Nabil seorang anak berkepala besar
bayu ayahnya menyebutnya anak buto ijo
Sinta ibu bayu menyebuutnya anak pembawa sial
semua jijik pada nabil
kepala besar
tangan kecil
kaki kecil
jalan bungkuk
belum lagi iler suka mengalir di bibirnya
hanya santi yang menyayanginya
suatu ketika nabil kena DBD
bukannya di obati malah di usir dari rumah oleh bayu
saat itulah santi memutsukan untuk meninggalkan bayu
demi nabil
dia bertekad memebesarkan nabil seorang diri
ikuti cerita perjuangn seorang ibu membesarkan anak jenius namun dianggap idiot
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
wawancara
Santi menatap wajah Nabil yang tampak ragu. Ia menggenggam tangan putranya erat. Nabil menoleh, menatap balik sang ibu.
“Bagaimana, Nak? Ibu tidak bisa memutuskan. Ibu tak mau melarang atau menyuruh kamu,” ucap Santi lirih, suaranya bergetar menahan cemas.
“Aku mau, Mah,” jawab Nabil singkat namun mantap.
“Apakah kamu tidak takut?”
“Aku takut... tapi aku harus berubah. Hidup itu harus bergerak, agar bisa disebut hidup,” balas Nabil. Jarinya mengetuk-ngetuk telapak tangannya, kebiasaannya saat gugup.
Santi langsung memeluk Nabil. “Apa pun yang terjadi, Mama akan selalu ada di sampingmu.”
“Iya... Mama pelindungku,” jawab Nabil dengan mata berkaca-kaca.
Keesokan paginya, sebuah mobil bertuliskan "Inspirasi TV" menjemput mereka. Restoran sementara diurus oleh Heru dan Mira. Mira, yang sedang kuliah manajemen bisnis, mengaplikasikan ilmunya dengan baik. Santi bangga melihatnya begitu bisa diandalkan.
Di dalam mobil, Nabil duduk di samping Santi. Ia kembali mengetuk-ngetukkan jarinya—tanda ia sedang gugup.
“Ada empat belokan, tiga lampu merah, di depan gedung ada stasiun kereta, dan halte bus. Tepatnya di sebelah gerbang berlogo Inspirasi TV,” ucap Nabil cepat, tanpa jeda.
“Wah, hebat banget. Saya perlu setahun buat hafal rute itu,” kata sopir sambil terkekeh.
Santi tersenyum, mengusap kepala Nabil lembut.
Sesampainya di stasiun TV, mereka langsung dibawa ke ruang rias. Saat perias mulai menyentuh wajahnya, Nabil tampak gelisah. Santi segera menggenggam tangannya, menyalurkan ketenangan yang hanya bisa diberikan seorang ibu.
Lampu studio menyala terang, memantulkan bayangan gemetar di wajah Nabil. Tangannya masih berada dalam genggaman Santi saat seorang kru memanggil dari pintu masuk.
"Mas Nabil, Bu Santi, silakan masuk. Acara akan dimulai lima menit lagi."
Santi mengangguk dan mencium kening anaknya. "Kamu bisa, Nak. Tidak usah sempurna, cukup jadi dirimu sendiri."
Nabil menelan ludah. Ruangan itu terasa begitu besar dan penuh warna. Di depannya, barisan kamera, lampu sorot, dan penonton yang duduk rapi dalam diam. Ia berjalan pelan, menapaki lantai panggung seperti melintasi dunia asing. Pandangannya terus menelusuri sekeliling, menghitung langkah dalam kepalanya.
"Tiga puluh dua ubin, tujuh sorot lampu, dua kamera kanan, satu kiri... enam belas penonton..."
"Tenang, sayang. Mama di sini," bisik Santi, menyemangati.
Di tengah panggung, ada meja kayu kecil dengan dua kursi dan satu mikrofon. Di atas layar belakang terpampang logo acara: Pelita Hati. Presenter utama, seorang wanita berusia 40-an dengan senyum hangat, menyambut Nabil dan Santi.
“Halo Nabil, halo Ibu Santi. Terima kasih sudah hadir. Nabil, boleh duduk di sini ya,” katanya lembut.
Nabil duduk, punggungnya kaku. Jemarinya mulai mengetuk-ngetuk lutut. Presenter memberi isyarat pada kru. Hitungan mundur dimulai.
"3... 2... 1..."
Musik pembuka mengalun pelan. Kamera menyorot ke arah mereka.
“Selamat datang di Pelita Hati, tempat di mana kisah menjadi cahaya. Hari ini, kita kedatangan tamu istimewa. Seorang anak luar biasa bernama Nabil, yang meski memiliki keterbatasan, menunjukkan keistimewaan yang luar biasa.”
Seorang kru datang membawa sebuah buku tebal—ensiklopedia pengetahuan dunia—lalu menyerahkannya kepada Nabil. Presenter tersenyum, "Ini hadiah spesial untukmu, sayang."
Nabil menerimanya dengan hati-hati, lalu membuka halaman demi halaman dengan gerakan cepat, matanya menelusuri tiap baris tanpa henti.
"Dia sedang membaca?" bisik penonton.
Santi mengangguk pelan. "Begitulah cara Nabil membaca. Dia menyerap informasi seperti menyerap cahaya."
Dalam waktu kurang dari lima menit, Nabil menutup buku itu dan berkata, "Halaman 273 ada tentang tata surya, dan ada kesalahan penulisan di halaman 126." Semua terdiam, terpana.
Presenter mendekat sambil membawa mikrofon. “Nabil, boleh kakak tes isi ensiklopedia yang tadi kamu baca?”
Nabil mengangguk tenang.
“Halaman 82, isinya apa?”
“Jenis-jenis tumbuhan obat. Ada sambiloto, kumis kucing, temulawak, dan jahe merah. Disertai gambar anatomi daun.”
Penonton berdecak kagum.
“Kalau halaman 156?”
“Teori relativitas Einstein. Terdapat rumus E\=mc² dan penjelasan tentang ruang dan waktu.”
Presenter tertawa kecil, kagum. “Kalau halaman yang kamu bilang tadi, 126, salahnya di mana?”
“Penulisan 'oksigen' tertulis ‘oksidan’. Itu istilah yang berbeda.”
Suasana studio hening sejenak, lalu disambut tepuk tangan riuh. Beberapa penonton menitikkan air mata haru.
Santi menatap Nabil dengan mata berkaca. Presenter tersenyum bangga.
“Nabil, kamu anak luar biasa”
Nabil hanya tersenyum kecil, lalu kembali mengetuk-ngetukkan jarinya—tanda dia sedang bahagia.
Presenter menghapus air matanya dengan tisu sebelum menoleh lembut ke arah Santi. “Bunda... bisa ceritakan bagaimana Anda mendidik Nabil selama ini?”
Santi menarik napas panjang. Matanya sempat menatap Nabil yang duduk tenang, lalu beralih kembali ke presenter.
“Saya juga bingung...,” suara Santi bergetar. “Selama ini saya hanya mendengarkan saja saat dia bercerita. Memeluknya saat banyak orang menghina. Menjawab sebisanya saat dia bertanya. Saya bukan siapa-siapa. Saya hanya seorang ibu dari desa kecil... dari keluarga miskin... yang sekolah cuma sampai SMP.”
Santi terdiam sesaat. Matanya mulai berkaca.
“Nabil adalah keajaiban.”
Tangis Santi pecah. Ia menutup mulutnya sejenak, mencoba menahan sesak di dada.
“Saat saya hamil... bapaknya tidak pernah menginginkan dia. Bahkan... saya disuruh menggugurkannya.”
Penonton terdiam, suasana studio sunyi. Hanya terdengar isak pelan dari beberapa arah.
“Selama hamil, tak pernah ada perhatian. Tak pernah periksa USG. Tak ada vitamin. Tak ada susu kehamilan. Hanya saya... dan Tuhan.”
Santi menyeka air mata yang mengalir deras di pipinya.
“Dan hanya keajaiban... yang membuat Nabil bisa bertahan dan lahir ke dunia ini.”
Suaranya mulai lirih. Tapi penuh dengan luka yang nyata.
“Saat saya melahirkan, saya hampir mati. Tidak ada perhatian dari suami atau mertua. Karena saya dianggap aib... karena saya tak berpendidikan. Andai tidak ada Bu Anita dan suaminya, Pak Budi, tetangga saya, mungkin saya dan Nabil sudah tidak ada di dunia ini.”
Beberapa orang di studio menunduk sambil menyeka air mata. Kru kamera pun tampak terdiam, menahan tangis.
“Saat Nabil lahir... tidak ada suara syukur... tidak ada adzan yang menyambut. Tapi justru untuk pertama kali dia lahir ke dunia, Nabil langsung mendapatkan penghinaan. Disebut ‘anak setan’ dan ‘buto ijo’... dan itu bukan dari orang lain. Tapi dari bapaknya sendiri.”
Presenter menutup wajahnya sebentar dengan tangan. Air matanya tak bisa dibendung. Acara yang seharusnya jeda iklan, terus berlanjut karena sutradara pun terdiam dan memberi isyarat agar tidak memotong.
“Saat Nabil berusia lima tahun... dia kena DBD. Dan di saat dia antara hidup dan mati, kami malah diusir dari rumah. Saya ingat malam itu... saya gendong Nabil sambil menangis di pinggir jalan, sambil teriak minta tolong. Dan lagi-lagi, Tuhan kirimkan malaikat tanpa sayap... Pak Budi dan Bu Anita... mereka bawa Nabil ke rumah sakit.”
Santi terdiam, matanya menatap ke langit-langit. Air matanya terus menetes.
“Dan sejak malam itu... saya putuskan. Saya akan berjuang sendiri. Saya tidak akan lagi mengemis cinta dari orang yang bahkan tidak menghargai nyawa anaknya sendiri.”
Santi menunduk, menggenggam tangannya sendiri. Suaranya bergetar saat melanjutkan.
“Hari ini... Nabil membuktikan... bahwa dia bukan beban saya. Dia adalah cahaya hidup saya. Dia adalah alasan saya tetap berdiri, tetap bernapas. Dia bukan kutukan... dia adalah anugerah terindah yang Tuhan titipkan.”
Tangis Santi kembali pecah. Studio sunyi, hanya terdengar isakan dari berbagai sudut ruangan.
“Nabil adalah hidup saya... dia adalah cahaya saya... dia adalah alasan saya tidak menyerah...”
Presenter langsung berdiri dari kursinya dan memeluk Santi erat. Ia tak lagi mampu menahan air mata.
“Bunda... kamu adalah pahlawan sejati. Dan Nabil... adalah hadiah Tuhan untuk dunia ini.”
Penonton berdiri, memberikan tepuk tangan panjang. Sebagian besar menangis. Bahkan beberapa kru di balik layar tampak menghapus air mata.
Dan di tengah semua itu, Nabil duduk tenang, tangannya masih mengetuk-ngetuk pelan, matanya menatap ibunya. Ia mungkin tak sepenuhnya mengerti apa yang terjadi, tapi senyumnya menyala. Ia tahu satu hal: bahwa ia dicintai, dan ibunya telah berjuang lebih dari siapa pun.
Hari itu, bukan hanya kisah seorang anak yang dianggap cacat menginspirasi dunia. Tapi juga kisah cinta seorang ibu—cinta tanpa syarat, yang bertahan melewati hinaan, kemiskinan, dan kematian.
...
Di tempat lain, suara "Brakkkk!" menggema saat Bayu menendang televisi hingga jatuh. Wajahnya merah padam, matanya membelalak penuh amarah. "Akan kubunuh si Santi itu!" teriaknya geram, tangannya mengepal, napasnya memburu seperti binatang buas yang terluka harga dirinya.
mantap sekali bu laras..😘😘😘
yukk lanjut thor