NovelToon NovelToon
TERPAKSA MENIKAHI CEO BEJAD

TERPAKSA MENIKAHI CEO BEJAD

Status: sedang berlangsung
Genre:Perjodohan / Cerai / CEO / Percintaan Konglomerat / Konflik etika / Balas Dendam
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Alviona Mahira berusia 15 tahun baru lulus SMP ketika dipaksa menikah dengan Daryon Arvando Prasetya (27 tahun), CEO Mandira Global yang terkenal tampan, kaya, dan memiliki reputasi sebagai playboy. Pernikahan ini hanya transaksi bisnis untuk menyelamatkan keluarga Alviona dari kebangkrutan.

Kehidupan rumah tangga Alviona adalah neraka. Siang hari, Daryon mengabaikannya dan berselingkuh terang-terangan dengan Kireina Larasati—kekasih yang seharusnya ia nikahi. Tapi malam hari, Daryon berubah menjadi monster yang menjadikan Alviona pelampiasan nafsu tanpa cinta. Tubuh Alviona diinginkan, tapi hatinya diinjak-injak.
Daryon adalah pria hyper-seksual yang tidak pernah puas. Bahkan setelah bercinta kasar dengan Alviona di malam hari, pagi harinya dia bisa langsung berselingkuh dengan Kireina. Alviona hanya boneka hidup—dibutuhkan saat Daryon terangsang, dibuang saat dia sudah selesai.

Kehamilan, keguguran karena kekerasan Kireina, pengkhianatan bertubi-tubi

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 33: TUDUHAN TANPA BUKTI

"KAU PEMBUNUH!"

Teriakan Alviona menggema di seluruh mansion—keras, penuh amarah yang selama ini dipendam, penuh rasa sakit yang tidak bisa ditahan lagi.

Kireina yang sudah hampir sampai di pintu depan berhenti—berbalik dengan wajah yang... terkejut. Akting sempurna.

"A-apa?" suaranya bergetar—seolah terluka, seolah tidak percaya dengan tuduhan itu.

"KAU DENGAR AKU!" Alviona melangkah mendekati dengan langkah yang gontai tapi penuh tekad. "KAU YANG MENDORONG AKU DARI TANGGA! KAU YANG MEMBUNUH BAYIKU!"

Suara langkah cepat dari berbagai arah—pelayan yang keluar dari dapur dengan wajah terkejut, Syafira yang turun dari lantai dua dengan wajah yang... marah, dan bahkan beberapa pegawai lain yang menghentikan pekerjaan mereka.

"Alviona, apa yang kau lakukan?!" Syafira langsung turun dengan langkah cepat, tatapannya penuh kemarahan.

Tapi Alviona tidak peduli. Matanya hanya fokus pada Kireina—pada wanita yang mengambil satu-satunya hal berharga dalam hidupnya.

"Aku ingat semuanya!" Alviona melanjutkan, tangannya menunjuk Kireina dengan gemetar. "Aku ingat ada yang mendorong aku dari belakang! Aku ingat parfummu! Aku ingat gaun merahmu! ITU KAU!"

Kireina menutup mulutnya dengan tangan—gerakan yang terlihat sangat terkejut dan terluka.

"Alviona... bagaimana kau bisa menuduh aku seperti itu..." suaranya keluar bergetar—nada sempurna dari seseorang yang dituduh salah. "Aku... aku datang ke sini dengan niat baik... membawa buah untuk kesembuhanmu... dan kau... kau menuduh aku MEMBUNUH?!"

Kata terakhir itu diucapkan dengan nada yang naik—penuh rasa tersinggung.

"KARENA MEMANG ITU YANG KAU LAKUKAN!" Alviona berteriak lagi, air matanya mengalir deras sekarang. "KAU IRI KARENA AKU HAMIL! KAU TIDAK SUKA KARENA ITU ANAK DARYON! JADI KAU—"

PLAK!

Tamparan keras mendarat di pipi Alviona.

Tapi bukan dari Kireina.

Dari Syafira.

Alviona terhuyung ke samping—pipi langsung memerah, rasa sakit menyebar, tapi yang lebih sakit adalah... kejutan dari tamparan itu.

"CUKUP!" Syafira berteriak dengan wajah merah karena marah. "Cukup dengan dramamu! Cukup dengan tuduhan tidak berdasarmu!"

"Tapi dia—"

"DIAM!" Syafira memotong dengan nada yang membuat Alviona langsung terdiam. "Kau menuduh tamu kami—tamu yang datang dengan niat baik—sebagai PEMBUNUH?! Tanpa bukti?! Tanpa saksi?! Hanya berdasarkan 'aku ingat'?!"

Syafira melangkah mendekati Alviona dengan tatapan yang... menghakimi.

"Kau pikir kami bodoh? Kau pikir kami akan percaya kata-katamu yang jelas-jelas hanya ingin menyalahkan orang lain atas kecerobohanmu sendiri?!"

"Aku tidak ceroboh!" Alviona berteriak dengan putus asa. "Aku didorong! Aku—"

"KAU JATUH KARENA KAU CEROBOH!" Syafira memotong lagi. "Karena kau membawa nampan yang terlalu berat! Karena kau tidak hati-hati! Dan sekarang, karena kau tidak bisa menerima kesalahanmu sendiri, kau mencari kambing hitam!"

"Tidak... tidak seperti itu..." Alviona menggeleng kuat, tangannya mencengkeram dadanya sendiri. "Aku benar-benar merasakan dorongan... aku benar-benar melihat—"

"Kau melihat APA?!" Syafira menantang. "Kau punya saksi? Kau punya bukti? Atau kau cuma punya 'perasaan' dan 'ingatan samar' yang muncul karena kau tidak bisa terima kenyataan bahwa ini salahmu?!"

Alviona terdiam—karena Syafira benar.

Dia tidak punya saksi. Tidak punya bukti. Hanya... potongan ingatan yang baru kembali. Yang bisa saja salah. Yang bisa saja hanya bayangan dari keinginan untuk menyalahkan seseorang.

Tapi dalam hati... dia tahu. Dia TAHU itu Kireina.

"Syafira..." Kireina akhirnya berbicara—suaranya lembut tapi ada nada terluka di sana. "Mungkin... mungkin Alviona sedang dalam kondisi trauma. Aku mengerti... kehilangan bayi pasti sangat berat. Mungkin dia butuh... seseorang untuk disalahkan. Dan sayangnya... aku jadi sasaran."

Dia melangkah mendekati Alviona dengan wajah yang penuh "simpati"—tapi matanya... matanya berbeda. Ada kilatan kemenangan di sana yang hanya Alviona yang bisa lihat.

"Aku memaafkanmu, Alviona," ucapnya lembut sambil menyentuh bahu Alviona—sentuhan yang terlihat lembut dari luar, tapi bagi Alviona terasa seperti racun. "Aku tahu kau tidak dalam kondisi mental yang baik. Aku tidak akan tersinggung."

Kata-kata yang terdengar mulia—yang membuat Kireina terlihat seperti korban yang baik hati, sementara Alviona terlihat seperti wanita gila yang paranoid.

"Tapi aku pikir..." Kireina menoleh ke Syafira, "mungkin Alviona perlu bantuan ahli jiwa. Ini jelas... khayalan akibat trauma."

"Aku setuju," Syafira mengangguk dengan wajah yang serius. "Alviona, kau akan konsultasi dengan ahli kejiwaan. Ini bukan permintaan."

"Aku tidak gila!" Alviona berteriak, frustrasi mencapai puncak. "Aku tahu apa yang aku lihat! Aku tahu apa yang aku rasakan! DIA—"

Suara pintu depan terbuka keras.

Daryon masuk—dengan kemeja yang sedikit kusut, dasi yang sudah dilepas, wajah yang... lelah tapi kemudian berubah menjadi bingung melihat pemandangan di depannya.

"Ada apa ini?" tanyanya dengan nada yang waspada.

"Daryon!" Syafira langsung menghampiri anaknya. "Istrimu... istrimu baru saja menuduh Kireina sebagai pembunuh bayinya!"

Daryon menatap Alviona—dan ada sesuatu di tatapan itu yang membuat jantung Alviona berhenti.

Bukan tatapan khawatir. Bukan tatapan ingin tahu.

Tapi tatapan... kesal. Kecewa.

"Apa?" tanyanya dengan nada datar.

"Dia bilang Kireina mendorongnya dari tangga!" Syafira melanjutkan dengan nada yang berlebihan. "Di depan semua pelayan! Di depan tamu! Tanpa bukti! Tanpa saksi! Hanya karena dia tidak bisa terima bahwa kehilangan bayinya adalah akibat kecerobohannya sendiri!"

Daryon berjalan mendekati Alviona dengan langkah yang lambat—tapi ada sesuatu di postur tubuhnya yang membuat Alviona mundur secara naluriah.

"Daryon... aku bisa jelaskan—" Alviona mulai, suaranya bergetar.

"Jelaskan apa?" potong Daryon dengan nada yang dingin—dingin yang sangat kontras dengan kehangatan semalam. "Jelaskan kenapa kau menuduh tamu kami—seseorang yang datang dengan niat baik—sebagai pembunuh?"

"Dia BUKAN datang dengan niat baik!" Alviona berteriak, keputusasaan jelas di suaranya. "Dia datang untuk puas melihat aku hancur! Dia—"

"KAU PUNYA BUKTI?!" Daryon memotong dengan suara yang meninggi.

Keheningan.

Alviona tidak punya bukti.

"Saksi?" lanjut Daryon.

Keheningan lagi.

Tidak ada saksi. Atau lebih tepatnya... tidak ada yang mau bersaksi.

Alviona melirik Mbak Rina yang berdiri di sudut ruangan—wajahnya pucat, mata menunduk, tangan gemetar. Jelas dia tahu sesuatu. Jelas dia bagian dari rencana ini.

"Mbak Rina!" Alviona langsung menunjuk. "Kau tahu kan?! Tangga itu sengaja dibuat licin! Kau yang—"

"Saya tidak tahu apa-apa, Nyonya," potong Mbak Rina cepat—terlalu cepat—dengan suara yang bergetar. "Saya... saya cuma pelayan. Saya tidak tahu apa-apa tentang kecelakaan Nyonya..."

"KAU BOHONG!" Alviona berteriak, melangkah mendekati Mbak Rina tapi Daryon mencegat, mencengkeram lengannya.

"CUKUP, ALVIONA!" Daryon berteriak sekarang—suara yang keras, yang membuat semua orang di ruangan terdiam.

"Daryon, kumohon dengarkan aku—" Alviona mencoba dengan suara yang putus asa, air mata mengalir deras. "Semalam kau bilang kau menyesal... kau bilang kau akan melindungiku... kumohon percaya aku—"

"Percaya APA?!" Daryon memotong dengan nada yang naik. "Percaya tuduhan gila tanpa bukti?! Percaya karangan cerita yang kau buat karena kau tidak bisa terima kenyataan?!"

"Ini bukan karangan—"

"JANGAN BUAT MALU KELUARGAKU LEBIH DARI INI!"

Dan kemudian—

PLAK!

Tamparan keras mendarat di pipi Alviona yang sama—yang sudah merah dari tamparan Syafira.

Tapi kali ini dari Daryon.

Dari suami yang semalam memeluknya dengan lembut. Yang menangis di pelukannya. Yang bilang menyesal.

Tamparan itu tidak hanya menyakitkan secara fisik.

Tapi menghancurkan sesuatu di dalam Alviona yang sudah sangat rapuh.

Harapan terakhirnya.

Alviona terhuyung—kali ini jatuh ke lantai—tubuhnya terlalu lemah untuk menahan. Pipinya panas, terasa kayak terbakar, tapi yang lebih panas adalah air mata yang mengalir.

Dia menatap Daryon dari lantai—menatap pria yang semalam terlihat berbeda, yang semalam terlihat... manusiawi.

Tapi sekarang? Sekarang dia melihat monster yang sama. Monster yang hanya baik saat ada maunya.

"Kau..." bisik Alviona dengan suara yang pecah total. "Kau... kau bilang kau berubah... kau bilang kau menyesal..."

Daryon menatapnya dari atas dengan tatapan yang... dingin. Tatapan yang sama seperti dulu. Seperti semalam tidak pernah terjadi.

"Aku menyesal untuk kehilangan anakku," ucapnya dengan nada datar. "Bukan untuk kau."

Kata-kata itu seperti pisau terakhir yang menusuk jantung Alviona.

"Dan sekarang kau membuat malu keluargaku dengan tuduhan konyolmu," lanjut Daryon sambil berbalik. "Kau akan minta maaf pada Kireina. Sekarang."

"Aku... aku tidak akan—"

"SEKARANG!" Daryon berteriak tanpa menoleh.

Keheningan yang mencekik.

Alviona menatap lantai—air matanya jatuh, membuat bercak basah di marmer yang dingin.

Dalam hatinya, sesuatu benar-benar mati.

Bukan retak. Bukan rusak.

Tapi mati total.

Harapan bahwa Daryon bisa berubah. Harapan bahwa dia bisa dicintai. Harapan bahwa dia bisa keluar dari neraka ini.

Semuanya mati.

Dengan suara yang hampir tidak terdengar, dengan kepala masih tertunduk, Alviona berbisik:

"Maafkan... aku..."

Kireina tersenyum—senyum kemenangan yang dia sembunyikan di balik wajah yang "tersentuh."

"Aku memaafkanmu, sayang," ucapnya dengan nada yang lembut tapi penuh kepuasan tersembunyi.

Syafira mendecak kesal. "Bawa dia ke kamarnya. Dan pastikan dia tidak keluar sampai dia benar-benar sadar."

Dua pelayan membantu Alviona berdiri—menopang tubuhnya yang lemas—dan membawanya naik tangga.

Tangga yang sama dimana dia jatuh.

Tangga yang mengambil bayinya.

Tangga yang sekarang jadi pengingat bahwa tidak ada keadilan di dunia ini.

Setidaknya tidak untuk dirinya.

---

**Malam itu, Alviona terkunci di kamarnya—bukan secara fisik, tapi secara emosional. Dia berbaring di ranjang dengan mata kosong menatap langit-langit. Pipinya masih panas dari dua tamparan tadi. Tapi yang lebih sakit adalah realisasi: Daryon hanya baik saat ada maunya. Semalam dia lembut karena dia butuh sesuatu dari Alviona. Tapi begitu reputasi keluarganya terancam? Alviona jadi musuh lagi. Dan sekarang... sekarang Alviona tahu. Dia sendirian. Benar-benar sendirian. Melawan dunia yang tidak akan pernah percaya padanya.**

**Apakah Alviona akan menyerah? Atau dia akan mencari cara untuk membuktikan kebenaran—walau harus sendirian? Dan bagaimana dia akan bertahan di rumah ini, dimana setiap orang menatapnya seperti wanita gila yang paranoid?**

---

**[ BERSAMBUNG KE BAB 34... ]**

1
Eflin
.uuuuiu]uui
Eflin
pkpp
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!