Jenar dan Gena bertemu di Pantai Pangandaran. Mereka sedang terluka hatinya dan saling menyembuhkan satu sama lain. Namun di hari terakhir Gena mendengar pembicaraan Jenar dan sahabatnya di telepon. Jenar mengatakan bahwa Ia hany mengisi hatinya dan tidak menganggap serius. Gena sakit hati karena Ia menyukai Jenar. Pergi tanpa mengatakan apapun. Jenar merasa juga dibodohi Gena. Lalu memang takdir tak bisa ditolak, Kakak mereka jodoh satu sama lain dan akan menikah mereka diperkenalkan sebulan sebelum pernikahan sebagai calon ipar. Walaupun saling membenci, mereka tahu bahwa ini demi kebahagian Kakak yang mereka sayangi. Berpura-pura tidak saling mengenal. Tanpa berkata apapun. Sembilan bulan kemudian saat musibah terjadi, saat Kakak mereka kecelakaan dan meninggalkan seorang bayi. Mereka mau tidak mau harus bersama, mengurus keponakan mereka. Dan saat itulah cinta mereka bersemi kembali. Apakah ini sebuah takdir dengan akhir bahagia atau hanya luka lama yang terbuka lagi? -You Never Know What Happen Next-
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15 - Kehidupan Dengan Jihan
Sinar mentari menelisik melalui celah-celah tirai. Biasnya memantul ke wajah seorang gadis yang tengah terlelap, membuat kelopak mata gadis itu perlahan mengerjap dan terbuka.
Jenar mengumpulkan nyawa sejenak. Hal pertama yang ia lihat adalah langit-langit kamar berwarna putih tulang. Ia merenggangkan badannya ke kiri dan kanan untuk mengusir penat. Ada hal yang baru Jenar sadari. Yaitu ... Jihan tidak ada di sisi ranjang sebelahnya. Detik itu juga Jenar bangkit ke posisi duduk. Jantungnya bergemeretak tak beraturan.
“Jihan!” kaget jenar.
Turun dari ranjang, ia cari-cari keberadaan Jihan. Tujuan pertamanya saat ini adalah Gena.
“Gena! Gena!” panggil Jenar panik.
Gena tidak ada di kamarnya. Di ruang tamu juga tidak ada. Namun saat ia pergi ke halaman belakang, ternyata di sana Gena terlihat sedang menggendong Jihan sambil menghadap ke mentari pagi.
Jenar menghela napas lega. Jantungnya hampir copot saat tahu Jihan tidak di sisinya.
Menetralkan deru napasnya, ia hampiri Gena hingga membuat lelaki itu menoleh seraya tersenyum.
“Udah bangun kamu? Belum cuci muka ya?”
Jenar menggeleng seraya mengucek mata. Ah, bareface Jenar sangat cantik. Walau ada belekan di matanya, tetap tidak mengurangi kadar kecantikan perempuan itu. Gena tersipu malu, buru-buru mengalihkan pandangan ke arah lain agar tidak ketahuan memuji Jenar dalam diam.
“Cuci dulu mukanya. Biar segar,” suruh Gena.
“Aku pikir tadi Jihan hilang. Kaget dia nggak ada di kamar,” adu Jenar dengan suara khas bangun tidur.
“Tadi aku kebetulan bangun lebih cepat pas dengar tangisan Jihan. Aku ketuk pintu kamu, kamunya lagi tidur. Jadi aku buka pelan-pelan kamar kamu terus ambil Jihan. Maaf, ya, kesannya nggak sopan. Tapi Jihan butuh ditenangin. Udah waktunya mandi pagi sama minum susu juga,” papar Gena agar tidak terjadi kesalah pahaman antara mereka.
Jenar mengerti, jadi ia hanya mengangguk seraya tersenyum. “Makasih ya?”
“Ini juga tugas aku, kok. Jangan bilang makasih,” sahut Gena lembut.
Dada Jenar bergetar menerima perlakuan halus itu. Apalagi sewaktu Gena mengacak-acak rambutnya dengan sebelah tangan. Tidak disangka hal itu membuat pipi Jenar memerah.
“Sana cuci muka, terus sarapan. Tadi aku sempat bikin roti bakar buat sarapan kita sebelum Jihan bangun.”
Mendengar hal itu membuat Jenar berkaca-kaca. Belakangan ini ia memang telat makan karena mengurus Jihan. Siapa sangka pagi ini ada seseorang yang membuatkannya sarapan?
“Kamu nggak capek jagain Jihan sekaligus masak gitu? Aku minta maaf... maaf karena bikin kamu repot,” kata Jenar merasa bersalah.
“Udah, gapapa. Yang penting kita kerja sama aja ngurus kerjaan rumah dan mengasuh Jihan. Aku yakin kita bisa lalui ini bareng-bareng.”
Mudah sekali Jenar merasa terharu dengan perhatian yang Gena berikan. Belakangan perasaannya rapuh. Jenar sangat mudah menangis hanya karena masalah sepele.
“Kalau gitu aku mandi sama sarapan dulu. Nanti kita gantian ngasuh Jihan,” kata Jenar, yang langsung diangguki oleh Gena.
Dan setelahnya Jenar kembali masuk ke dalam rumah untuk memulai ritual paginya. Setelah selesai mencuci muka dan menggosok gigi, barulah Jenar turun ke meja makan untuk menyantap sarapan buatan Gena.
Jenar menghela napas berat saat menyuap roti itu ke mulut. Roti ini mengingatkannya dengan Leknor. Sebelum kakaknya itu meninggal, Leknor sering membawakan roti panggang untuk bekal Jenar di kantor. Kata Leknor, Astri yang membuatkannya. Dan ternyata rasa roti ini sama persis dengan roti yang biasa Jenar makan di kantor.
Saat air mata itu tumpah lagi, Jenar segera seka. Ia menggeleng samar, mengusir jauh-jauh perasaan sedihnya agar tidak merepotkan Gena. Jenar tahu kehidupan akan terus berlanjut tanpa memandang kesedihan yang ia alami. Untuk itu, Jenar akan mencoba menguatkan diri.
Meski tidak mudah, akan terus ia coba. Jika Gena saja bisa, lantas kenapa ia tidak? Jenar tidak ingin Jihan malu memiliki tante cengeng sepertinya ....
Jenar dan Gena duduk di sofa ruang tamu seraya memandangi Jihan yang tengah tertidur pulas di kasur bayi. Mereka sengaja memindahkan bayi itu ke ruang tamu agar mudah mengawasinya.
Jihan sudah minum susu, sudah mandi, sudah pula diajak berjemur oleh Gena. Lelaki itu mengurus Jenar dan Jihan dengan sangat baik. Perasaan Jenar jauh lebih tenang karena ada Gena bersama mereka.
“Kamu nggak berangkat ke kafe?” Jenar bertanya pelan, takut suara mereka membangunkan Jihan.
“Aku udah serahin kafe ke teman aku, Fadlan. Ya ... minimal sampai kamu terbiasa mengasuh Jihan. Soal pekerjaan gampang lah itu. Bisa lewat laptop,” kata Gena menuturkan.
“Aku banyak repotin kamu ya?”
Gena menarik napas dalam-dalam. Ia genggam jemari halus dan hangat milik Jenar, lantas ia tautkan dengan jemarinya. Jujur, keduanya nyaman berada di posisi ini. Serasa kenangan mereka di pantai itu berputar kembali, hadir tanpa ingatan yang buruk-buruk tentang kesalah pahaman hari itu.
“Je, biasain mikir positif. Aku sama sekali enggak keberatan mengasuh Jihan karena Jihan itu keponakan kandung aku. Dia peninggalan Kak Astri satu-satunya yang harus aku jaga. Jadi, kamu jangan meminta maaf dan ngerasa enggak enakan lagi. Aku nggak suka dengarnya,” sanggah Gena.
“Ya, aku tau udah sering minta maaf sama kamu. Aku ngerasa hancur, Gen. Aku belum biasa nerima kondisi ini,” kata Jenar, matanya kembali berkaca-kaca.
Maka langsung Gena rangkul pinggang Jenar, kemudian memeluk tubuh itu dari samping. Jenar menerima pelukan Gena dengan senang hati. Ia memejamkan mata, mencari-cari dada bidang Gena untuk membenamkan wajahnya.
Niat awal hanya untuk menenangkan Jenar. Tapi, nyatanya sudah lebih lima belas menit, mereka belum juga mau melepaskan diri. Pelukan ini terlalu nyaman untuk mereka. Rasanya menentramkan, menggetarkan perasaan dan tentunya membuat pipi keduanya semakin memanas.
Jenar mendongakkan wajahnya dengan sengaja, membuat Gena menunduk hingga kini tatapan mereka bertemu di udara. Dua pasang pupil mata indah itu saling menatap. Binar-binar asmara yang telah lama terpendam itu hadir kembali. Makin lama ditatap, makin memerah pula wajah mereka. Sampai akhirnya mereka berdua sama-sama senyum karena tidak tahan melihat wajah masing-masing.
Jenar cantik. Dadaku selalu berdebar-debar saat melihat senyumnya. Rasanya masih sama seperti setahun lalu sewaktu kami bertemu pertama kalinya ....
Sampai saat ini dia nggak ngasih keterangan apa pun soal kejadian di pantai waktu itu. Jenar mainin perasaan aku. Dan sekarang aku kembali terjebak bersamanya lewat Jihan.
Gena berujar dalam hati. Rasa bencinya pada Jenar akibat kejadian lampau perlahan mulai melebur seiringan kebersamaan mereka mengasuh Jihan.
Keduanya terbawa suasana. Makin dekat wajah mereka, terbesit pikiran yang sedikit liar saat menatap bibir masing-masing. Dari tatapan itu, jelas mereka sama-sama ‘ingin’. Mereka pernah mencobanya sekali sewaktu di penginapan kala itu. Dan kini ingin mencobanya lagi.
Maka Gena mendekatkan bibirnya tanpa permisi pada Jenar, yang langsung disambut Jenar dengan pejaman mata.
Satu detik ... dua detik ... saat bibir mereka nyaris bertemu, suara tangis Jihan langsung membuyarkan segalanya. Gena dan Jenar buru-buru menjauhkan diri. Tanpa disadari, pipi mereka sama-sama merah. Keduanya tersenyum malu sambil mengalihkan wajah ke arah lain.
Dasar Jihan. Bayi itu seolah tidak bisa diajak bekerja sama...
hanya mengisi kekosongan dan move on.
siapun pasti kesal dengarnya.
cinta atau obsesi
😇😇😇