Murni, seorang biarawati yang sedang cuti karena ingin menyembuhkan jiwa setelah terganggu mimpi-mimpi buruk yang terus berdatangan, menerima pesan aneh di ponselnya -suara paniknya sendiri yang membuatnya penasaran. Ia mengikuti petunjuk yang membawanya ke sebuah warung makan tua yang hanya buka saat malam.
Di warung itu ia bertemu dengan Mahanta, seorang juru masak pendiam yang misterius. Namun warung itu bukan warung biasa. Pelanggannya adalah jiwa-jiwa yang belum bisa pergi, dan menu makanannya bisa menenangkan roh atau mengirimnya ke dalam kegelapan. Murni perlahan terseret dalam dunia antara hidup dan mati. Ia mulai melihat masa lalu yang bukan miliknya. Meskipun Mahanta tampaknya menyimpan rahasia gelap tentang siapa dirinya dan siapa Murni sesungguhnya, pria itu bungkam. Sampai cinta yang semestinya dilarang oleh langit dan neraka merayap hadir dan mengungkapkan segalanya.
L'oubli (B. Perancis): keadaan tidak menyadari atau tidak sadar akan apa yang sedang terjadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dela Tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Season 1 ; Bab 29 - Tamu Dari Antara Dunia
Mahanta menatap langkah-langkah Murni yang menjauh. Ada sesuatu yang retak di dalam dadanya.
Ia nyaris berhasil. Nyaris.
Jika Murni sempat meminum sup itu… semuanya akan selesai.
Dia menggeleng. Sebenarnya ia tidak ingin melakukannya. Untungnya, atau celakanya? Murni ‘diselamatkan’ oleh bunyi lonceng.
Namun, sampai kapan ia akan berhasil menghadang semua yang berkembang ini?
Ia bukan tidak tahu, Murni tidak lagi semurni namanya. Ia bisa melihat cinta di mata wanita itu. Dan itu… terlalu menyakitkan.
Mahanta terimpit di antara dua alasan. Alasan egois, dan alasan altruis.
Namun jika menyangkut wanita itu, ia selalu memilih yang terakhir. Ia lebih bersedia dihancurkan, berkali-kali, daripada melihat wanita itu hancur.
Tuduhan Murni tadi tidak salah, malam kemarin memang ia sengaja bersembunyi. Tetapi tidak sepenuhnya. Karena ketika wanita itu tertidur di meja, ia tetap tak bisa menahan dorongan untuk menghampiri…
Dan menyentuh pipinya.
Itu adalah alasan egois.
Hanya saja… kini ia harus bertindak berdasarkan alasan altruis.
—
Malam sebelum Murni datang…
Mahanta sedang berdiri di dapur. Sudah satu minggu Murni tidak datang. Mahanta tahu wanita itu terombang-ambing dalam kebimbangan. Tetapi ia tetap menantikannya datang.
Entah satu tahun, sepuluh tahun, seratus tahun…
Di belakang tirai, bayangan tubuh perempuan menjalar lewat cahaya lampu gantung.
Mahanta tahu detak langkah semua yang pernah masuk ke warung ini: beratnya roh yang menyesal, gemetar ragu-ragu mereka yang hampir mati, atau senyapnya para pelintas yang tak sadar mereka sudah meninggal.
Namun, langkah malam itu penuh percaya diri, hidup, tapi… tidak seperti manusia.
Pintu kayu warung terbuka. Angin malam menyusup ke dalam, membawa bau tanah basah dan bunga yang tidak dikenal.
Dia berdiri di sana. Perempuan muda, usianya seperti Murni, tetapi dengan pakaian yang terasa tidak sesuai zaman. Rambut panjang tergerai, matanya hitam legam, bukan karena warna irisnya, tetapi karena tak ada pantulan cahaya di dalamnya.
Dia menatap Mahanta. Tanpa takut. Tanpa ragu.
“Lama tak bertemu, Obitus.”
Mahanta membeku.
Obitus.
Sudah ratusan tahun tidak ada yang memanggilnya begitu. Perempuan itu berjalan mendekat, tanpa suara. Melewati meja-meja kosong dan bangku yang belum dibereskan. Tidak ada tanda kelelahan dari perjalanan jauh.
Karena dia bukan manusia.
“Siapa kau?” Mahanta bersuara rendah, tajam, tapi tetap terkendali.
Perempuan itu tersenyum. Bibirnya merah darah. “Kau tidak ingat, atau berpura-pura lupa?”
Mahanta mencengkeram kain apron yang terikat di pinggangnya.
"Aku bukan lagi dia."
"Lucu." Perempuan itu mendengkus sinis, "Kau boleh mengubah namamu sejuta kali, kau tetap dia!"
Dia duduk di bangku dekat jendela, meletakkan satu jari di permukaan meja. Seketika, kayunya retak dan muncul bercak hangus.
“Aku bukan musuhmu,” lanjutnya. “Tetapi juga bukan sekutumu.”
Mahanta menarik napas panjang.
“Apa kau datang untuk mengambilnya?”
“Dia? Kekasihmu yang hilang ingatan?” Perempuan itu tertawa kecil, lalu mengangguk. “Belum. Tapi aku diminta mengamati. Dunia Atas mulai cemas… karena cinta kalian yang kembali tumbuh bisa membangkitkan sesuatu yang seharusnya tetap terkubur.”
“Kau tentu belum lupa.” Lanjutnya.
Tentu saja tidak.
Bahkan jika telah lewat seribu tahun, Mahanta tidak lupa. Tidak akan pernah.
Murni.
Nama itu bergema di kepala Mahanta seperti doa dan kutukan sekaligus.
Ia mencintainya, dulu, sekarang, bahkan jika ada waktu yang akan datang. Tetapi ingatan itu adalah beban.
"Jika mereka menyentuhnya…"
"Tenang." Perempuan itu menatapnya lurus-lurus. "Selama kau tidak menyentuhnya, dia aman."
“Jadi ini ujian?” gumam Mahanta.
"Atau jebakan," jawab perempuan itu cepat. "Kau bebas mencintainya, Mahanta. Tapi kau tahu batasnya. Jika kau melangkah terlalu dekat, kau membuka pintu yang dulu kalian paksa tutup."
Mahanta menatap api di tungku.
'Kami pernah membakar langit hanya untuk bisa saling menggenggam.'
Tetapi kali ini, ia hanya ingin memeluknya, bahkan jika itu berarti langit hancur lagi. Namun… itu adalah alasan egois.
Perempuan itu berdiri.
“Aku akan kembali. Bukan untukmu. Tapi untuknya. Dan jika saat itu dia sudah mencintaimu lagi…”
Dia mendekat, membisikkan kata terakhir di telinga Mahanta, “…kau tahu, siapa yang akan dikorbankan.”
Tanpa suara, perempuan itu melangkah ke luar. Pintu kayu tak bergerak. Tetapi dia sudah lenyap.
Mahanta berdiri diam.
Jari-jarinya gemetar. Bukan karena takut, tetapi karena tahu: waktu tidak lagi di pihaknya.
Dulu, ia tak berdaya melakukan apa pun.
Setelah ini, ia bisa, dengan terpaksa melakukan hal-hal yang menyakitkan. Bukan hanya bagi dirinya, tetapi juga bagi Murni. Demi alasan altruis. Itu sungguh ironis.
—
Murni tiba kembali di biara, sepenuhnya sadar akan apa yang telah menantinya.
Persidangan Kongregasi.
Langit pagi seperti tak punya niat menghibur siapa pun. Mendung menggantung berat, dan embun malam di kaca jendela biara tidak kunjung mengering meski matahari mulai mengintip.
Murni duduk di pojok ruang doa, sendirian. Ia tidak kembali ke kamar. Tubuhnya masih berpakaian rapi, rosario tergenggam erat di tangannya, tapi pikirannya terbang, melayang jauh ke tempat yang tak bisa dijelaskan dengan doa-doa biasa.
Ada ruang kosong dalam dirinya. Dingin. Seperti bangku kosong di depan warung semalam. Ia tidak tahu sejak kapan ia mulai menggantungkan harapan pada kehadiran Mahanta. Tetapi yang jelas, ia tak ingin kehilangan. Dan rasa itu menakutkan.
Pintu ruang doa terbuka perlahan. Langkah kaki terdengar, tidak berat, tapi membawa jejak waktu.
Ia telah siap.
Ia sudah memiliki keputusan. Ia telah memilih.
Suster Maria berdiri di sebelahnya. Tidak sendiri, tetapi bersama dua biarawati lain yang lebih senior. Kepala Kongregasi dan wakilnya. Suster Anastasia dan Suster Margareta.
Suster Anastasia telah berusia lebih dari enam puluh. Tetapi sorot matanya masih tajam, seolah melihat terlalu banyak dosa, dan hanya menyaksikan sedikit mukjizat.
“Suster Murni,” panggilnya pelan. “Semalam kau tidak kembali. Dan menurut laporan yang aku dengar…”
Murni menoleh perlahan, menyela ucapan Suster Anastasia. “Saya… sudah memilih, Suster.”
Ketiga biarawati itu tampak terkejut.
“Aku bahkan belum mengatakan apa-apa,” Suster Anastasia mengernyitkan kening. “Kau perlu menjelaskan bagaimana kau menghilang di ujung gang. Di tengah malam buta.”
Murni terdiam.
“Murni…” Suster Maria memanggilnya lembut.
Murni mengembuskan napas, menunduk, jari-jarinya meremas rosario lebih kencang. “Saya merasa dipanggil ke sana.”
“Dipanggil? Oleh siapa?”
“Apakah kami perlu melakukan eksorsisme padamu?”
Murni tersentak, “Tidak. Saya… saya tidak kerasukan. Saya sadar.”
“Lihat,” Murni mengacungkan tangannya yang menggenggam rosario. “Saya bahkan menggenggam rosario dan tidak terbakar. Saya normal, Suster. Hanya saja…”
“Hanya saja?”
“Hanya saja, saya merasa panggilan saya bukan di sini. Jadi…” Murni mengangkat kepala, menatap ketiga biarawati itu satu per satu. “Hari ini juga, saya akan mengembalikan seragam biarawati, dan akan meninggalkan biara.”
“Tapi kau tidak menyebutkan alasanmu.” Suster Anastasia tidak melepaskannya begitu saja.
“Alasannya hanya satu. Kemarin Suster Maria bertanya apakah saya masih merasa terpanggil. Hari ini, saya sudah punya jawabannya. Tidak lagi. Karena itu, Suster, saya tidak bisa melanjutkan sebab hati saya sudah tidak lagi bulat. Apakah masih perlu alasan lain?”
When Spring Ends, I'll See You Again