyah, kepala sekolah SD sampai SMA, tukang kebun sekolah, pemilik kantin dan tidak ketinggalan satpam penjaga gerbang sekolah.
Tidak lupa pula, supir angkot dan beserta jajaran kenek-keneknya yang sudah menjadi langganan pulang pergi ke sekolah, begitu juga para mantan pacar dari temannya, mantan yang belum sempat jadi pacar temannya, mantan pacar temannya yang kini menjadi pacar teman lainnya atau pun mantan pacar temannya dari mantan pacar temannya. Sedangkan Rea belum pernah punya pacar, jadi dia tidak memiliki mantan.
Selain itu, pemilik warung makan, warung sembako, warung kopi, tidak lupa juga warung pulsa, warung telpon, warung swalayan, serta segenap para karyawan-karyawan tetap dan tidak pernah naik jabatan.
Semua orang yang mengenal Rea serta keluarga hadir didalam acara Ijab Kabul. Setiap saksi-saksi berekspresi tegang, nafas berat ditarik dan lupa dihembuskan, ketegangan wajah-wajah untuk mendengarkan satu kata pertanyaan dari penghulu.
"Sah ?."
"Saaahhh !!!."
Saat satu kata itu terucap, semua orang mulai bernafas lega, ekspresi kebahagiaan, kesedihan, kebingungan, tegang, kaki keram, perut mules, gemetaran, kepala pusing, tergambar jelas dari masing-masing wajah para hadirin.
"Alhamdulillah."
Rea tidak bergeming, suara semua orang masih berdengung di gendang telinga, tanpa senyum, tanpa air mata, hanya tatapan mata datar dan rumit isi pikiran.
Samroji tetap tegar, meski satu tetes air mata mengalir, bibirnya gemetar, tangan kurus seperti ranting pohon yang mati itu jatuh dengan lemas.
Dia bahagia menyaksikan sendiri pernikahan dari anak perempuannya telah selesai.
Sedangkan untuk para lelaki yang hadir, mereka jelas merasa marah, kesal, dan ingin mendoakan agar keduanya cepat-cepat bercerai saja.
Jika Rea mendengar hal itu, tanpa tahu tentu akan di 'Amin' kan.
Di dalam jiwa Rea, semangat perlawanan terhadap takdir masih membara, tidak akan pernah menyerah dalam hidup, apa pun Rea lakukan dan bersiap melancarkan serangan balik.
Hanya demi satu hal, yaitu merebut kembali kebahagiaan untuk hidup tanpa dikekang oleh siapa pun.
apa banyak misteri di antara mereka ber dua bukan cuma majikan ma pelayan ,,aihhh
mohon untuk up terus Thor...