Arjuna, putra dari Dewa Arka Dewa dan Dewi Laksmi, adalah seorang dewa yang sombong, angkuh, dan merasa tak terkalahkan. Terlahir dari pasangan dewa yang kuat, ia tumbuh dengan keyakinan bahwa tidak ada yang bisa menandinginya. Dengan kekuatan luar biasa, Arjuna sering merendahkan dewa-dewa lainnya dan merasa bahwa dirinya lebih unggul dalam segala hal.
Namun, sikapnya yang arogan membawa konsekuensi besar. Dewa Arka Dewa, ayahnya, yang melihat kebanggaan berlebihan dalam diri putranya, memutuskan untuk memberi pelajaran yang keras. Dalam upaya untuk mendewasakan Arjuna, Dewa Arka Dewa mengasingkan Arjuna ke dunia manusia—tanpa kekuatan, tanpa perlindungan, dan tanpa status sebagai dewa.
Di dunia manusia yang keras dan penuh tantangan, Arjuna harus menghadapi kenyataan bahwa kekuatan fisik dan kesombongannya tidak ada artinya lagi. Terpisah dari segala kemewahan Gunung Meru, Arjuna kini harus bertahan hidup sebagai manusia biasa, menghadapi ancaman yang lebih berbahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perasaan Arjuna
Keesokan paginya, Arjuna berdiri di depan sebuah gedung perkantoran dengan seragam petugas keamanan yang baru saja diberikan padanya. Pakaian itu terasa aneh di tubuhnya—bukan baju perang dewa, bukan jubah kebesarannya di Gunung Meru, hanya seragam manusia biasa dengan lencana kecil bertuliskan "Security."
Kirana tersenyum melihat Arjuna tampak kebingungan. "Jangan terlalu dipikirkan. Ini cuma pekerjaan sementara. Setidaknya kau punya sesuatu untuk dilakukan dan bisa mulai memahami dunia manusia."
Arjuna menghela napas panjang. "Aku, seorang dewa, harus menjaga pintu masuk sebuah bangunan? Ini sungguh penghinaan."
"Lebih baik daripada tidak melakukan apa-apa," Kirana menepuk pundaknya. "Sekarang, kau ikut Pak Herman. Dia akan mengajari tugas-tugasmu."
Pak Herman, pria berusia sekitar 50-an dengan tubuh sedikit berisi dan wajah yang tampak sudah kenyang pengalaman, menatap Arjuna dari atas ke bawah. "Kau memang tampan, Nak, tapi ketampanan tidak cukup untuk jadi security. Bisa berkelahi?"
Arjuna tersenyum meremehkan. "Aku sudah bertarung sejak sebelum kau lahir."
Pak Herman terkekeh. "Sombong sekali. Ya sudah, ayo ikut aku."
Sepanjang hari, Arjuna diajarkan tugas-tugas dasar sebagai petugas keamanan: memeriksa identitas tamu, mengawasi CCTV, dan berpatroli di sekitar gedung. Ia mengerjakannya dengan enggan, merasa pekerjaan ini jauh di bawah kemampuannya. Namun, setiap kali ia menunjukkan sikap angkuh, Pak Herman hanya tersenyum sambil berkata, "Kau masih harus banyak belajar, Nak."
Saat sore menjelang, Arjuna merasa bosan luar biasa. Ia berdiri di depan gedung dengan tangan bersedekap, mengawasi orang-orang yang berlalu-lalang. Namun, tiba-tiba, teriakan terdengar dari seberang jalan.
Seorang pria berlari kencang, membawa tas hasil rampasan, sementara seorang wanita berteriak meminta tolong.
Mata Arjuna menyipit. "Akhirnya, sesuatu yang menarik."
Tanpa berpikir panjang, ia langsung melesat mengejar pria itu, siap menunjukkan bahwa meskipun ia kehilangan kekuatan dewanya, ia masih lebih dari sekadar manusia biasa.
Arjuna melesat mengejar pria itu, meskipun tanpa kekuatan dewanya, tubuhnya yang terlatih membuatnya jauh lebih cepat daripada manusia biasa. Penjahat itu berusaha kabur, menerobos lalu lintas yang ramai di jalanan Jakarta, tetapi Arjuna terus mempersempit jarak.
Di depan, pria itu melihat gang sempit dan berbelok dengan cepat, berharap bisa menghilang di antara lorong-lorong kumuh kota. Namun, Arjuna tidak memperlambat langkahnya—ia melompati pagar rendah, menendang tong sampah yang menghalangi jalannya, dan terus memburu pria itu seperti pemburu mengejar mangsa.
"Berhenti, pengecut!" teriak Arjuna.
Pria itu menoleh sebentar, wajahnya panik saat melihat Arjuna masih mengejarnya. Ia mencoba meningkatkan kecepatannya, tetapi tiba-tiba, kakinya tersandung sebuah batu. Ia jatuh tersungkur, tas rampasannya terlepas dari genggaman.
Saat pria itu mencoba bangkit, Arjuna sudah berada tepat di depannya. Dengan satu gerakan cepat, Arjuna mencengkeram kerah bajunya dan mengangkatnya sedikit dari tanah.
"Kau pikir bisa lari dariku?" Arjuna menatapnya tajam.
Pria itu gemetar ketakutan. "Ampun, Bang! Saya cuma butuh uang! Saya nggak punya pilihan lain!"
Arjuna mengerutkan kening. Ia tak peduli dengan alasan itu. Di Gunung Meru, pencuri akan langsung dihukum tanpa banyak pertimbangan. Tapi di dunia manusia ini… ia merasa ada sesuatu yang berbeda.
Sebelum ia bisa memutuskan apa yang harus dilakukan, suara langkah kaki terdengar mendekat. Seorang polisi dan beberapa warga sudah tiba di tempat kejadian.
"Bagus, anak muda!" Polisi itu menepuk bahu Arjuna. "Kau berhasil menangkapnya!"
Arjuna melepaskan cengkeramannya dengan enggan. Polisi itu segera memborgol pria tersebut dan mengamankan barang curian.
Saat polisi pergi membawa penjahat itu, seorang wanita—korban perampokan—mendekat dan menatap Arjuna dengan penuh rasa syukur.
"Terima kasih banyak, Mas… Kalau bukan karena kamu, tas saya pasti sudah hilang!"
Arjuna hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya: "Apakah ini yang disebut keadilan di dunia manusia?"
Dalam perjalanan pulang, Arjuna berjalan di samping Kirana, masih memikirkan kejadian tadi. Langit mulai berubah jingga, lampu-lampu jalan perlahan menyala, dan hiruk-pikuk Jakarta tetap ramai meskipun sore telah tiba.
"Aku tidak mengerti," ujar Arjuna akhirnya, suaranya serius. "Di tempatku, pencuri adalah pengecut, mereka mencuri karena keserakahan. Tapi pria tadi… dia mencuri karena dia tidak punya pilihan. Bagaimana bisa dunia ini membiarkan seseorang jatuh dalam keadaan seperti itu?"
Kirana melirik Arjuna sekilas sebelum menghela napas. "Itulah dunia manusia, Arjuna. Tidak semua orang lahir dengan keberuntungan. Banyak yang harus berjuang keras hanya untuk bertahan hidup. Kadang, orang mencuri bukan karena mereka ingin, tapi karena mereka merasa tidak punya jalan lain."
Arjuna mengerutkan kening. "Bukankah seharusnya para pemimpin mereka memastikan tidak ada yang kelaparan? Apa gunanya pemimpin jika mereka membiarkan rakyatnya menderita?"
Kirana tersenyum miris. "Seharusnya begitu, tapi di dunia ini, tidak semua pemimpin peduli. Ada yang hanya mementingkan diri sendiri, menumpuk kekayaan, dan membiarkan yang lemah terlupakan. Keadilan di dunia ini… tidak selalu seimbang."
Arjuna terdiam, memikirkan kata-kata Kirana. Baginya, seorang pemimpin harus kuat dan bijaksana, memastikan kesejahteraan semua orang yang ada di bawah kekuasaannya. Tapi dunia manusia berbeda.
"Kalau begitu, kenapa manusia tidak menggulingkan pemimpin mereka yang tidak adil?" tanyanya.
Kirana tertawa kecil, tetapi ada kegetiran di balik tawanya. "Mereka yang berkuasa punya cara untuk mempertahankan kekuasaannya. Hukum, uang, kekuatan… semua itu melindungi mereka. Bahkan jika rakyat ingin melawan, mereka harus siap menanggung akibatnya. Dan kebanyakan orang terlalu sibuk bertahan hidup untuk bisa melawan."
Arjuna mengepalkan tangannya. "Itu tidak adil."
Kirana mengangguk. "Memang. Tapi inilah kenyataannya."
Arjuna menatap ke langit, merasa ada sesuatu yang bergolak dalam dirinya. Ia dulu berpikir bahwa kekuatan adalah segalanya—bahwa yang kuat pantas berkuasa. Namun, di dunia ini, kekuatan bukanlah jaminan keadilan.
Dan untuk pertama kalinya sejak ia diasingkan, Arjuna mulai bertanya-tanya… apakah ia bisa melakukan sesuatu untuk mengubahnya?
Di ruang utama markas The Vault, layar-layar holografik memancarkan data yang berisi rekaman satelit dan laporan dari berbagai sumber. Beberapa agen lalu-lalang, mendiskusikan informasi terbaru yang mereka kumpulkan.
Agent Liana, seorang wanita berambut pendek dengan seragam hitam khas The Vault, berdiri dengan tangan terlipat di depan layar utama. Di sampingnya, Rivani, analis intelijen utama, mengetik cepat di konsol, matanya tak lepas dari data yang muncul.
"Jadi, kau yakin ini bukan kebetulan?" tanya Liana, matanya menatap rekaman saat Arjuna jatuh dari langit, masih mengenakan pakaian dewa, diikuti dengan laporan kemunculan seseorang misterius tiga hari sebelumnya.
Rivani mengangguk. "Terlalu banyak anomali dalam satu waktu. Ini Jakarta, bukan kota yang terbiasa dengan kehadiran makhluk supernatural selevel ini. Satu entitas jatuh dari langit adalah keanehan. Dua dalam waktu dekat? Itu bukan kebetulan."
Liana mendekatkan wajahnya ke layar, membaca ulang data yang berkedip. "Dan kau yakin pria yang turun tiga hari sebelumnya ini… adalah ancaman?"
Rivani memunculkan gambar buram dari kamera pengawas jalanan, memperlihatkan sosok pria tinggi berambut panjang yang mengenakan pakaian mencolok, wajahnya samar tapi aura kehadirannya tidak biasa.
"Nama belum bisa dikonfirmasi, tapi dari apa yang kami dapat, dia tidak bertindak sembarangan. Dia bergerak dengan tujuan jelas, menemui orang-orang berpengaruh di bawah radar. Jika dia bukan ancaman, kenapa dia harus menyusup secara diam-diam?"
Liana menghela napas. "Dan Arjuna?"
Rivani mengetik cepat, menampilkan rekaman CCTV di berbagai titik Jakarta yang menunjukkan Arjuna sejak ia jatuh, bertemu Bara dan Kirana, hingga insiden kecil dengan polisi.
"Dia terlihat seperti ikan yang dilempar ke daratan. Tidak tahu bagaimana cara hidup di dunia ini, tapi jelas memiliki sesuatu yang lebih dari manusia biasa. Kita masih belum tahu apakah dia sekutu atau ancaman."
Liana menyipitkan mata. "Kalau begitu, kita pantau terus. Jika sesuatu yang lebih besar sedang terjadi, kita tidak boleh lengah. Dan segera laporkan ke The Closer, dia harus tahu ini."
Rivani mengangguk. "Sudah dikirim. Tapi dia masih di luar negeri, entah kapan bisa kembali."
Liana menatap layar satu kali lagi sebelum berbalik. "Baiklah, untuk sekarang, kita awasi saja. Jika keduanya adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar, cepat atau lambat kita akan mengetahuinya."