Sejak balapan berdarah itu, dunia mulai mengenal Aylin. Bukan sekadar pembalap jalanan berbakat, tapi sebagai keturunan intel legendaris yang pernah ditakuti di dunia terang dan gelap. Lelaki yang menghilang membawa rahasia besar—bukti kejahatan yang bisa meruntuhkan dua dunia sekaligus. Dan kini, hanya Aylin yang bisa membuka aksesnya.
Saat identitas Aylin terkuak, hidupnya berubah. Ia jadi target. Diburu oleh mereka yang ingin menguasai atau melenyapkannya. Dan di tengah badai itu, ia hanya bisa bergantung pada satu orang—suaminya, Akay.
Namun, bagaimana jika masa lalu keluarga Akay ternyata berperan dalam hilangnya kakek Aylin? Mampukah cinta mereka bertahan saat masa lalu yang kelam mulai menyeret mereka ke dalam lintasan berbahaya yang sama?
Aksi penuh adrenalin, intrik dunia bawah, dan cinta yang diuji.
Bersiaplah untuk menembus "LINTASAN KEDUA"—tempat di mana cinta dan bahaya berjalan beriringan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Wajah Kedua
Aylin memeluk lututnya di atas ranjang, membiarkan keheningan malam menelan semua suara, kecuali detak jantungnya sendiri. Pikirannya melayang ke liontin yang ia temukan di brankas tersembunyi di kamar neneknya.
"Kenapa brankas itu bisa terbuka pakai sidik jariku?" pikir Aylin.
"Apa itu berarti kakek memang sudah merencanakan semuanya dari awal?"
Liontin itu berbentuk bintang. Di dalamnya, sebuah bola kaca kecil berkilau dengan efek glow in the dark—seperti galaksi mini yang perlahan berputar, menyimpan semesta dalam senyap.
Dengan hati-hati, Aylin membuka laci nakas yang terkunci. Ia menarik keluar sepotong kain bludru, dan membukanya perlahan. Liontin itu kini kembali berada dalam genggamannya—dingin, seolah menyerap semua kehangatan dari tangannya.
"Apa aku harus kasih tahu Akay?" bisiknya pelan.
Namun ingatannya datang seperti hantaman—Akay yang berdiri di antara bahaya dan dirinya, menahan luka demi membuatnya selamat. Luka itu memang tak merenggut nyawa Akay, tapi cukup untuk mengoyak tenangnya.
"Gimana bisa aku seret dia lagi ke dalam semua ini? Lelaki yang aku cintai, yang bahkan tanpa ragu berdiri di antara aku dan bahaya, meski dia nggak tahu apa-apa..."
Aylin menatap liontin itu lama. Jari-jarinya mengusap permukaannya yang halus, hampir ragu untuk melepaskannya.
"Aku tahu dia bisa bantu. Akay selalu tahu harus apa, selalu ada saat aku butuh, bahkan saat aku sendiri nggak yakin."
"Tapi justru itu yang bikin semuanya makin berat."
"Kalau semua ini beneran soal dunia terang dan gelap... aku nggak bisa egois. Nggak bisa narik dia ke dalam bahaya yang belum tentu bisa kami keluarin bareng," gumamnya, suaranya pelan, seperti tercekat oleh rasa bersalah yang tumbuh makin tajam.
Ia menutup liontin itu dalam kotak kecil, lalu menguncinya kembali di dalam laci. Tapi hatinya tetap tak tenang. Ada sesuatu yang terasa salah. Seperti bahaya sedang mendekat—dan waktu mereka nyaris habis.
Matanya kembali melirik ke arah laci. Tangannya menggenggam kunci kecil dengan erat, jemarinya gemetar.
"Aku nggak bisa terus kayak gini," desisnya pelan, tapi penuh tekad.
"Cepat atau lambat, liontin ini pasti akan menarik perhatian mereka… atau mungkin, mereka sudah mulai mencarinya sekarang. Kalau mereka datang ke sini…”
Ia bangkit berdiri. Napasnya mulai teratur, meski hatinya tetap waspada. Pandangannya menajam, tidak lagi sekadar cemas—tapi penuh perhitungan.
“Kalau aku bisa bikin duplikatnya... setidaknya bisa bikin mereka salah langkah. Itu bisa ngasih aku waktu—waktu buat bersiap, bukan cuma bersembunyi.”
Wajahnya menegang, tapi matanya menyala dengan tekad. Ia tahu persis tempat neneknya dulu memesan perhiasan. Bengkel kecil, terpencil, dan hanya dikenal oleh sedikit orang.
"Mungkin... dia masih ada di sana."
Dengan cepat, Aylin mengambil liontin itu dari dalam laci dan memasukkannya ke dalam saku jaket.
Namun langkahnya terhenti ketika sudah berada di depan pintu apartemen.
Tiba-tiba, firasatnya menegang. Ada yang mengganggu pikirannya—seperti helai benang yang tersangkut di sudut memori.
"Kalau liontin ini menyimpan rahasia besar… dan seseorang melihatnya…"
"Bukankah itu berarti jejakku bisa mulai ditelusuri dari sekarang?"
Ia menatap liontin kecil di telapak tangannya. Cahaya redup dari galaksi di dalamnya terasa begitu memikat—dan berbahaya.
"Barang sekecil ini… bisa saja mengundang bencana."
"Aku nggak bisa pergi dengan wajah asli," gumamnya.
Tanpa pikir panjang, Aylin membuka kembali pintu apartemennya dan melangkah cepat ke dalam. Langkahnya tergesa, nyaris terantuk kaki meja. Ia merunduk ke bawah tempat tidur dan menarik keluar koper besar yang sudah berdebu.
"Koper ini… terakhir kupakai waktu Halloween tahun lalu. Aku tak pernah menyangka akan menggunakannya untuk alasan seputus asa ini."
Ia mengangkat tutup koper dan menghela napas pendek.
"Bukan untuk pesta. Bukan untuk cosplay. Tapi untuk bertahan hidup."
Tangannya bergerak cepat. Foundation tebal ditepuk-tepuk ke wajah, menutupi kulit pucatnya. Kontur gelap ditarik tajam di sepanjang tulang pipi dan sisi hidung.
"Sedikit lebih mancung. Lebih tajam. Lebih asing."
Ia menempelkan tompel palsu di bawah mata kanan.
"Terlalu mencolok? Tidak. Justru itu yang kubutuhkan. Sesuatu yang orang ingat… tapi bukan wajahku yang sebenarnya."
Kacamata bundar menyusul, lensa anti-refleksi membuat matanya nyaris tak terlihat. Lalu silicon kecil ia selipkan di sisi pinggul dan dadanya.
"Hanya sedikit perubahan siluet, cukup untuk mengaburkan bayangan tubuhku yang dikenali."
Ia menatap cermin. Wajah asing menatap balik ke arahnya.
"Bukan Aylin. Dan itu bagus. Itu yang kuinginkan."
Dengan cepat, ia menyambar hoodie besar, menariknya menutupi tubuh. Rambut panjangnya ia kepang cepat, lalu disembunyikan di balik wig pendek berwarna cokelat kusam.
"Tak ada yang akan mencari gadis berambut pendek dan tompel besar, bukan?"
Sebelum melangkah keluar, Aylin membuka kantong dalam hoodie dan memasukkan liontin bintangnya ke dalam. Ia memeluknya sejenak, erat.
"Aku tak bisa kehilangan ini. Apa pun yang terjadi…"
Ia menarik napas panjang. Satu tarikan, dua tarikan. Baru ia melangkah keluar dari apartemen, menyatu dalam keramaian kota—bukan sebagai Aylin, tapi sebagai seseorang yang tak akan diingat siapa pun.
"Kalau benar liontin ini adalah kunci… maka hari ini, perburuan sudah dimulai."
***
Toko itu terlihat sepi dari luar—hampir seperti bangunan tua yang ditelan waktu.
“Masih buka nggak, sih tempat kayak gini?” Aylin membatin, matanya menatap plang kayu yang nyaris pudar di atas pintu. Tulisan "Kurosawa & Sons" masih terbaca samar, meski catnya mengelupas.
Ia menarik napas, lalu mendorong pintu kaca yang berderit pelan. Aroma logam, kayu tua, dan sesuatu yang tak bisa ia kenali langsung menyergap hidungnya.
“Kayak masuk ke bengkel waktu—semua di sini terasa berhenti.”
Di balik meja kerja yang penuh alat ukir dan kaca pembesar, seorang pria tua dengan rambut putih dan mata sipit jernih menoleh perlahan. Tangannya berhenti bergerak, dan tatapannya tertuju padanya… tidak asing, tapi bukan karena mereka pernah bertemu.
“Dia… menatapku seperti dia tahu sesuatu. Atau… seseorang?”
"Ada yang bisa aku bantu, Nona?"
Aylin mengeluarkan liontin bintang dari saku hoodienya dan membukanya pelan di atas kain bludru kecil. Galaksi kecil di dalamnya berpendar lembut, memantulkan cahaya redup lampu meja kerja.
Pria tua itu menajamkan pandangannya. Tangan yang tadinya stabil kini sedikit gemetar. Ia mendekat, menunduk, lalu menarik kacamatanya ke ujung hidung.
"Astaga..." gumamnya lirih. "Ini..."
Aylin memerhatikannya dengan penuh tanya. "Anda mengenal liontin ini?"
Pria itu mengangguk pelan. "Ini... buatan ayahku. Aku masih kecil waktu beliau menyelesaikan benda ini. Hanya ada satu... satu-satunya. Kami menyebutnya Stellarium. Dan aku tak pernah melihatnya lagi sejak—"
Ia menghentikan ucapannya, napasnya sedikit tercekat. Aylin tetap diam, membiarkan pria tua itu mencerna perasaannya sendiri.
"Saya ingin membuat duplikatnya," ujar Aylin akhirnya. "Bisa?"
Pria tua itu duduk perlahan, mengangguk pelan meski matanya masih terpaku pada liontin itu.
"Aku tidak bisa menjanjikan duplikat sempurna... tapi aku punya buku catatan ayahku. Semua pola ukiran, formula resin bercahaya... bahkan teknik pendinginan logam yang ia pakai untuk membuat efek seperti ini."
Aylin menarik napas lega, walau hatinya tetap gelisah. “Kalau begitu… bisakah Anda membuatnya sebanyak mungkin? Sebanyak yang Anda bisa.”
Pria tua itu menatap Aylin dalam-dalam, seolah ingin bertanya lebih dari sekadar alasan. Tapi ia tak berkata apa-apa. Ia hanya mengangguk lagi, kali ini dengan penuh tekad.
"Akan butuh waktu. Beberapa hari, mungkin lebih. Tapi aku akan coba... demi karya ayahku, dan demi sesuatu yang terasa jauh lebih besar dari sekadar perhiasan."
Aylin menatap liontin itu sekali lagi sebelum menyerahkannya sepenuhnya.
"Jaga baik-baik. Dan… jangan beri tahu siapa pun kalau Anda sedang membuat duplikatnya."
“Sudah tentu tidak,” jawab si pria dengan senyum tipis. “Beberapa rahasia memang lebih aman jika disimpan dalam logam dan cahaya.”
Aylin keluar dari toko dengan napas berat, namun langkahnya mantap. Di baliknya, kilau kecil di meja kerja mulai direkam kembali oleh masa lalu.
Dan di depan Aylin—masa depan yang belum tahu apakah ia sedang mengejar kebenaran... atau memancing bahaya yang jauh lebih besar.
***
Di sebuah ruangan temaram, layar laptop memantulkan cahaya pucat ke wajah seorang pria tua.
Ia menatap foto Aylin dalam diam. Jari-jarinya mengetuk pelan permukaan meja, seolah sedang menghitung waktu.
"Dia... benar-benar mirip," gumamnya.
Lalu suaranya merendah, penuh beban.
"Apa dia memiliki kunci itu?"
Seseorang di balik bayangan menjawab pelan, hampir tak terdengar.
"Hanya dia satu-satunya keturunan Wardhana."
...🔸🔸🔸...
...Kadang, menyembunyikan kebenaran… adalah satu-satunya cara melindungi orang yang paling kau cintai....
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
untung semua data atau apa ya itu namanya simbol2 itu sudah masuk ke pikiran Aylin ya...
ternyata setelah dilewati Aylin dan Akay tiap ujian tidak balik seperti semula ya...jadi gampang dilewati...
makasih kak Nana.... ceritanya bener-bener seru juga menegangkan . kita yang baca ikutan dag dig dug ser .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍