Haii…
Jadi gini ya, gue tuh gay. Dari lahir. Udah bawaan orok, gitu lho. Tapi tenang, ini bukan drama sinetron yang harus disembuhin segala macem.
Soalnya menurut Mama gue—yang jujur aja lebih shining daripada lampu LED 12 watt—gue ini normal. Yup, normal kaya orang lainnya. Katanya, jadi gay itu bukan penyakit, bukan kutukan, bukan pula karma gara-gara lupa buang sampah pada tempatnya.
Mama bilang, gue itu istimewa. Bukan aneh. Bukan error sistem. Tapi emang beda aja. Beda yang bukan buat dihakimi, tapi buat dirayain.
So… yaudah. Inilah gue. Yang suka cowok. Yang suka ketawa ngakak pas nonton stand-up. Yang kadang galau, tapi juga bisa sayang sepenuh hati. Gue emang beda, tapi bukan salah.
Karena beda itu bukan dosa. Beda itu warna. Dan gue? Gue pelangi di langit hidup gue sendiri.
Kalau lo ngerasa kayak gue juga, peluk jauh dari gue. Lo gak sendirian. Dan yang pasti, lo gak salah.
Lo cuma... istimewa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zoe.vyhxx, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
terpuruk
"Kian" panggil anvita di balik pintu.
Sang mama kembali mengetuk pintu kamar kian . Ia merasa anaknya bertindak aneh sejak pulang dari sekolah.
"Mama masuk ya" Anvita pelan-pelan duduk di pinggir ranjang
Dibalik selimut tebal. Kian meringkuk dibawahnya. Anvita yang melihat kondisi sang anak kembali teringat saat kian dipukuli habis habisan oleh ayahnya. " Kian. " Panggilnya lagi.
Kian menoleh kearah sang mama. Mata sembab dan suara terisak. "Mama. Besok aku gasekolah dulu ya"
Anvita mengangguk. "kenapa ?" tanyanya pelan. "ada yang ngebully kamu lagi? "
"Apa mau pindah sekolah juga?" Tanya anvita memastikan.
Kian menggeleng cepat.
" Kian masih suka sama om ganteng?" Tanya anvita
"Iya ma. Hiks. Suka banget"
"Hmm.." anvita mengangguk." Apa yang anak mama sukai dari om ganteng?"
Dengan tatapan polos. Anvita menunggu jawaban kian . "Wajahnya ganteng" lirih kian.
"Ap-?" anvita tidak bisa berkata kata lagi
"Wajahnya ganteng mama" rengek kian mengulang perkataannya.
"Terus?"
Kian kembali menggunakan otak kecilnya. "Mmm.." dengan polosnya ia menggunakan otak kecilnya untuk berpikir.
Anvita tersenyum. Ia peluk tubuh sang anak dengan hangat. " Tenang. Kan kian belum tahu sifatnya om ganteng. Namanya perasaan, Gak bisa dipaksa. Pelan-pelan aja. Jangan buru-buru.”
Kian mengangguk. Anvita menatap mata bening polos itu penuh kasih sayang. " Nanti kalau dipaksain, malah jadi gabaik." Ucapnya sambil mengelus rambut kian yang halus
Kian paham. " Jadi aku harus gimana ma?"
Anvita menangkup pipi kian dan mencium dahi sang anak. " Pelan pelan aja. Masih banyak waktu. Kasih tau om ganteng pelan pelan. Nanti, kalau kian udah jujur sama perasaan yang kian punya. Dan om ganteng nolak kian. Bilang sama mama ya. "
Kian beranjak "terus mama mau apain om ganteng? Jangan dipukul lho" cegah kian
"hehe. Enggak dong"
Dengan tenang anvita melanjutkan. " Masih ada mama sayang. Kalau kian nikah cepet cepet. Terus mama sama siapa ? Hmm?" goda Anvita sambil nyubit pipi anaknya.
"jangan nikah dulu. Seneng seneng dulu sama mama ,. Ngerti?"
"iyaaa"
"Oh iya. Tadi siang kenapa pulang sekolah ga langsung makan?" Tanya mama penasaran.
Seperti terulang kembali. Kian mengingat kejadian sewaktu bertemu dengan dua orang bawahan Jeevan.
"Tadi aku ketemu sama asistennya om ganteng ma" lirihnya
Anvita masih diam untuk tetap mendengarkan kalimat kian yang masih menggantung.
"Terus kakaknya tadi itu bilang. Katanya om ganteng risih sama aku" lanjutnya.
"Tapi emangnya bener ya? "
Perasaan sakit terhadap kepolosan kian dapat anvita rasakan. Tabiat asisten Jeevan memang buruk sejak pagi tadi berkunjung kerumahnya. Namun ia tak mau kian sampai tahu masalah itu. Buat apa? Toh sudah dibalas sama Bu intan.
"Jangan didengerin. Om Jeevan itu baik. Kalau dia risih atau gasuka sama kian. Dia bakal ngomong sendiri ke mama gak pakai perantara."
"Dan juga. Om Jeevan gabilang itu sendiri kan ?" Kata anvita meyakinkan kegelisahan kian.
Sambil berdiri anvita bersedekap dengan mata menyipit " Lagian ya. Si mbak mbak itu kan kayaknya kalo diliat emang suka sama om Jeevan." Ia dapat melihat mata kian seperti menguarkan aura permusuhan.
"jadii?" kian bertanya
" Jadi anak mama mau nyerah nih?" Tantang anvita.
"Tapi aku udah nembak om Jeevan mama" rengek kian kembali.
Hah!! Anvita terkejut. Dengan mimik muka kaget, anvita memegang kedua pundak kian "terus?"
"Aku minta dinikahin sama om ganteng. Terus dia bilang sekolah dulu yang bener . Sampai lulus terus disuruh kerja dulu sampai sukses" tuturnya jujur.
" O- oh " anvita ingin tertawa rasanya. Tak habis pikir sepolos itu anaknya. Astagaaa..
"Oke. Semua sudah clear, makan dulu yuk. Mama udah buatin opor kesukaan kian lho."
"Mama. Punya nomernya om ganteng kan?"
"Punya dong. Kenapa?"
"Telpon ma. Kian kangen. Pesan Kian ga pernah dibales"
"Nanti . Makan dulu"
" Okeyyy" .
......................
.
.
Sementara di tempat lain, Jeevan duduk di meja kerjanya, menunduk di depan layar laptop. Dengan Lampu ruangan yang agak redup. bukan karena dia mau kerja lembur. Dia cuma... gak bisa tidur.
Sebuah pesan belum dibaca tertera di ponselnya.
"Om Ganteng, Kian kangen. Jangan lupa janji ya. Nanti kalau Kian udah sukses, kita nikah ya."
Sudah berapa lama ia merasakan hal yang menggetarkan hatinya mengendap lagi. Jeevan terdiam dan terulas senyum. Pesan beruntun tak pernah dia balas sedikitpun. Bukan karena benci. Tapi karena... dia gak tahu harus gimana.
Bawahannya, yang tadi siang mampir ke rumah Anvita tanpa izin, menelepon.
“pak Jeevan, maafkan saya soal tadi. saya cuma... khawatir sama image perusahaan. Maksudku, anak kecil nembak bos besar kayak pak Jeevan, itu bisa jadi bahan gosip.” bian was was dengan apa yang ia katakan.
Iyaa... Darel mengatakan apa yang tengah bian lakukan sewaktu dirinya tidak ada dikantor. Pergi kerumah kian tanpa sepengetahuan dirinya. Terlebih lagi kalimat yang bian lontarkan. Sungguh. Awalnya Jeevan bodoamat. Tapi kalau begini terus, yang ada orang lain akan ikut campur dengan urusan pribadinya.
Jeevan mendengus pelan. “kamu pikir saya takut sama gosip?”
“Bukan gitu pak Tapi... Kian tuh cowok. Dan dia udah terang-terangan bilang suka. Semua orang di kantor pada mulai bisik-bisik, pak.” jelas bian merasa kalau tindakannya benar.
Jeevan berdiri, wajahnya datar tapi tegas. Sembari menatap lampu lampu terang dimalam hari. Ia sedikit menaikkan intonasi nada bicaranya. “saya gak peduli. Kian itu anak kecil. Dia gak ngerti apa itu ‘cinta’ kayak yang kalian pikirin. Dia anak baik. Dan kalau saya harus menjaga dia dari semua omongan orang, saya bakal lakuin.”
Bawahannya langsung terdiam. Cuek Jeevan memang sudah jadi ciri khas, tapi kalau udah bawa-bawa nama Kian... dia jadi protektif banget.
.
......................
.
Di rumah, Kian lagi ngaduk opor sambil senyum-senyum sendiri.
“Ma. Nanti kalau aku udah gede, aku bakal kerja di kantor om ganteng, ya?”
Anvita ketawa. “Kian yakin? Kantor itu isinya orang serius semua lho. Kian kuat?”
“Yakin dong! Biar deket sama om ganteng tiap hari.”
Anvita diam sesaat. Dia tahu betapa polos dan tulusnya cinta anaknya. Tapi dunia ini gak selalu bisa sebaik itu. Dia tarik napas pelan, lalu tersenyum. “Yaudah. Kalau gitu, mulai besok... mama mau liat semangat belajarnya anak mama, yang katanya pengen sukses dulu sebelum nikah.”
“Oke!” seru Kian semangat.
Tapi di sudut matanya, masih ada rasa ragu. Kata-kata dari asistennya Jeevan masih seperti hantu yang mondar-mandir di kepalanya.
Dan jauh di lubuk hati Jeevan sendiri, dia sadar… hubungan ini gak bakal selamanya bisa dikasih label ‘lucu’ atau ‘anak kecil’. Waktu akan terus berjalan. Kian akan tumbuh. Dan perasaan itu… bisa menjadi semakin kenyataan
.
.
.
...****************...