Kisah CEO dingin dan galak, memiliki sekretaris yang sedikit barbar, berani dan ceplas-ceplos. Mereka sering terlibat perdebatan. Tapi sama-sama pernah dikecewakan oleh pasangan masing-masing di masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Favreaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 11
"Elena, kamu ke ruangan saya!" Alvaro memanggil Elena via Intercom.
"Tapi pak, saya se-"
"Sekarang!"
Elena kembali meletakkan gagang telepon ke tempatnya sembari membuat gerakan menonjok.
"Dasar bos semena-mena. Katanya tadi gue disuruh cepet-cepet ngerjain laporan ini. Sekarang malah disuruh ke ruangannya. Gimana bisa cepet selesai kerjaan gue!" sambil menggerutu gadis itu berdiri dari duduknya, lalu melangkah ke ruangan Alvaro.
"Ada apa sih pak, say-"
"Elena!"
"Maaf..."
Elena berlari ke arah Alvaro dan menggosok-gosok jas lelaki itu yang ketumpahan kopi dengan tangannya.
Alvaro akan menyeruput kopinya, saat Elena masuk tiba-tiba dan lupa mengetuk pintu.
"Astaga Elena, stop! Lihat jas saya tambah kotor!" Lelaki itu berteriak dan membeliak marah.
"Kenapa tidak ketuk pintu dulu?"
"Maaf, saya lupa! Lagian tadi bapak nyuruh saya cepat-cepat kesini. Mana tahu kedatangan saya membuat bapak kaget." Elena mendelik dengan ekor matanya.
Alvaro membuka jasnya dan memberikan pada gadis itu.
"Saya tidak mau tahu, kamu pergi ke apartemen saya dan bawakan jas pengganti, sekarang!"
"Tapi bukannya 1 setengah jam lagi anda ada meeting di luar? Apa keburu kalau saya bawa salin ke apartemen bapak terus ke sini lagi? Malah nanti makan waktu. Lebih baik anda pulang dulu, nanti dari sana langsung ke tempat meeting," dengan polosnya Elena memberi saran. Tidak sadar kalau wajah bosnya sudah menggelap.
"Jadi sekarang kamu boleh mengatur saya?" pria itu melotot. Elena baru sadar dan cengengesan, menampilkan beresan gigi putihnya yang rapih.
"Maaf! Tapi bapak jangan sering marah-marah, nanti wajahnya cepet keriput, pak."
Elena menipiskan bibirnya saat mata elang sang bos semakin tajam menyorot padanya.
"Iya baiklah, tapi memangnya anda tidak takut, bagaimana kalau saya seorang pencuri dan barang-barang berharga anda hilang?"
Wajah Alvaro mendekat ke arah Elena, "Saya tidak akan menjebloskanmu ke penjara, tapi akan langsung ke kandang harimau!"
"Hehe selera humor anda sangat tinggi juga ya, pak boss."
"Tidak ada gunanya bercanda denganmu! Buang-buang waktu saja."
Elena mencebik. Tapi dia sempat grogi juga saat ditatap sedekat itu oleh lelaki berwajah angker tapi tampan.
"Angker tapi tampan? Gimana sih gue? Lagian, kenapa gue jadi grogi gini? Ya Tuhan, bisa tambah besar kepala dia" Elena memejam mata sambil mengutuk dirinya dalam hati.
"Kamu mau melakukan perintah saya atau tugas-tugasmu saya tambah dan harus selesai sekarang?"
"Terus pekerjaan saya gimana? Anda bilang harus selesai secepatnya?"
Wajah lelaki itu kembali menjauh, tapi jari-jari panjangnya mulai membuka kancing kemejanya satu-persatu. Melihat itu, Elena melotot, tak berani lagi membantah. Dia cepat-cepat kabur dari ruangan sang bos. Menyisakan senyum tipis di bibir Alvaro, melihat usahanya berhasil membungkam mulut cerewetnya. Lalu jemari lelaki itu mengancingkan kembali kancing kemeja yang sudah terlepas tadi.
***
"Pak Erwin, memangnya pak Alvaro belum punya istri gitu? Kenapa harus saya yang datang ke apartemennya. Padahal saya lagi banyak kerjaan. Bos gak beradab emang." Sepanjang perjalanan menuju apartemen Alvaro, Elena terus mengoceh, sesekali curhat colongan juga. Erwin, supir pribadi Alvaro hanya senyam-senyum mendengar cuitan kesal dari bibir gadis itu.
"Kalau pak Alvaro sudah menyuruh kita, itu tandanya beliau mempercayai kita, mbak." Jawab bijak Erwin. Elena mengerutkan kening.
"Emang iya? Bukannya dia memang senang membuat orang susah?" Cibir Elena dan ditimpali kekehan Erwin.
"Tapi, mana ada sih cewek yang mau jadi pasangan dia. Orangnya menyeramkan, tapi.."
"Tapi apa mbak?"
"Ganteng sih. Cuma kalau saya diminta jadi pasangannya, ogah banget! Bisa jantungan tiap hari saya." Bibir Elena misah-misuh persis emak-emak yang lagi bergosip. Tapi lagi-lagi mengundang kekehan Erwin. Hingga akhirnya mobil itu sampai di salah satu gedung apartemen termewah di Jakarta.
Elena segera turun dan naik ke lantai teratas gedung apartemen itu dengan menggunakan akses yang diberikan Alvaro.
"Eh, ada istrinya gak ya? Tadi pak Erwin belum sempat jawab. Tapi penasaran juga sih, secantik apa istrinya? Kiara juga dikit banget kasih info pribadi tentang dia."
Elena masih betah bertanya-tanya dalam hati yang sama sekali tak mendapatkan jawabannya. Sampai akhirnya tiba di sebuah unit terbesar dan termewah menurut penglihatannya.
"Busyet, dari luar aja tampilannya udah keren gini, apalagi di bagian dalamnya."
Sejenak Elena celingak celinguk. "Dikit banget ya unitnya? Mungkin saking ekslusifnya kali ya? Berapa ya kira-kira nyewa di tempat ini?"
Masih saja bertanya-tanya dalam hati, udah tau tak akan dapetin jawabannya.
Menyadari itu, dia tertawa dalam hati sambil garuk-garuk tengkuknya yang tak gatal. Lalu tangannya terulur untuk memencet bel.
Tidak lama pintu terbuka. Seorang perempuan berpakaian rapih dengan rambut yang juga dicepol rapi, berdiri di hadapan Elena, diambang pintu.
"Anda nona Elena?" Elena mengangguk. "Silahkan ikuti saya!"
Tanpa senyum tapi tak mengurangi kesopanannya yang juga terlihat tegas, mendahului melangkah kembali ke dalam dan Elena mengekor di belakangnya. Tentu saja gadis itu tak bisa membuat bola matanya tidak berputar. Pancaran wajah serta binar mata Elena, tak bisa menutupi kekagumannya pada struktur bangunan yang memiliki nilai seni tinggi itu. juga seluruh furniturnya yang sangat pas dalam pemilihan jenis dan warna. Hampir saja Elena menubruk tubuh wanita di depannya saat wanita itu berhenti mendadak. Rupanya mereka sudah sampai di depan sebuah pintu raksasa yang kokoh, bercat putih. Wanita itu membuka pintunya. Wangi aroma citrus campuran woody dan mint, menguar menyesaki hidungnya, dari dalam kamar yang luasnya menyamai aula di tempat kuliahnya dulu. Bahkan mungkin ini lebih luas.
Elena masih mengikuti langkah wanita itu. decak kekaguman tak lepas dari sorot matanya ketika di dalam ruangan kamar ini pun penuh dengan lambang kemewahan. Mereka tiba di ruang wadrobe. Disini semua tertata sangat rapi, seperti tak ada satu tangan pun yang menjamah benda-benda di sini. Bahkan debu pun seperti enggan mendekat.
"Silahkan nona, ini lemari khusus jas-jas milik tuan Alvaro."
Elena terkejut mendengar suara wanita itu,. Elena saja karena pikirannya sedang asyik sendiri. Mungkin sedang menghitung, semua harga barang-barang branded dan mewah yang ada di sini.
"Oh i-iya nyonya." Elena tergagap.
"Jangan panggil saya nyonya, tapi mrs. Gracia." Jawabnya tegas.
"Dih, sama aja kali mrs dan nyonya." Gerutu Elena, masih dalam hati.
Wanita itu sudah membuka lemari besar itu. dan isinya membuat mata Elena terbelalak. Begitu banyak jas formal dan mahal, tergantung di lemari itu. sejenak dia hanya bisa terpaku menatap semua yang ada di depan matanya.
"Silahkan, tuan sangat tidak suka menunggu lama." Tegur wanita itu, membuyarkan lamunan Elena.
"Ta- tapi saya bingung, mrs. Gracia. Kira-kira ada rekomendasi tidak, jas mana yang harus saya ambil?"
Tentu saja Elena bingung, karena selama ini dia bukan pengamat mode yang baik. Selera mode nya juga bukan selera mode yang berkelas. Apalagi dia baru memakai pakaian-pakaian bagus setelah diajari Kiara.
Tanpa bicara, wanita yang usianya di kisaran 40 an itu langsung mengambil salah satu jas terbaik dengan warna yang senada dengan jas Alvaro yang tadi ketumpahan kopi. Elena bernapas lega. Setelah itu mereka segera kembali keluar dari kamar mewah itu. Setelah mengucapkan terimakasih, Elena segera berpamitan untuk kembali ke kantor.
Sementara di kantornya, Alvaro hanya senyam-senyum sendiri menyaksikan tingkah laku dan ucapan Elena, semenjak di dalam mobil sampai di panthousenya.
Rupanya lelaki itu sudah menempatkan kamera canggih tersembunyi di setiap tempat dan juga di dalam mobil-mobil mewahnya.
***
Rian datang ke rumah orangtuanya. Meski merasa malu dan khawatir, dia tetap memberanikan diri datang. Tujuannya apalagi selain ingin meminjam uang mereka.
"Mana ada mama, uang sebanyak itu, Ian." Kata Arum, sang ibu. Sementara Bayu, ayah Rian hanya diam sambil memainkan ponselnya.
"Ma please, tolongin aku, kalau minggu ini tidak lunas, aku akan diseret ke penjara!" Rian merengek seperti anak kecil.
"Kenapa tidak minta sama keluarganya Nadia? Bukankah mereka sudah berjanji akan menanggung seluruh sisa pembayarannya?" dengus sinis Arum. "Dasar orang kere, tapi belagu! Kamu juga seleranya rendah! Kenapa harus selalu berhubungan dengan orang-orang seperti mereka. Dulu sama Elena yang yatim piatu dan numpang hidup di rumah orang. Sekarang si Nadia yang tidak jauh beda. Makanya kalau punya 'senjata' tuh dijaga baik-baik, jangan asal celup! Jadinya begini kan?" Arum tetap sewot. Meskipun dia masih punya uang simpanan, tapi rasanya tidak rela jika harus dipakai untuk membayar tagihan itu. Dasar wanita pelit, padahal itu kan untuk biaya nikahan anaknya sendiri!
"Mereka tidak punya uang mah. Hasil amplop juga gak nyampe sepuluh juta. Itupun sudah terpakai untuk kekurangan ini itu saat menikah. Mama tahu sendiri kan, tamu-tamu yang datang tidak sampai setengahnya setengahnya dari undangan? Mereka seperti memboikot penikahan itu." jawab Rian. Membuat Arum geram saat teringat lagi peristiwa itu. Sungguh dia sangat malu saat teman-teman arisannya menanyakan sebab itu.
"Memangnya berapa lagi yang harus dibayar?"
"Kurang lebih 100 mah."
Mata Arum melotot seperti ingin keluar dari porosnya. Begitupun mulutnya, menganga seperti seekor buaya yang tengah menunggu lalat masuk ke mulutnya.
"MANA ADA MAMA, UANG SEGITU!" akhirnya terdengar juga teriakan dari mulut Arum.
diselingkuhi sama tunangannya gak bikin FL nya nangis sampe mewek² tapi malah tetep tegar/Kiss/
calvin selingkuh sama pacar bos nya hanya karena nafsu, si rian juga sama selingkuh dan hamilin sepupunya elena.