Anara Bella seorang gadis yang mandiri dan baik hati. Ia tak sengaja di pertemukan dengan seorang pria amnesia yang tengah mengalami kecelakaan, pertemuan itu malah menghantarkan mereka pada suatu ikatan pernikahan yang tidak terduga. Mereka mulai membangun kehidupan bersama, dan Anara mulai mengembangkan perasaan cinta terhadap Alvian.
Di saat rasa cinta tumbuh di hati keduanya, pria itu mengalami kejadian yang membuat ingatan aslinya kembali, melupakan ingatan indah kebersamaannya dengan Anara dan hanya sedikit menyisakan kebencian untuk gadis itu.
Bagaimana bisa ada rasa benci?
Akankah Anara memperjuangkan cintanya?
Berhasil atau berakhir!
Mari kita lanjutkan cerita ini untuk menemukan jawabannya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama eNdut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dasar Tetangga
Nara menghela nafas panjang, raut wajahnya tidak bisa berbohong jika dirinya tengah merasa gelisah. Teringat pembicaraannya dengan Ibu serta Pakde yang menanyainya tentang suaminya.
“Apa dia baik padamu nak?”.
“Suamimu orang mana Nar?".
"Apa pekerjaannya?".
“Bagaimana dengan orang tuanya, apa mereka juga menerimamu?”.
Banyak sekali pertanyaan yang Ibu serta lainnya lontarkan pada Nara, namun dari itu semua Nara tahu jika mereka bagitu mengkhawatirkannya. Semua orang tua pasti menginginkan masa depan yang baik bagi anak mereka, begitu juga dengan pasangan hidup anak-anak mereka.
Dari semua pertanyaan tersebut Nara hanya bisa tersenyum kecut saat menjawab beberapa pertanyaan yang bahkan Nara sendiri belum mengetahui jawabannya, untuk meyakinkan orang tuanya Nara terpaksa berbohong pada beberapa jawaban yang ia berikan.
Gadis itu kini termenung di kursi teras, sesekali melirik ke arah ponselnya yang ia letakkan di atas meja. Tak ada pesan ataupun panggilan dari Vian sejak terakhir kali Nara mengabari jika dirinya telah sampai di rumah.
Dari kejauhan nampak Abas yang ternyata cukup lama memperhatikan gerak-gerik Nara. Abas yang baru saja memasukkan motornya ke teras berniat menghampiri Nara dirumahnya namun sebelum itu ia masuk ke rumah dan mengambil sesuatu untuk ia bawa kesana.
"Hah, dingin", kaget Nara saat merasakan sesuatu yang dingin tiba-tiba menyentuh pipinya. Gadis itu menoleh, ia mendapati Abas yang berdiri di sampingnya sembari tersenyum dengan satu kaleng soda di tangannya. "Loh Mas Abas, kapan kesini nya?", bingung Nara yang memang tidak menyadari kedatangan lelaki itu.
"Ha ha ha, Maaf, habis Mas perhatikan dari tadi melamun terus makannya tidak tahu kan jika Mas sudah ada disini".
Abas duduk di sebelahnya, menyodorkan kaleng soda tersebut kepada Nara dan langsung di terima oleh gadis itu.
"Makasih Mas".
"Apa yang sedang kamu lakukan malam-malam begini di luar? Melamun lagi!".
"Tidak ada kok Mas, udah lama aku tidak merasakan udara segar seperti ini".
"Em, yang ada malah masuk angin nanti Nar".
Sssssssh, Nara membuka tutup kaleng soda, saat hendak meminumnya dengan cepat Abas merebutnya.
"Terimakasih ya Nar sudah di bukain".
Tanpa memperdulikan wajah terkejut Nara, Abas lantas meminumnya dan menenggak habis isi dari soda kaleng tersebut.
"Lah, bukannya itu buat aku Mas? Kenapa di minum sih?".
"He he he, tidak baik untuk perempuan minum soda malam-malam".
"Huft, menyebalkan".
Abas tertawa melihat wajah adiknya yang tertekuk dengan pipi yang menggelembung apalagi bibirnya yang kini mengerucut.
"Mas tahu jika sekarang pasti banyak hal yang sedang kamu pikirkan, apa mau membaginya dengan Mas?".
Nara menatap wajah saudara sepupunya lantas menghembuskan nafasnya dengan kasar.
"Sejujurnya ada beberapa hal yang mengganggu pikiranku. Semua jawaban yang aku berikan atas pertanyaan kalian tadi tidak semua benar Mas".
"Maksud kamu apa Nar?", tanya Abas dengan ekspresi yang mulai serius.
Nara kemudian menceritakan jika cerita mengenai pertemuannya dengan Vian adalah benar namun tidak dengan kondisi pria tersebut yang di culik dan masih mengenakan pakaian Rumah Sakit apalagi pria itu tengah mengalami amnesia.
"Amnesia? Berarti dia tidak mengingat siapa dirinya?".
Nara mengangguk, kemudian gadis itu menceritakan jika nama Vian, lelaki itu ketahui saat ia masih berada di Rumah Sakit dari seorang perempuan yang mengatakan jika dia adalah Ibunya.
"Aku bohong jika kedua orang tua Mas Vian sudah menerimaku Mas. Dia bahkan tidak mengingat siapa mereka, sedangkan aku bertemu saja belum pernah. Aku takut Ibu khawatir Mas, jadi aku bohong soal itu".
"Nar, apa kalian tidak mencari informasi dari Rumah Sakit di mana Vian sebelumnya di rawat?".
"Hah? Aku malah tidak kepikiran sampai ke sana Mas".
"Coba nanti kamu tanyakan padanya apa dia ingat nama Rumah Sakit dimana dia dirawat".
Nara merutuki kebodohannya, mungkin karena sebelumnya terlalu kalut dengan kejadian yang ia alami itu sehingga membuatnya tidak berpikir hingga kesana.
"Mengenai sikap baiknya padamu itu benarkan tidak bohong?".
"Itu benar Mas, Mas Vian baik padaku dia bahkan memberikan kartu untuk aku belanjakan Mas".
"Kartu? Dari mana dia mendapatkan kartu itu?".
"Ah iya aku belum cerita".
Nara mengalihkan pandangannya dari Abas, menatap lurus ke depan menembus gelapnya malam. Gadis itu kemudian bercerita lagi jika pagi hari setelah kejadian itu, Vian menerima sebuah paket dari seseorang yang tidak di ketahui. Paket tersebut berisi beberapa barang milik Vian berupa pakaian, uang dan juga kartu unlimited tersebut. Dan saat Vian mendapatkan perawatan di Rumah Sakit karena alerginya kambuh semua biaya perawatannya sudah di bayar oleh orang yang juga tidak mereka ketahui.
"Dari ceritamu aku dapat menyimpulkan jika sebenarnya kedua orang tua Vian mengetahui keberadaan putranya, apa kamu memikirkan hal yang sama Nar?".
Nara mengangguk pelan sebagai jawaban, gadis itu menarik nafasnya dalam lalu menghembuskan ya.
"Aku juga berpikir demikian Mas, sebenarnya aku takut orang tuanya tidak menerimaku, yang hanya berasal dari keluarga sederhana dan dari desa pula. Mereka mengirim paket keperluan Mas Vian bisa jadi itu cara mereka mengusirnya secara halus karena anaknya menikah denganku".
"Hush, gak boleh kamu ngomong kaya gitu Nar, Mas yakin mereka punya alasan tersendiri melakukan itu. Kamu ingat waktu pertama kali kalian bertemu, bukannya kamu bilang jika dia di culik, mungkin saja orang tuanya melakukan itu untuk keamanan, keselamatan anaknya dari penjahat. Bukankah keadaan Vian juga sedang sakit?".
"Iya sih Mas, segala kemungkinan bisa saja terjadi", ucap Nara membenarkan ucapan Abas.
"Kalau begitu kamu tidak usah mikirin yang aneh-aneh. Cukup jalani saja sembari mencari tahu pelan-pelan tentang siapa itu Vian sebenarnya".
"Iya, makasih ya Mas". Hati Nara cukup lega dapat bercerita dengan Abas. "Seharusnya sejak tadi aku bicara sama Mas Abas", batin Nara.
"Baiklah sudah malam, lebih baik kita istirahat, Mas ada jadwal pagi besok di Puskesmas", ucap Abas sembari mengacak gemas rambut Nara sebelum ia beranjak pulang.
Abas memiliki sifat yang penyayang, sabar dan juga seorang pendengar yang baik bagi keluh kesah adik-adiknya. Ia bekerja sebagai staf dan juga perawat di Puskesmas yang memang hanya ada satu-satunya di Desa itu.
Akhirnya Nara bisa tidur nyenyak malam ini, walaupun perasaannya masih sedikit gelisah karena Vian yang tak kunjung membalas pesannya.
*****
Tok tok tok
"Nar, Nara bangun Nak".
"Ibu", gumam Nara dengan mata yang masih tertutup. Dengan perlahan mata itu terbuka namun seketika menutup kembali, sinar matahari menyorotinya langsung dari celah jendela.
"Bangun Nak, Ibu mau ke sawah, sarapan sudah Ibu siapkan di meja ya. Oh iya, Ibu sedang masak tahu bacem, nanti jangan lupa di matikan kompornya ya", ucap Bu Murni dari balik pintu tanpa masuk ke dalam kamar Nara.
"Iya Bu, Nara bangun".
Setelah mendengar sahutan dari dalam, Bu Murni pun segera beranjak pergi ke sawah, padi yang ia tanam sudah waktunya di tunggu karena banyak burung yang sudah mengantri untuk memakannya. Sementara itu Nara yang masih dalam keadaan setengah sadar kembali tertidur hingga dua puluh lima menit setelahnya.
Seperti di bangunkan sesuatu, Nara bangun dengan keadaan terkejut, jantungnya berdetak lebih cepat. Iya mengingat-ingat pesan Ibunya sebelumnya.
"Astaga, matiin kompor", ucap Nara setelah mengingatnya.
Gadis itu segera turun dari ranjangnya dan berlari ke dapur. Asap abu-abu dengan bau gosong menguar dari dalam panci yang kini tengah menghitam kehabisan air.
"Yah, tahu bacemnya gosong".
Nara mengangkat panci lantas memasukannya ke dalam wastafel, memutar kran dan mengisi panci tersebut dengan air. Sudah tidak ada tahu yang bisa ia selamatkan.
Tin tin tin.
"Sayur, sayur. Ibu-ibu, Bunda-bunda, mari di pilih di pilih, di beli sayuran segarnya".
Nara yang mendengar suara dari luar seketika langsung berlari ke kamar mandi, mencuci wajah dan mengikat asal rambutnya, di rasa penampilannya sudah cukup baik, Nara segera berlari ke kamar untuk mengambil uang dan berlari kembali keluar.
Baru saja Nara keluar dari rumahnya, sebuah seruan mengalihkan perhatiannya, seorang lelaki yang sebaya dengannya melambaikan tangan saat Nara menoleh menatapnya. Dia adalah Andi teman sekolah Nara saat di bangku SMA.
"Kamu Andi kan?", tanya Nara saat ia sudah sampai di depan lelaki itu.
"Ha ha ha, iya Nar".
"Kamu juga mau belanja?", tanya Nara kembali.
"Tidak-tidak, aku yang jualan Nar".
Nara mengangguk mengerti, teman SMA-nya ini sekarang berkerja sebagai penjual sayur keliling dengan mobil pick up.
"Apa kabar Nar? Sudah lama sekali tidak bertemu".
"Aku baik Ndi, kamu sendiri bagaimana?".
"Tentu saja baik-baik saja, aku bahkan sudah memiliki dua anak Nar sekarang, anak keduaku lahir dua bulan yang lalu".
"Wah, selamat ya Ndi, aku ikut senang".
"Terimakasih Nar, kamu sendiri kapan? Cepetan nyusul, jangan cari cuan terus".
Nara tersenyum mendengar ucapan Andi, baru saja Nara hendak menjawab, tiba-tiba suara seseorang terdengar mendahuluinya.
"Kamu belum tau ya Ndi, Nara ini baru aja nikah Lo", sambung sebuah suara yang Nara sendiri belum mengetahui siapa pemilik suara tersebut. Sesaat kemudian sosok perempuan bertubuh gembul muncul dari balik badan beberapa Ibu-ibu yang tengah memilih sayur.
"Alamat sudah", batin Nara.
"Jadi kabar yang kita dengar itu benar Nar kalau kamu sudah menikah?", tanya salah satu Ibu-ibu yang juga tengah berbelanja.
"Iya Bu, kabar itu benar, saya sudah menikah".
Mendengar ucapan Nara, sontak beberapa Ibu-ibu itu mulai berbisik-bisik. Nara sendiri tau jika pasti dialah yang beberapa hari ini akan menjadi perbincangan asyik para tetangga-tetangganya itu. Nara bertindak acuh, ia sudah menyiapkan mental sebelumnya.
"Selamat untukmu juga Nar. Tapi kenapa undangannya tidak sampai tempatku?", tanya Andi setelahnya.
"Haduh jangankan kamu Ndi yang hanya teman beda Desa, kita aja yang ibaratnya tetangga sebelah rumah aja tidak mendapat undangannya. Iya tidak Ibu-ibu?". Lagi dan lagi, jawab Bu Yati sebelum Nara sempat menjawabnya. Huh ingin sekali Nara menyumpal mulut Bu Yati yang terus saja menyambar perkataannya dengan tahu. Dan ucapan Bu Yati itu mendapat anggukan dari empat Ibu-ibu lainya.
Andi merasa bingung dan tidak enak menatap wajah Nara yang berubah kesal, lelaki itu segera mengalihkan perhatian Nara dengan menawarkan beberapa macam sayuran segar.
"Ndi, ada paket sayur asem?".
"Ada Nar, mau yang lima ribu atau sepuluh ribuan, kalau yang sepuluh ribuan ini komplit, jagungnya juga besar", ucap Andi menjelaskan dagangannya.
Harga sayuran di Desa dengan di kota sangat berbeda jauh, jika saja paket sayur asem yang Nara pilih ini di jual di kota mungkin harganya sudah sampai dua puluh ribu rupiah. Setelahnya Nara menanyakan tahu putih, ikan asin dan juga terasi. Ia berencana memasak tahu itu dengan bumbu bacem agar Ibunya tidak memarahinya. Andi dengan sigap mencarikan dan menyerahkannya kepada Nara.
"Berapa semuanya Ndi?".
Nara yang sedang menunggu Andi menghitung belanjaannya, seorang Ibu-ibu kembali menanyai Nara mengenai dia yang tidak membawa suaminya pulang kemari.
Andi yang menyadari jika suasananya sudah tidak mengenakkan segera memberikan belanjaan Nara dan mengatakan jumlah yang harus gadis itu bayar.
"Terimakasih ya Ndi".
"Sama-sama Nar".
"Mari Bu saya permisi dulu", ucap Nara dengan sikap sopan walaupun hatinya cukup kesal.
Saat Nara hendak beranjak pun Ibu-ibu itu masih memanggil-manggilnya karena rasa penasaran mereka belum terjawab. Tak mendapat respon dari Nara, Ibu-ibu itu beralih menanyai Bu Yati yang berperan sebagai sumber berita bagi mereka.
"Bu Yati kok bisa tau jika Nara memang sudah menikah?".
"Tahulah Bu, saya dengar langsung, saya ada di sana saat Bu Murni dan Pak Darno menanyai Nara".
"Wah, Bu Yati ini benar-benar bergerak cepat ya setiap ada berita bagus".
"Ya tentu lah Ibu-ibu".
"Memangnya kenapa suami Nara tidak ikut ke sini Bu?".
"Kalau itu saya juga belum tahu Bu, tetapi mungkin ya, ini mungkin ya Ibu-Ibu suaminya itu gendut, jelek dan botak, makanya Nara malu membawanya pulang".
"Ha ha ha", terdengar gelak tawa dari semua Ibu-ibu yang menanggapi ucapan Bu Yati.
Nara yang masih berdiri di pintu pagar hanya bisa tersenyum kesal saat mendengar perkataan Bu Yati yang mengatai suaminya seenak jidatnya.
"Huh, andai saja Mas Vian disini".