Ada cowok yang pikirannya masih di zaman batu, yang menganggap seks cuma sekedar kompetisi. Semakin banyak cewek yang ditiduri, maka semakin jantan dia.
Terus ada juga yang menganggap ini cuma sebagai salah satu ajang seleksi. Kalau goyangannya enak, maka mereka bakal jadian.
Ada lagi yang melihat ini cuma buat kesenangan, tanpa perlu ada keterikatan. Ya, melakukannya cuma karena suka. Sudah, begitu saja.
Dan ada juga cowok yang menganggap seks itu sesuatu yang sakral. Sesuatu yang cuma bisa mereka lakukan sama orang yang benar-benar mereka sayangi.
Nah, kalau gue sendiri?
Jujur, gue juga nggak mengerti. Gue bahkan nggak tahu apa arti seks buat gue.
Terus, sekarang gue ada di sini sama Carolline?
Gue baru kenal dia, jadi gue nggak ada niatan buat tidur sama dia. Tapi kalau soal bikin dia puas?
Itu cerita lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kelas Pertama
Cewek cantik nyelonong masuk ke kamar gue.
Maksudnya jelas banget.
Dan gue di sini, mikir dia mau ngapain?
Sebenarnya ini gampang banget kalau dia nggak ada hubungan sama Dino. Oke, mereka emang nggak serius, tapi gue nggak bisa asal nurutin insting dan ngehancurin pertemanan gue sendiri.
Lagian, tiap kali gue nurutin hasrat tanpa mikir panjang, akhirnya selalu berantakan. Pernah satu kali, gue patah hati. Sampai Hubungan gue sama Antari, kakak gue, hampir hancur.
Jadi, walaupun tubuh gue udah teriak buat nggak nolak, gue tetap nahan pergelangan tangannya. Gue tarik dia pelan ke arah pintu, tangan gue yang lain membuka kunci.
"Lo udah minum banyak banget," kata gue, kasih senyum kecil, "Mending lo tidur aja."
Dia melepas tangannya dari genggaman gue, terus memperhatikan gue, kaget.
"Serius."
Gue mengangguk. Mata dia langsung memerah dikit. Bukan, bukan ini yang gue mau. Gue lihat dia berusaha bersikap biasa aja, terus betulkan suaranya sebelum ngomong lagi.
"Oke, maaf ya. Gue benar-benar salah paham."
"Santai aja."
Dia rapetkan bibirnya, jelas lagi nahan air mata. Gue nggak bermaksud nyakitin dia, tapi juga nggak tahu harus ngomong apa. Akhirnya, dia memutar badan dan pergi ke lorong.
Gue geprak pelan kusen pintu, terus menutup pintu dengan napas berat.
Malam yang aneh.
Gue akhirnya rebahan, tapi bayangan wajah Vey yang merah karena malu terus muncul di kepala gue. Gue nggak mau nyakitin dia. Dia tahu kan kalau ini bukan soal dia nggak menarik atau bagaimana?
Ini cuma soal Dino. Gue harap dia nggak mikirin kejadian tadi terlalu dalam.
Tapi makin gue pikirin, makin gue merasa nggak enak.
Apa gue terlalu lebay?
Vey bukan cewek lemah. Malah kayaknya sombong banget kalau gue merasa keputusan gue bisa ngehancurin rasa percaya diri cewek sekeren dia.
Udahlah, tidur aja, Asta.
Untungnya, sisa alkohol di tubuh gue akhirnya bikin gue bisa tidur juga.
...ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩ᯓᡣ𐭩...
"Terus kata gue gini ke dia, 'Makanya lo nggak bakal lulus Pengantar Psikologi, tolol.’ Gue tahu karena gue sendiri dulu pernah mengalami hal yang sama. " Bessie cerita soal debatnya sama cowok di kelas tadi. Kayaknya, ngobrol sekali saja cukup buat kita jadi temenan.
Hari ini, kita sempat ngobrol di beberapa kelas yang sama, bahkan makan siang bareng di kantin kampus.
Pas kelas terakhir, dia kasih tempat buat gue. Begitu gue masuk ruangan, dia angkat tangan tinggi-tinggi buat manggil gue duduk di sebelahnya.
Gue sih nggak keberatan. Sosialisasi bukan keahlian gue, jadi seneng juga ada orang yang kayak dia.
Gue usap muka, merasa agak capek.
Dia memperhatikan gue sambil betulin kacamatanya, ekspresinya kayak lagi menganalisis sesuatu.
"Ada yang habis mengalami malam yang panjang, nih," Bessie nyeletuk santai.
Gue mulai sadar kalau dia tipe orang yang baru kenal sebentar saja udah berasa akrab, kayak kita pernah temenan di kehidupan sebelumnya dan sekarang cuma ngelanjutin lagi.
"Monster Party," gumam gue, terus minum air dari botol yang ada di depan.
"Monster Party itu teman lo?"
"Iya, lo kenal dia?"
Gue nggak kaget sih kalau dia tahu julukan Dino. Yang bikin heran adalah reaksi dia setelahnya. Sejak tadi, Bessie nggak berhenti ngobrol, tapi pas gue sebut nama Dino, tiba-tiba dia diam.
Gue lirik dia. Duduknya tegak, tapi kepalanya menunduk, rambut ikalnya menutupi sebagian wajahnya, dan tangannya sibuk mainin jari di pangkuannya. Gue kerutkan alis, baru sadar kalau dia pakai sweater biru longgar yang kelihatan nyaman banget dipadukan sama jeans gelap.
"Kenapa?" tanya gue.
Dia malah memperhatikan ujung kelas dan angkat bahu.
"Nggak ada apa-apa."
Gue nggak suka dia ngomong tanpa melihat gue.
"Bessie."
Tiba-tiba dia berdiri, bikin gue refleks menyandar ke belakang.
"Gue mau beli permen. Lo mau sesuatu?"
"Kelas bentar lagi mulai."
"Gue balik kok, sebentar doang."
"Bessie."
Tapi dia udah jalan keluar, kayak buru-buru banget pengen kabur.
Kelas mulai, dan sepanjang waktu gue terus melirik pintu, nungguin dia balik buat minta maaf ke dosen karena telat. Tapi dia nggak muncul lagi.
Pas gue lihat mejanya, baru ngeh kalau dia tadi bawa semua barangnya pergi.
Keluar dari kelas, gue jalan di lorong utama fakultas, mencari Bessie, tapi nihil. Di kejauhan, ada yang dadah-dadah ke gue dengan semangat. Gue berhenti, nunggu orang itu makin dekat.
Carolline.
Di bawah sinar matahari, dia kelihatan lebih cantik daripada tadi malem. Rambut hitamnya jatuh di samping wajah, senyumnya lebar dan penuh semangat. Setelan yang dia pakai pas banget di tubuhnya, tiap lekukan, tiap bentuk, semuanya jelas. Gue nggak nyangka bakal ketemu dia secepet ini, jadi gue cuma bisa membalas lambaian tangan kayak orang bego.
Santai, Asta.
"Si tukang nguping," sapanya, nada suaranya lembut pas udah berdiri di depan gue.
"Si calon psikolog?"
Dia ketawa, dan entah kenapa, gue ikut lega karena ternyata itu lucu buat dia.
"Lo udah selesai kelas?" tanyanya. Gue angguk.
"Ngopi, yuk?"
Hah?
Gue freeze beberapa detik, sementara dia memperhatikan gue. Ini… dia lagi ngajak gue kencan?
Nggak, Asta. Dia cuma bersikap ramah.
"Boleh."
Carolline membawa gue ke kafe dekat kampus. Kita duduk di meja dekat jendela besar, sinar matahari masuk, dan suasananya hangat. Belum ada sama sekali orang waktu itu kecuali pelayan.
Dia mulai cerita soal tugas penting yang lagi dia kerjain, terus jelasin panjang lebar. Gue dengarin, tapi setengah fokus gue malah nyangkut di bibirnya.
Anjir, bibirnya cakep banget.
"Asta?"
"Hah?"
"Lo nggak papa? Sorry ya, gue kebanyakan ngomong. kalau udah mulai cerita, susah berhenti."
"Nggak masalah. Gue suka dengarin orang cerita."
Dia minum kopinya, gue ikutan.
Gue terima gelas dari Carolline, nahan napas sebentar sebelum minum. Minumannya dingin, manis, dan sedikit asam, tapi gue nggak bisa fokus ke rasanya karena Carolline duduk terlalu dekat.
"Lo kelihatan kayak orang yang punya banyak cerita menarik, tapi nggak gampang diceritain ke sembarang orang."
Gue ketawa kecil, lebih ke arah gugup. "Mungkin. Tapi nggak ada yang menarik, kok."
"Gue nggak percaya." Dia miring dikit, sandarin siku di sofa, dan tatap gue kayak lagi nunggu sesuatu yang seru.
Gue buang napas pelan. "Gue cuma mahasiswa baru."
Carolline senyum tipis, kayak nggak puas sama jawaban gue.
"Pasti lebih dari itu. Semua orang punya cerita yang bikin mereka jadi kayak sekarang."
Gue diam sebentar, mencari jawaban yang cukup aman tanpa terlalu kasih banyak tentang diri gue.
"Mungkin lo benar. Tapi kadang, ada cerita yang lebih enak nggak diceritain."
Carolline angkat alis, kayak tertarik sama misteri yang gue kasih tanpa sadar.
"Gitu, ya?"
Dia minum lagi, dan gue coba fokus ke pemandangan luar jendela biar nggak ke-distract sama cara dia gerakin bibirnya. atau sama cara bajunya sedikit terbuka di bahu.
Gue nggak boleh mikir yang aneh-aneh.
Tapi, ya… Tangan Carolline barusan nyentuh lutut gue sebentar. Gue nggak tahu itu sengaja atau nggak.
"Maksud lo apa?"
"Kisah cinta lo."
Gue senyum tipis, tapi ada sedih di situ.
"Nggak bagus, nggak ada yang menarik."
"Ouch, lo pernah patah hati?"
"Semua orang mengalami itu, kan?"
"Jadi gara-gara itu lo jadi tertutup? Takut sakit lagi?"
"Gue nggak tertutup."
"Lo hampir nggak pernah ngomong."
"Tadi malem lo bilang gue introvert, kan? Orang introvert emang nggak banyak ngomong."
Dia taruh gelas di meja depan sofa terus mendekat ke gue. Napas gue jadi berat pas lihat wajahnya makin dekat. Tangannya nyentuh pipi gue, dan gue otomatis julur lidah di bibir. Dia senyum lagi sebelum nanya,
"Lo mau cium gue?"
"Banget."
"Terus, kenapa..."
Gue nggak kasih dia kesempatan buat selesaikan kalimatnya. Gue cium dia dengan segala keinginan yang selama ini tertahan. Rasanya kayak kecanduan, dan gue makin dalami ciuman itu. Dia ada rasa minuman yang tadi dia minum. Bibirnya selembut yang gue bayangin. Gue cium dia kayak orang gila. Sudah lama banget gue nggak nyentuh siapa-siapa.
Gue dorong tubuhnya pelan, dia nggak punya pilihan selain rebahan di sofa, dan gue ada di atasnya. Napas kita berantakan, dan gue kaget pas merasakan tangannya menyelinap ke dalam kemeja gue, menyentuh perut gue. Tapi dia nggak berhenti di situ. Tangannya turun, buka kancing celana gue, gila, bagaimana dia bisa ngelakuin itu cuma pakai satu tangan?
Ternyata Carolline punya skill, dan itu makin terbukti pas tangannya menyusup ke dalam celana dalam gue. Gue mendesah di bibirnya. Dia tahu persis apa yang dia lakuin. Gue nggak berhenti nyium dia, lehernya, bibirnya, semua yang bisa gue jangkau.
Gue bisa menjangkau semuanya.
Lama nggak nge-seks ditambah skill Carolline?
Kombinasi yang bahaya. Nggak butuh waktu lama buat dia bikin gue kehilangan kendali.
"Tunggu, tunggu, tunggu… " Gue berusaha nahan, dengan kalimat yang masih menempel di bibirnya.
Tapi dia malah senyum nakal, terus gigit bibir gue dan lanjutin dengan lebih agresif. Gue bergetar, napas makin berat. Gue menutup mata, nempelin dahi ke dahinya. Sensasinya gila. Panasnya makin naik, dan gue bisa merasakan itu bakal datang.
Dan entah kenapa, di kepala gue malah muncul wajah Vey. Bayangan tubuhnya pas dia nari buat gue di ruang dansa. Sial, nggak, nggak.
Gue buka mata, dan yang ada di depan gue Carolline. Dia yang di sini. Dia yang gue pengen sekarang. Gue cium dia lagi, makin kalap.
..."atau lo mau hukum gue?"...
Udah, cukup.
Tapi otak gue, yang udah kebakar nafsu dan ada di ujung banget, nggak bisa berhenti. Di kepala gue, Vey yang ada di bawah. Kakinya melingkar di pinggang, dan gue nunjukin ke dia kalau gue bukan cowok polos kayak yang dia kira.
Carolline terus bergerak cepat sampai gue menyerah di tangannya dan, sialnya, muncrat dikit ke bajunya juga.
"Cepet amat." Suaranya main-main banget.
Dan sekarang gue nggak tahu mana yang lebih memalukan, kelar secepat ini di depan cewek cakep kayak Carolline, atau karena di detik-detik terakhir, gue malah mikirin cewek gebetannya Dino, teman gue.
cobalah utk hidup normal phyton
𝚜𝚊𝚕𝚞𝚝 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊,𝚠𝚊𝚕𝚊𝚞𝚙𝚞𝚗 𝚖𝚊𝚕𝚟𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊 𝚝𝚊𝚙𝚒 𝚍𝚒𝚊 𝚝𝚍𝚔 𝚋𝚎𝚕𝚊𝚒𝚗 𝚔𝚊𝚔𝚊𝚔𝚗𝚢𝚊,𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 𝚖𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚗𝚐𝚎𝚍𝚞𝚔𝚞𝚗𝚐 𝚙𝚑𝚢𝚝𝚘𝚗
𝚜𝚎𝚖𝚊𝚗𝚐𝚊𝚝 𝚍𝚘𝚗𝚐 🥰🥰
𝚜𝚖𝚘𝚐𝚊 𝚌𝚘𝚌𝚘𝚔 𝚢𝚊 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 🥰🥰
𝚜𝚎𝚖𝚘𝚐𝚊 𝚍𝚐𝚗 𝚊𝚍𝚊𝚗𝚢𝚊 𝚜𝚎𝚕𝚖𝚊 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚋𝚒𝚜𝚊 𝚗𝚎𝚖𝚞𝚒𝚗 𝚓𝚊𝚝𝚒 𝚍𝚒𝚛𝚒 𝚔𝚊𝚖𝚞 𝚍𝚊𝚗 𝚕𝚞𝚙𝚊𝚒𝚗 𝚟𝚎𝚢..𝚐𝚊𝚔 𝚜𝚎𝚝𝚞𝚓𝚞 𝚔𝚕𝚘 𝚊𝚜𝚝𝚊 𝚜𝚊𝚖𝚊 𝚟𝚎𝚢