Nabila Althafunisa tiba-tiba saja harus menikah dengan seorang pria bernama Dzaki Elrumi Adyatama, seorang pria yang usianya 10 tahun lebih muda darinya yang masih berstatus mahasiswa di usianya yang sudah menginjak 25 tahun. Dzaki tiba-tiba saja ada di kamar hotel yang Nabila tempati saat Nabila menghadiri pernikahan sahabatnya yang diadakan di hotel tersebut.
Anehnya, saat mereka akan dinikahkan, Dzaki sama sekali tidak keberatan, ia malah terlihat senang harus menikahi Nabila. Padahal wanita yang akan dinikahinya itu adalah seorang janda yang memiliki satu putra yang baru saja menjadi mahasiswa sama seperti dirinya.
Siapakah Dzaki sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lalalati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5: Bulan Madu
Dini dan Anwar saling pandang dengan bingung. Ide untuk menghukum Dzaki malah disambut antusias seperti ini.
"Kamu yakin?" tanya Dini. "Nikah itu bukan main-main, Nak."
"Papa sama Mama sendiri yang nyuruh aku nikah 'kan? Kalau gitu aku bersedia," ujarnya mantap.
Sekarang malah Anwar yang mengerut tak setuju. Tadinya itu hanya memberi Dzaki gertakan saja. Ia tak berpikir Dzaki justru akan menyetujuinya. Bagaimana pun ia menginginkan seorang menantu terbaik bagi anak semata wayangnya. Bukan malah seorang janda dengan satu anak yang sudah terbilang dewasa, serta jauh lebih tua dari Dzaki pula.
"Pokoknya, Mama sama Papa harus nikahin aku sama Nabila," tegas Dzaki dengan semangat.
"Kamu malah seneng gini dinikahin sama janda? Nak, anaknya Nabila itu umurnya 18 tahun. Kamu mau jadi ayah tiri buat anak yang umurnya cuma beda 7 tahun sama kamu?"
"Mama gimana sih? Katanya nyuruh aku nikah. Aku udah mau, malah jadi ragu-ragu gitu. Aku serius mau nikahin Nabila. Anaknya umur berapa aku gak peduli. Pokoknya aku mau nikah sama dia. Titik."
Anwar menghela nafas kesal. "Dasar kamu ini! Papa minta kamu..."
"Aku janji bakal beresin skripsi aku," potong Dzaki.
Negosiasi ini mulai membuat Anwar dan Dini tertarik. "Serius?" tanya Dini memastikan.
"Dua rius!" tegas Dzaki. Anwar dan Dini kembali saling tatap dengan heran.
"Aku bakal beresin skripsi aku. Aku gak akan dateng ke club, balapan, atau ngegame online lagi. Aku janji, sejanji-janjinya."
Dini dan Anwar terbelalak. Rupanya sang putra serius dengan niatnya mempersunting perempuan bernama Nabila itu.
"Tapi Papa sama Mama harus bisa yakinin Nabila buat mau nikah sama aku. Terpaksa atau enggak, Nabila harus nikah sama aku. Juga, buat bulan madu aku sama Nabila, izinin aku tinggal di villa kita di Bali selama sebulan."
Anwar dan Dini sontak tertegun dengan mulut yang terbuka. Mereka benar-benar keheranan dengan sikap putra mereka.
Karena begitu besar keinginan Dini dan Anwar agar sang putra bisa menjalani kehidupannya dengan lebih baik, tanpa melakukan hal-hal buruk yang selama ini menjadi kebiasaannya, maka akhirnya mereka mendukung pernikahan antara Dzaki dan Nabila dengan harapan Dzaki akan benar-benar menepati janjinya.
Kemudian terjadilah acara sakral itu, pernikahan antara Nabila Althafunisa dan Dzaki Elrumi Adyatama.
...***...
Setelah ijab qobul dadakan itu, Nabila pulang ke rumahnya untuk membereskan beberapa pakaian untuk ia bawa untuk berbulan madu.
Iya. Bulan Madu.
Kedua mertuanya memaksa Nabila untuk pergi berbulan madu bersama suami barunya. Karena mereka menikah secara mendadak, mertuanya ingin Nabila dan Dzaki menghabiskan waktu bersama di Bali untuk saling mengenal lebih dekat. Nabila tak punya pilihan lain selain mengikuti keinginan kedua mertuanya itu.
Nabila kembali diantar oleh Hazel menuju Bandara. Hazel belum mengetahui tentang pernikahan Nabila yang mendadak itu. Nabila belum siap jika sang putra mengetahuinya. Maka saat sudah sampai di Bandara, Nabila meminta Hazel untuk segera pulang agar ia tak perlu bertemu dengan Dzaki.
Kemudian Nabila dan Dzaki pun melakukan penerbangan ke Bali berdua saja. Sesampainya di sana, sebuah mobil sudah siap dan mengantar mereka ke sebuah villa.
“Iya, ini Bunda baru nyampe.” Nabila menghubungi Hazel ketika dirinya masuk ke sebuah kamar di villa tersebut.
“Syukur kalau gitu. Bunda beneran bakal sebulan penuh di sana? Ada kerjaan apa sih? Kok ngedadak banget? Dan biasanya Bunda gak pernah sampai dinas selama itu ke luar kota?" tanya Hazel di seberang sana dengan penuh curiga.
“Iya, Bunda juga gak tahu, Nak. Kerjaan Bunda ‘kan kadang emang gini. Kamu gak apa-apa ’kan Bunda tinggal?” dusta Nabila.
“Ya ampun, Bun. Aku bukan anak kecil lagi. Ya udah, Bunda fokus kerja aja ya. Aku bakal baik-baik aja kok di sini.”
“Ya udah kalau gitu, nanti Bunda telepon lagi, ya," pungkas Nabila.
Setelah menyimpan kopernya, Nabila mendaratkan tubuhnya di sofa di ruang tengah villa tersebut. Ia sama sekali tak mengerti dengan cara berpikir ayah mertuanya itu, setelah memaksa Nabila menikah dengan apa adanya, tanpa pesta, tanpa persiapan lahir ataupun batin, tanpa lamaran pula, Anwar malah menyiapkan sebuah villa miliknya dan meminta Nabila bersama Dzaki selama sebulan berada disini untuk bisa mengenal lebih dekat.
“Ini aku mimpi apa gimana ya?” gumam Nabila seraya menatap lautan biru melalui dinding kaca di samping sofa itu. Ia masih harus kembali menyadarkan dirinya bahwa dalam waktu kurang dari 24 jam, ia tidak lagi berstatus sebagai janda.
Tiba-tiba terdengar pintu villa terbuka. Perlahan terdengar seseorang memasuki ruang tengah. Nabila melihat ke arah ruang tamu dan ternyata itu adalah Dzaki. Segera Nabila duduk dengan tegak. Seketika perasaannya begitu campur aduk, marah, kesal, dan bingung ketika melihat sosok asing yang kini sudah berstatus sebagai suaminya itu.
Dzaki pun duduk di sofa sebelah yang Nabila duduki. “Gimana, suka villanya?” tanyanya basa-basi.
Nabila tak menjawab, ia malah menatap Dzaki dengan begitu kesalnya. Pertanyaan itu sungguh tidak cocok dilontarkannya, seakan pernikahan mereka terjadi secara normal.
“Kenapa? Ada yang mau kamu omongin? Bilang aja," ujar Dzaki dengan santai membuat Nabila semakin tak habis pikir.
“Saya punya banyak pertanyaan untuk kamu,” ujar Nabila dengan tidak ramah.
“Kita punya banyak waktu, kamu boleh nanya apapun. Aku akan coba jawab satu persatu.” Dzaki bahkan kini berjalan menuju dapur dan kembali dengan dua kaleng minuman soda dingin. Disimpannya satu kaleng di depan Nabila, dan satu lagi ia buka dan ia teguk dengan begitu santainya.
“Kenapa kamu diam aja? Kenapa kamu membiarkan pernikahan ini terjadi?” tanya Nabila langsung pada intinya.
“Kamu juga diem aja. Jadi aku juga diem.” Diteguknya sekaleng soda itu lagi.
“Saya diem karena saya…” Nabila menggerakkan tangannya dengan gemas. “Syok! Saya bener-bener gak ngerti kenapa kamu membiarkan semuanya terjadi. Saya gak kenal kamu, kamu juga gak kenal saya. Tiba-tiba kamu ada di kamar saya. Kenapa kamu bisa masuk ke kamar kemarin malam?”
“Kamu lupa ngunci pintu, jadi aku masuk.”
“Gak mungkin.” Nabila tak percaya.
“Kamu boleh lihat CCTV hotel itu. Aku gak bohong. Aku mabuk, terus aku salah masuk kamar. Aku kira masuk kamar aku, tapi ternyata aku masuk ke kamar kamu." Dzaki meletakkan kaleng yang sudah kosong itu di atas meja. Ia pun pindah duduk ke sebelah Nabila.
Sontak Nabila bergeser, menjauh dari Dzaki. “Tapi 'kan…”
“Sssstt.” Telunjuk Dzaki sudah berada di bibir Nabila. Ditatapnya kedua mata Nabila. “Cukup untuk pertanyaannya. Kamu bisa tanya sama aku lagi nanti. Untuk sekarang aku pengen lakuin sesuatu.”