Berawal dari ketidaksengajaan lalu berujung pada pernikahan yang tidak direncanakan. Nadia yang mencoba bertahan hidup dengan menggantungkan harapannya pada pernikahan yang hanya dijadikan sebagai hubungan sebatas ranjang saja, tak mengira hidupnya akan berubah setelah ia memberi Yudha seorang anak yang diidam-idamkan.
“Jangan berharap lebih dari pernikahan ini. Aku menikahimu bukan karena cinta, tapi karena kita sama-sama saling membutuhkan,” kata Yudha.
“Tapi bagaimana jika kamu yang lebih dulu jatuh cinta padaku?” tanya Nadia.
“Tidak akan mungkin itu terjadi,” sarkas Yudha.
Lantas bagaimanakah kelanjutan hubungan pernikahan Nadia dan Yudha yang hanya sebatas ranjang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fhatt Trah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7. Pahlawan Tak Terduga
Pahlawan Tak Terduga
Mendapati private room-nya dimasuki oleh orang lain membuat Yudha kesal. Apalagi ternyata orang itu adalah karyawannya sendiri. Seketika jiwa tegasnya meronta.
Yudha sudah berkali-kali mewanti-wanti HR Manajer agar lebih memperhatikan ketika merekrut karyawan. Meski hotel sedang sangat membutuhkan karyawan, bukan berarti mereka sembarangan dalam merekrut tanpa memperhatikan latar belakang pelamar.
Yudha hanya bisa menghela napasnya panjang, menahan kesal sampai membuat sesak di dada kala ia memasuki kamar mandi dan menemukan perlengkapan mandi Nadia yang tertinggal. Tak hanya itu, bahkan pakaian dalam wanita itu masih menggantung di belakang daun pintu, yang membuat mata dan kepala Yudha berdenyut nyeri seketika.
Lekas Yudha mengambil ponsel, meminta bagian cleaning service untuk membersihkan kamarnya. Setelah itu ia menghubungi Jerry, asistennya.
“Langsung pulang, Jer,” titah Yudha begitu menaiki mobil.
Jerry mengangguk patuh. “Baik, Pak.” Begitu Yudha menghubunginya, ia langsung tancap gas. Padahal beberapa jam sebelumnya atasannya itu sudah mengijinkannya pulang. Ia bahkan sejak tadi sudah meringkuk di balik selimut saat tiba-tiba Yudha menelepon, memintanya datang ke hotel tengah malam begini.
Dari balik kaca spion di atas dasboard, sesekali Jerry melirik wajah tuannya yang terlihat kesal itu. Ia tidak berani bertanya apa gerangan yang membuat tuannya itu kesal. Karena jika itu menyangkut pekerjaan, Yudha pasti sudah memberitahunya sejak tadi.
Namun, sepanjang jalan Yudha diam membisu. Pria itu menoleh ke kiri, memperhatikan setiap objek yang dilewatinya. Jika sudah seperti ini, ia sudah bisa menebak kebisuan Yudha itu lantaran memendam masalah pribadinya.
“Maaf, Pak. Tadi Nyonya Maura menghubungi saya,” ungkap Jerry dengan sopan sembari melirik spion. Detik berikutnya fokusnya kembali ke jalanan.
Yudha tampak terhenyak. Lekas tangan pria itu merogoh kantong jasnya, lalu mengambil ponsel dari dalam sana yang sengaja ia nonaktifkan.
“Nyonya hanya bertanya kenapa Pak Yudha belum pulang,” sambung Jerry.
“Trus kamu bilang apa ke istriku?”
“Pak Yudha banyak pekerjaan yang harus diselesaikan hari ini, tidak bisa ditunda.”
Yudha terlihat menghembuskan napasnya lega. Sepertinya ia lupa mengaktifkan kembali ponselnya usai rapat siang tadi, saking kepalanya pening memikirkan desakan orangtuanya.
Yudha bukannya tidak mau mengikuti saran orangtuanya untuk pergi berbulan madu kembali. Hanya saja, keinginan orangtuanya itu tidak bisa ia wujudkan walau sampai kapanpun.
Belum lagi, Maura yang terus-terusan mendesaknya agar menikah lagi dengan wanita yang sehat demi mendapatkan keturunan. Hal itu sudah cukup membuat Yudha stress memikirkannya.
Mobil yang dikendarai Jerry melaju di jalanan menuju arah pulang. Malam sudah semakin larut. Yudha kembali mengalihkan pandangannya ke luar. Melalui jendela mobil ia memperhatikan setiap objek yang dilewatinya. Sampai saat mobilnya melewati sebuah jalanan yang sepi, ia melihat dua orang pemuda sedang menyeret paksa seorang gadis.
Gadis itu meronta-ronta, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman dua pemuda tersebut. Melihat hal itu, ia langsung bisa menyimpulkan bahwa dua orang pemuda itu memaksa si gadis ikut bersama mereka.
“Anak muda jaman sekarang sudah tidak punya lagi tata krama. Sedang apa mereka memaksa gadis itu,” ujar Jerry yang juga sempat melihatnya. Dahi Jerry pun berkerut kemudian karena ia merasa seperti ada yang janggal.
“Apa jangan-jangan dua laki-laki itu ...” Jerry tampak berpikir sembari tetap fokus menyetir.
Sedangkan Yudha tengah mengingat-ingat wajah gadis yang sedang diseret paksa itu. Sebab wajah itu tampak familiar. Rasanya seperti ia belum lama pernah melihat wajah gadis itu.
“Wah ... berarti gadis itu dalam bahaya. Dua laki-laki itu pasti bukan orang yang baik,” sambung Jerry. “Kasihan gadis itu kalau sampai diapa-apain oleh dua berandalan itu,” tambahnya.
“Putat balik, Jer,” titah Yudha tiba-tiba.
Jerry sedikit terkejut. “Putar balik? Ke mana, Pak?”
“Sepertinya dua berandalan itu perlu diberi pelajaran.”
Tanpa banyak bertanya lagi, Jerry pun langsung memutar balik mobil ke arah yang berlawanan. Lalu menambah kecepatan sehingga tiba dengan cepat di tempat tujuan. Decitan ban mobil yang bergesekan dengan aspal ketika ia mengerem mendadak terdengar memekakkan telinga dan meraih perhatian dua pemuda itu seketika.
Yudha lekas turun dari mobil, diikuti oleh Jerry berikutnya. Dilepasnya jas yang ia kenakan, lalu melemparnya ke arah Jerry yang cekatan menangkap jas itu.
Jerry memperhatikan saja apa yang akan dilakukan Yudha. Sebab ia tahu Yudha bisa mengatasi situasi ini. Apalagi dua pemuda berandalan itu terlihat masih bau kencur.
“Lepaskan dia,” titah Yudha sembari menggulung lengan kemeja sampai batas siku. Lalu membuka dua kancing teratas kemejanya.
Dua pemuda itu rupanya tidak mengindahkan perintah Yudha. Mereka malah memandang remeh pada Yudha, yang mereka yakini bukan lawan yang sepadan.
“Sana, pulang saja Om. Ngapain ikut campur urusan anak muda,” ujar salah seorang.
“Lepaskan gadis itu atau aku patahkan tangan kalian.” Yudah berkacak pinggang memberi ancaman. Tapi sepertinya pemuda itu malah meremehkan Yudha.
“Jangan ikut campur, Om. Sana,.pulang saja ke rumah, temui istrimu. Jangan biarkan istrimu menunggu, nanti bisa penyakitan istrimu itu.”
BUGH!
Kesal mendengar ucapan tak sopan pemuda itu, tinju Yudha pun langsung melayang ke wajahnya tanpa ampun. Wajah pemuda itu terpaling, hidungnya berdarah.
Sedangkan pemuda yang satunya kaget melihat temannya berdarah.
“Kamu ...” Yudha menunjuk pemuda yang belum terkena bogem mentahnya. “Maju kamu. Ayo ke sini, lawan aku,” sambungnya menantang.
Melihat temannya yang sudah berdarah, pemuda itu marah. Lalu dengan kemarahannya itu ia maju hendak melayangkan tinjunya ke wajah Yudha.
Namun sebelum tinju itu sempat mengenai wajah Yudha, satu tinju Yudha sudah lebih dulu mendarat di wajahnya dan berhasil membuat bonyok wajah pemuda itu. Sudut bibirnya pun mengeluarkan darah segar.
“Masih mau tambah lagi?” tantang Yudha sembari memasang kuda-kuda. Dua pemuda yang masih seumur jagung itu samasekali bukan lawannya. Hanya dalam sekali pukulan saja mereka sudah lari kocar-kacir.
Apalagi ditambah Jerry yang sengaja memperdengarkan sedang menghubungi polisi. Mereka lari terbirit-birit meninggalkan tempat itu.
“Dasar bocah-bocah sialan. Beraninya cuma sama perempuan,” umpat Jerry seraya menghampiri Yudha, mengembalikan jas pria itu.
“Kamu tidak apa-apa, Nona?” tanya Jerry kemudian pada Nadia, yang terbengong-bengong melihat siapa penyelamatnya malam ini.
“I-iya. Saya tidak apa-apa. Terima kasih banyak ya, Mas. Eh, Pak,” sahut Nadia terbata. Ia sungguh tak menyangka, pahlawan tak terduga itu adalah mantan atasannya di hotel.
“Bilang terima kasihnya ke atasan saya saja.”
Nadia mengalihkan pandangan. Yudha tampak tak acuh sembari mengenakan kembali jasnya. Lalu ia dibuat terkejut saat tiba-tiba Nadia meraih tangan kanannya, menggenggamnya dengan erat sembari berkata,
“Terima kasih banyak, Pak. Kalau tidak ada Bapak, saya tidak tahu apa yang akan terjadi pada saya malam ini. Saya sangat berhutang budi pada Bapak karena Bapak sudah menolong saya.”
Yudha tertegun memandangi tangannya yang digenggam Nadia. Kemudian pandangannya berpindah ke wajah Nadia, yang lagi-lagi entah mengapa mampu meredam kekesalannya.
Selain Maura, ia tidak pernah mengijinkan wanita manapun menyentuhnya. Anehnya, ia malah bingung harus berbuat apa saat tangannya disentuh wanita lain.
Batinnya menolak, ingin rasanya ia menarik kembali tangannya. Tapi urat sarafnya sepertinya menolak, dan malah membiarkan tangannya digenggam Nadia. Sampai akhirnya Nadia sendiri yang melepas genggaman itu saat Jerry berdehem.
“Jer, ayo kita pulang,” ajak Yudha mengalihkan diri dari situasi yang membuatnya bingung.
Padahal ia tergerak menolong Nadia karena ia tak bisa melihat wanita disakiti. Tapi entah mengapa dalam diri Nadia seolah mengandung magnet yang membuatnya sempat tak ingin beranjak. Ditambah lagi bayangan Nadia yang hanya mengenakan handuk sebatas ketiak itu terus mengganggu pikirannya. Bayangan itu muncul begitu saja sampai membuatnya tak sadar menelan ludah.
Nadia menghela napas panjang, lalu menghembuskannya pelan sembari memandangi mobil Yudha yang mulai menjauh. Ia merasa sedikit aneh dengan sikap mantan atasannya itu.
Tak ingin berlama-lama, ia lalu melenggang sambil menggeret koper menuju Mushola.
“Semoga saja di Mushola itu aku aman,” gumamnya penuh harap.
-To Be Continued-
ngomong rindu tp giliran diladeni ngomong capek ngantuk, kan pengin /Hammer//Hammer//Hammer/
suami mulai ada tanda tanda dengan bawahnya....klop deh