Nathaniel Alvaro, pewaris muda salah satu perusahaan terbesar di negeri ini, hidup dalam bayang-bayang ekspektasi sang ibu yang keras: menikah sebelum usia 30, atau kehilangan posisinya. Saat tekanan datang dari segala arah, ia justru menemukan ketenangan di tempat yang tak terduga, seorang gadis pendiam yang bekerja di rumahnya, Clarissa.
Clarissa tampak sederhana, pemalu, dan penuh syukur. Diam-diam, Nathan membiayai kuliahnya, dan perlahan tumbuh perasaan yang tak bisa ia pungkiri. Tapi hidup Nathan tak pernah semudah itu. Ibunya memiliki rencana sendiri: menjodohkannya dengan Celestine Aurellia, anak dari sahabat lamanya sekaligus putri orang terkaya di Asia.
Celeste, seorang wanita muda yang berisik dan suka ikut campur tinggal bersama mereka. Kepribadiannya yang suka ikut campur membuat Nathan merasa muak... hingga Celeste justru menjadi alasan Clarissa dan Nathan bisa bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nitzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Cinta yang Diucap
Senja menggantung di langit, memantulkan warna oranye keemasan yang memancar lembut di atas halaman belakang rumah keluarga Alvaro. Angin sore menyapu pelan bunga melati yang menjalar di tiang-tiang kayu, sementara lampu-lampu bohlam kecil menyala temaram, menggantung dari tali yang membentuk lengkungan di sekitar balkon kecil.
Tempat itu dulunya kosong, hanya gudang kecil yang tak terpakai. Tapi sekarang, berubah menjadi sudut paling hangat di rumah itu—tempat yang disulap Celeste dengan tangannya sendiri.
Clarissa berdiri di tengah balkon. Gaun biru lembut yang ia kenakan mengikuti gerakan angin sore, rambutnya tergerai, dibiarkan alami seperti biasanya, hanya dengan jepit kecil berbentuk kupu-kupu di sisi kiri.. hadiah dari Celeste.
Ia sedikit gugup.
Tempat ini terasa terlalu indah. Terlalu... romantis.
Langkah pelan terdengar dari arah tangga. Clarissa menoleh. Nathan berdiri di sana. Jaket hitam sederhana menutupi kemeja putih yang digulung rapi di lengan. Ia tampak lebih dewasa dari biasanya. Dan untuk sesaat, Clarissa lupa bagaimana caranya bernapas.
“Hai,” ucap Nathan dengan senyum canggung.
“Hai...” Clarissa menjawab pelan, suaranya nyaris tak terdengar.
Nathan melangkah mendekat, berhenti hanya selangkah darinya. “Tempat ini... indah.”
Clarissa mengangguk. “Celeste yang menyiapkan. Katanya ini... buat acara spesial.”
Nathan menelan ludah. Ia memang sudah tahu itu. Tapi baru melihat langsung suasananya sekarang membuat dadanya sesak. Bukan karena takut, tapi karena harapan.
“Clarissa...” suaranya berat.
Gadis itu menatapnya dengan mata yang jernih dan... tenang.
“Aku tahu aku pernah bilang ini. Dan waktu itu kamu menolak,” Nathan tersenyum kecil, “tapi aku tidak menyerah. Karena aku tahu perasaanku ini nyata. Dan aku yakin... kamu juga merasakannya.”
Clarissa diam. Lalu perlahan mengangguk.
Nathan melanjutkan, suaranya lebih mantap.
“Jadi, kali ini, aku ingin tanya lagi. Tanpa beban. Tanpa tekanan. Tanpa berpikir soal status atau masa lalu atau siapa kita sebelumnya.”
Ia meraih tangan Clarissa, menggenggamnya lembut.
“Kamu mau jadi pacarku?”
Clarissa menatapnya. Tidak dengan gugup atau takut. Tapi dengan rasa yakin yang baru tumbuh. Ia tersenyum pelan.
“Aku mau.”
Satu kalimat itu seperti menyalakan seluruh balkon. Lampu-lampu kecil seakan bersinar lebih terang. Angin berhembus lebih hangat. Dan senyum di wajah Nathan meluas, seperti anak kecil yang baru saja mendapatkan sesuatu yang paling ia inginkan di dunia.
Nathan tertawa pelan, lalu menarik Clarissa dalam pelukannya. Ia tak tahu harus berkata apa lagi. Tapi pelukannya bicara lebih dari cukup.
Setelah beberapa saat, Nathan melepaskan pelukannya, lalu melirik ke arah pemutar musik kecil di pojok balkon. Dengan remote di sakunya, ia menyalakannya.
Alunan lagu jazz klasik mengalun pelan. Lembut. Mengundang.
Nathan mengulurkan tangannya. “Mau dansa?”
Clarissa tertawa pelan, malu-malu. “Aku nggak bisa.”
“Nggak apa-apa. Aku juga nggak jago,” katanya dengan senyum menenangkan.
Mereka saling berpegangan. Awalnya kaku, canggung. Tapi lama-lama, tubuh mereka seirama. Bergerak pelan, mengikuti denting piano dan petikan gitar dari lagu yang diputar.
Langit makin gelap, tapi balkon itu tetap hangat diterangi lampu kecil dan kebahagiaan yang tak bisa disembunyikan.
Lalu di tengah tarian itu, Nathan menatap wajah Clarissa.
Ia mendekat.
Dan tanpa berkata apa-apa lagi... bibir mereka bertemu.
Satu ciuman ringan. Pendek. Tapi penuh rasa. Penuh janji.
Clarissa memejamkan mata. Dunia seakan berhenti berputar sejenak.
Dan saat mereka melepaskan diri, keduanya tertawa kecil. Canggung. Bahagia.
Dari balik jendela lantai atas, Celeste menyandarkan dagunya di atas lutut yang ditarik ke dada. Ia menyaksikan semua itu dalam diam.
“Bagus,” gumamnya pelan. “Akhirnya.”
Ia tidak merasa iri. Tidak juga patah hati. Tapi... ada kekosongan kecil yang tidak bisa ia jelaskan.
Ponselnya bergetar. Ia meraihnya.
Darius Aurellia:
Waktumu tinggal lima bulan. Jangan lupa misimu.
Celeste menatap layar itu lama.
Lalu menjawab pelan.
Celeste:
Aku tidak lupa.
Ia menaruh ponsel, memeluk kakinya sendiri lebih erat, lalu menatap langit malam yang mulai dipenuhi bintang.
Dan di bawah sana... dua orang sedang jatuh cinta. Di tempat yang ia ciptakan. Di skenario yang ia tulis diam-diam.
Celeste tersenyum tipis.
“Selamat, Clarissa.”