Di balik nama Alysa Kirana Putri, tersembunyi tiga kepribadian yang mencerminkan luka dan pencariannya akan kebebasan. Siapakah "Putri," anak ceria yang selalu tersenyum, namun menyembunyikan ribuan cerita tak terucapkan? Apa yang disembunyikan "Kirana," sosok pemberontak yang melawan bukan untuk menang, tetapi untuk bertahan dari tekanan? Dan bagaimana "Alysa," jiwa yang diam, berjalan dalam bayang-bayang dan bisu menghadapi dunia yang tak pernah memberinya ruang?
Ketika tuntutan orang tua, perundungan, dan trauma menguasai hidupnya, Alysa menghadapi teka-teki terbesar: apakah ia mampu keluar dari kepompong harapan dan luka menjadi kupu-kupu yang bebas? Atau akankah ia tetap terjebak dalam tekanan yang terus menjeratnya? Semua jawabannya tersembunyi dalam jejak langkah hidupnya, di antara tiga kepribadian yang saling bertaut namun tak pernah menyatu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Garni Bee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Persahabatan yang semakin erat
...Sahabat adalah cahaya ditengah badai, membisikkan harapan diantara ketakutan....
...🦋...
"MAAHH! SARAPAN PUTRI MANA?!"
Aku terbangun dengan mata masih setengah tertutup, lalu langsung berteriak memanggil Mamah seperti kebiasaanku setiap pagi. Biasanya, aku akan mendengar suara langkah kaki Mamah mendekat, tetapi pagi ini yang muncul adalah Mbok Sum.
"Putri, jangan teriak-teriak. Mamah sama Papah udah pergi ke cafe dari tadi pagi, tapi tadi sebelum berangkat Mamah Siska udah buatin kamu roti cokelat buat kamu sarapan" kata Mbok Sum sambil meletakkan nampan sarapan di meja.
Aku mengerang kecil, lalu mengubur wajahku di bantal. "Kenapa sih Mamah sama Papah selalu pergi sebelum aku bangun..."
Mbok Sum tertawa kecil. "Yaudah, sekarang bangun dulu cah ayu. Trs roti nya dimakan, Nanti telat sekolah lho."
"Eumm.. nanti tolong bilangin ke Mamah kalau pulang dari sekolah nanti, Putri mau makan di cafe. Putri bosen masakan rumah, gak mood makan nasi."
"Oh gitu, yaudah entar mbok Sum bilang ke Mamah ya.. Sekarang cepetan bangun." jawab mbok Sum.
Aku mengangkat kepala, melirik roti dan segelas susu di atas meja. Sambil menguap, aku akhirnya bangkit dan berjalan ke meja untuk makan. Setelah itu, aku segera bersiap-siap ke sekolah.
...
Pak Man mengantar ku ke sekolah, "Udah sampe Putri." Ucap nya.
"Okey pak Man, makasih."
"Iya, Pak Man langsung balik ya,"
"Hati-hati pak"
"Pasti."
Disekolah, aku mulai berani berinteraksi. Aku menemukan bahwa teman-temanku sebenarnya ramah dan menyenangkan. Namun, di balik itu, aku juga melihat ada beberapa anak yang sering mendapatkan perundungan oleh anak-anak nakal di kelas.
Suatu hari, ketika istirahat, aku melihat seorang anak laki-laki bernama Marvin diejek oleh sekelompok anak nakal. Mereka merampas bekalnya. Aku merasa tidak bisa tinggal diam. Dengan keberanian, aku mendekati mereka dan berkata dengan tegas...
"HEI BALIKIN BEKEL NYA!" Teriakku menghampiri anak laki-laki itu.
"Gak mau wlee. Siapa sih lu?" Tanya mereka.
"Harus nya gue yang tanya ke lo pada, lo semua siapa hah main ambil-ambil barang punya orang lain? BALIKIN!!" Seru ku.
"Anak perempuan bisa apa sih emang? Ambil sini kalau bisa." Ledek mereka.
"Ngeselin ya kalian!" Aku mencubit lengan salah satu anak itu dengan kuat, membuatnya meringis kesakitan.
"AUW! Lepasin!" teriaknya sambil mencoba melepaskan tanganku. Tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin mereka tahu kalau tidak semua orang bisa mereka ganggu seenaknya. Cubitanku begitu keras hingga meninggalkan bekas merah, bahkan sedikit berdarah.
"RASAIN!" seruku marah.
"AWW STOP"
Aku masih mencubit mereka berdua sekencang mungkin supaya mereka jera, "GUE BILANG GAK MAU"
Mereka akhirnya menyerah.
"Aduh, udah, ampun! Kita pergi aja, yuk!" ucap salah satu anak dengan panik, melihat temannya kesakitan.
Dari kejauhan suara guru terdengar membuat mereka bubar dan mengembalikan bekal nya Marvin.
Marvin menatapku dengan mata berbinar, "Makasih ya."
Sekolah baru yang dulu terasa asing kini menjadi tempat yang hangat dan penuh cerita berharga.
Seiring berjalannya waktu, aku mulai merasa lebih nyaman di sekolah baru. Peristiwa saat ia membantu Marvin membuatnya dikenal sebagai anak yang berani dan peduli. Perlahan, teman-temannya pun bertambah.
Selain Marvin, kini ada Alex, Dimas, Diaz, Akbar, Marendra, Arum, Aurel dan Gayatri yang sering bermain dan belajar bersama. Kami sering berkumpul saat istirahat di bawah pohon besar di halaman sekolah. Pohon itu seolah menjadi "markas" kecil tempat berbagi cerita, tawa, dan juga masalah.
...
Hari-hari setelah kami membentuk Tim Kupu-Kupu, semuanya terasa berbeda. Aku merasa lebih ringan. Bukan karena masalahku selesai, tapi karena aku tahu ada teman-teman yang selalu mendukungku, apa pun yang terjadi.
Ketika ujian semakin dekat, aku mulai panik lagi. Rasa takut gagal muncul setiap kali aku membuka buku pelajaran.
"Aduh, gimana ini? Kalau nilainya jelek lagi, Mamah pasti bakal marah," keluhku suatu siang saat kami berkumpul di taman sekolah.
Dinda, Salsa, dan Intan menatapku penuh perhatian. "Tenang, Kirana," kata Salsa sambil menepuk pundakku. "Kita semua belajar bareng aja. Kamu nggak sendirian."
"Iya," tambah Intan. "Kalau kamu butuh bantuan, bilang aja. Kita bisa ngerjain bareng."
Kami mulai belajar bersama setiap hari sepulang sekolah. Di ruang tamuku yang penuh buku, kami menghabiskan waktu untuk mengerjakan soal-soal dan saling membantu memahami pelajaran.
"Lihat nih, soal matematika ini gampang banget!" seru Dinda dengan penuh semangat, menunjukkan caranya menyelesaikan sebuah soal yang rumit.
Aku terkekeh. "Kamu sih pintar, Din. Kalau aku, lihat angka aja udah pusing."
"Makanya belajar bareng. Kamu pasti bisa, kok," jawab Dinda sambil tersenyum.
"Minimal kasih tau ini apa jawabannya woy" Ucap Salsa sedikit frustasi.
"Jawaban nya rahasia Sal, Hahahah.." ucapku
"Nah rahasia kan hahah." Imbuh Dinda
"Lo berdua emang sama aja ya, ih gak asik. Gue mau tanya Intan aja deh." Geram salsa.
"Ehem, Tann..bagi contekan nya pliss." Imbuh nya dengan memelas.
"Yehh tanya sama aku mah percuma atuh, sama-sama otak nya kosong." Jawab Intan.
Malam-malam panjang itu menjadi momen yang tidak akan pernah aku lupakan. Kami tertawa, saling mengejek ketika salah menjawab soal, tapi juga saling mendukung. Mereka mengingatkanku bahwa aku tidak perlu menghadapi semuanya sendirian.
...
Beberapa hari telah berlalu. Saat hasil ujian diumumkan, aku merasa sangat gugup. Aku menggenggam tangan Dinda erat-erat saat kami menunggu giliran namaku disebutkan.
"Tenang aja, Kirana. Kamu pasti dapat nilai bagus," bisik Dinda.
Dan benar saja, ketika guruku menyebutkan peringkat tiga besar, namaku ada di sana.
"Peringkat satu : Marendra!"
"Peringkat dua : Dinda!"
"Peringkat tiga: Kirana!"
"Peringkat empat : Marvin!"
"Dan peringkat lima : Aurel!"
Aku hampir tidak percaya. Rasanya seperti mimpi. Dinda dan yang lainnya langsung memelukku dengan penuh semangat.
"Kami tahu kamu bisa, Kirana!" seru Salsa.
"Ini semua karena kalian," jawabku, mataku mulai berkaca-kaca.
Hari-hari berlalu, dan persahabatan kami semakin erat. *Tim Kupu-Kupu* menjadi lebih dari sekadar nama. Itu adalah tempat di mana aku merasa diterima apa adanya. Kami tidak hanya belajar bersama, tapi juga berbagi tawa dan kenangan.
...
Suatu hari, saat jam istirahat, kami berkumpul di bawah pohon besar di taman sekolah-markas kecil kami. Di tengah obrolan kami, Alex, salah satu teman sekelas, tiba-tiba menghampiri kami bersama beberapa anak laki-laki lainnya.
"Eh, kalian cewek-cewek punya *Tim Kupu-Kupu*. Kita juga mau dong punya tim sendiri!" serunya.
Dinda mengerutkan kening. "Mau nama apa? Tim kalian mau jadi ulat, ya?" candanya.
Alex tertawa kecil. "Halah, nggak mungkin dong. Kita mau jadi *Tim Lion!* Gimana, keren, kan?"
"Lion? Macan? Emang kalian mau jadi penjaga kebun binatang?" balas Salsa, tertawa.
"Terserah kalian mau bilang apa," jawab Alex santai.
"Tapi mulai sekarang, kita cowok-cowok punya grup sendiri. Kita bakal jadi tim yang gagah dan kompak!"
Anak-anak cowok lainnya-Dimas, Diaz, Akbar, dan Marendra-bersorak setuju.
Dinda tertawa sambil menggelengkan kepala.
"Ya sudah, kalau kalian serius. Tapi ingat, walaupun kalian punya tim sendiri, kita semua tetap satu geng besar."
"Siap, Kak Dinda!" jawab Alex dengan gaya bercanda.
Seiring waktu, baik *Tim Kupu-Kupu* maupun *Tim Lion* tumbuh semakin besar. Kami mulai menerima anggota baru di setiap tim. Selain Marvin yang sudah bergabung dengan kami, Arum, Aurel, dan Gayatri juga menjadi bagian dari *Tim Kupu-Kupu*. Mereka membawa warna baru ke dalam persahabatan kami.
"Kirana, tim kita sekarang ramai banget, ya," kata Salsa suatu sore.
"Iya," jawabku sambil tersenyum.
"Tapi aku suka. Rasanya jadi lebih seru."
"Eh, jangan lupa," tambah Dinda. "Kita semua satu keluarga. Cowok-cewek, semuanya saling mendukung."
Dan memang, meski kami punya tim yang berbeda, kebersamaan kami tetap utuh. Kami saling membantu, saling mendukung, dan saling melengkapi.
Di bawah pohon besar itu, aku sering berpikir tentang betapa bersyukurnya aku memiliki mereka. Sahabat-sahabat yang selalu ada, sahabat-sahabat yang membuatku percaya bahwa aku tidak sendirian.