Satu surat pemecatan. Satu undangan pernikahan mantan. Dan satu warung makan yang hampir mati.
Hidup Maya di Jakarta hancur dalam semalam. Jabatan manajer yang ia kejar mati-matian hilang begitu saja, tepat saat ia memergoki tunangannya berselingkuh dengan teman lama sekaligus rekan sekantornya. Tidak ada pilihan lain selain pulang ke kampung halaman—sebuah langkah yang dianggap "kekalahan total" oleh orang-orang di kampungnya.
Di kampung, ia tidak disambut pelukan hangat, melainkan tumpukan utang dan warung makan ibunya yang sepi pelanggan. Maya diremehkan, dianggap sebagai "produk gagal" yang hanya bisa menghabiskan nasi.
Namun, Maya tidak pulang untuk menyerah.
Berbekal pisau dapur dan insting bisnisnya, Maya memutuskan untuk mengubah warung kumuh itu menjadi katering kelas atas.
Hingga suatu hari, sebuah pesanan besar datang. Pesanan katering untuk acara pernikahan paling megah di kota itu. Pernikahan mantan tunangannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Liora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9: Mantan yang Tak Tahu Diri
"Bukan, May. Aku ke sini justru mau kasih tahu kamu hal penting. Mending kamu cepat-cepat kemas barang kamu dan ajak ibumu pergi dari sini."
Adit bicara sambil celingukan, seolah takut ada orang yang melihatnya berdiri di depan pagar warung reyot itu. Dia melangkah masuk, melewati pagar kayu yang catnya sudah mengelupas, tanpa merasa butuh izin dari si pemilik rumah.
Maya menatap Adit dengan alis bertaut. "Pergi? Aku nggak salah dengar? Ini rumahku, Dit. Satu-satunya harta yang aku punya setelah kamu dan Siska merampas pekerjaanku di Jakarta."
"Justru itu! Siska nggak suka kamu ada di sini," Adit berkacak pinggang, mencoba terlihat berwibawa meski kemejanya lecek. "Lokasi pernikahan kami itu di Hotel Cipta Pesona, nggak jauh dari sini. Siska merasa terganggu karena mantan tunanganku tinggal di lingkungan yang sama. Dia bilang, pemandangan warung kumuh ini merusak mood dia sebagai pengantin."
Maya nyaris tertawa saking tidak percayanya. "Merusak mood? Wah, Siska sudah jadi ratu sejagat sekarang sampai urusan tempat tinggalku pun dia mau atur?"
"Nggak usah sarkas begitu, May. Ini buat kebaikan kamu juga. Daripada kamu makin malu kalau tamu-tamu undangan kami lewat sini dan lihat kamu lagi jemur baju atau masak di dapur asap? Aku sudah siapkan sedikit uang buat kamu kontrak rumah di kecamatan sebelah. Anggap saja ini uang pesangon pribadi dariku."
"Pesangon?" Maya maju selangkah, matanya berkilat marah. "Kamu pikir aku ini apa? Karyawan yang bisa kamu pecat dari rumahnya sendiri? Kamu denger ya, Dit. Aku nggak butuh satu rupiah pun uang haram dari kamu."
"Halah, May! Gengsi nggak bakal bikin kamu kenyang!" suara Adit meninggi. "Lihat diri kamu sekarang. Kucel, bau bumbu, tangan kasar. Kamu pikir dengan jualan nasi bungkus begini kamu bakal sukses? Kamu itu sudah tamat semenjak keluar dari Jakarta. Di sini itu tempat orang gagal, dan kamu adalah contoh nyatanya."
"Gagal katamu?"
"Iya! Kamu itu produk gagal! Kalau kamu pintar, kamu bakal ambil uang ini dan pergi diam-diam. Siska punya koneksi besar, May. Dia bisa saja minta orang bank buat percepat penyitaan rumah ini kalau dia mau. Mending kamu pergi sebelum diusir paksa."
Maya menarik napas dalam-dalam. Amarahnya sudah sampai di ubun-ubun, tapi dia ingat nasihat almarhum ayahnya untuk selalu tenang saat menghadapi lawan yang bodoh.
Matanya melirik ke arah ember plastik di dekat jemuran. Ember itu berisi air keruh bekas cucian beras yang tasi belum sempat dia buang.
"Oh, jadi kamu takut aku bikin malu di depan tamu-tamu agungmu?" Maya berjalan santai ke arah ember itu, bibirnya mengulas senyum manis yang sangat tipis.
"Nah, gitu dong. Kamu harus sadar diri. Siska itu sekarang di level yang beda sama kamu. Dia cantik, berkelas, dan sebentar lagi jadi istri pengusaha sukses," Adit merasa di atas angin, dia berjalan mendekat ke arah teras tempat Maya berdiri.
"Iya, aku sadar banget kok," Maya membungkuk, meraih pegangan ember. "Aku sadar kalau teras ini jadi kotor banget sejak ada kaki sampah yang masuk tanpa permisi."
Byuuurrr!
Dalam satu gerakan cepat dan tak terduga, Maya mengayunkan ember itu. Air cucian beras yang putih keruh dan berbau asam langsung mendarat telak di celana bahan mahal Adit, membasahi sepatu kulit mengkilapnya sampai ke dalam-dalam.
"Waduh! Maaf ya, Dit! Nggak sengaja! Aku pikir tadi ada tumpukan kotoran ayam di situ, ternyata cuma kaki kamu," kata Maya, wajahnya terlihat sangat menyesal tapi matanya penuh kemenangan.
"Maya! Sialan! Kamu gila ya?" Adit melompat mundur, tapi terlambat. Celananya sudah basah kuyup dan lengket. "Ini celana mahal, May! Kamu tahu nggak harganya berapa? Kamu harus jual nasi berapa ribu bungkus buat ganti celana ini?"
"Aduh, masa sih mahal? Kok kelihatannya murahan ya, sama kayak yang pakai," Maya meletakkan ember kosong itu dengan bunyi brak yang keras. "Pulang sana. Bilang sama calon istrimu yang ular itu, kalau dia merasa terganggu sama warung ini, mending dia tutup matanya pakai kain kafan sekalian. Aku nggak akan pindah seinci pun."
"Kamu benar-benar nantang, ya? Kamu bakal nyesel, Maya! Aku bakal pastikan pernikahan kami jadi hari paling menyakitkan buat kamu!" Adit menunjuk-nunjuk wajah Maya dengan tangan gemetar karena emosi.
"Aku sudah ngerasain hal paling menyakitkan pas tahu tunanganku selingkuh sama teman sekaligus rekan kerjaku sendiri, Dit. Jadi, ancamanmu itu basi. Sekarang pergi, sebelum aku ambil air bekas cucian piring yang lebih bau dari ini!"
Adit masih hendak membalas, mulutnya sudah terbuka untuk mengeluarkan makian lagi. Namun, suara deru mesin mobil yang halus dan berkelas tiba-tiba memecah keributan itu. Sebuah mobil Luxus hitam mengkilap berhenti tepat di belakang sedan putih Adit.
Pintu mobil terbuka. Arlan turun dengan setelan jas yang masih sempurna, meskipun hari sudah sore. Dia melangkah dengan aura yang begitu dominan, membuat Adit yang sedang basah kuyup itu mendadak terlihat seperti kurir paket yang tersesat.
Arlan berjalan melewati Adit seolah pria itu hanya tiang listrik. Dia langsung menuju teras, matanya tertuju pada Maya yang masih memegang ember kosong.
"Ada masalah, Maya?" tanya Arlan, suaranya berat dan tenang.
"Bukan masalah besar, Arlan. Cuma ada sedikit sampah yang susah dibuang," jawab Maya sambil melirik Adit.
Adit ternganga melihat Arlan. Dia tahu siapa pria itu. Arlan Dirgantara. CEO dari Dirgantara Utama Group yang sedang naik daun dan menjadi perbincangan di kalangan pebisnis kabupaten maupun provinsi.
"Pak... Pak Arlan?" Adit gagap, mencoba merapikan kemejanya yang berantakan. "Bapak kenal sama perempuan ini?"
Arlan menoleh perlahan, menatap Adit dari ujung kepala sampai ujung kaki dengan pandangan merendahkan. Tatapannya tertuju pada celana Adit yang basah dan berbau air cucian beras.
"Saya tidak merasa punya urusan dengan orang yang tidak bisa menjaga kebersihan celananya sendiri," ucap Arlan dingin. Dia kembali menoleh pada Maya, lalu tanpa ragu, dia mengulurkan tangannya dan merangkul bahu Maya dengan protektif di depan mata Adit.
"Maya adalah mitra bisnis terpenting saya sekarang. Jadi, kalau kamu punya urusan dengannya, itu berarti urusan dengan saya juga," lanjut Arlan.
Adit seolah membeku di tempat. Wajahnya berubah dari merah karena marah menjadi pucat karena malu dan takut. "Mitra... bisnis?"
"Iya. Dan sepertinya pembicaraan kalian sudah selesai, bukan?" Arlan menaikkan alisnya, sebuah isyarat jelas agar Adit segera angkat kaki.
Maya bersandar sedikit pada bahu Arlan, merasa kehangatan dan kekuatan mengalir dari pria itu. Dia menatap Adit dengan senyum penuh kemenangan. "Kasihan ya, Dit. Celana mahalnya jadi bau beras. Mending pulang, minta Siska cuciin. Kalau dia nggak mau, kan kamu bisa pakai uang ‘sogokan’ tadi buat ke laundry."