Untuk mengungkap penyebab adiknya bunuh diri, Vera menyamar menjadi siswi SMA. Dia mendekati pacar adiknya yang seorang bad boy tapi ternyata ada bad boy lain yang juga mengincar adiknya. Siapakah pelakunya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19
Vera menghentikan motornya di tempat parkir sekolah. Hampir semalaman dia tidak bisa tidur memikirkan semua hal. Dia melepas helmnya dan turun dari motor lalu melangkah pergi dari tempat parkir.
Langkahnya terhenti saat melihat Novan berjalan ke arahnya. Kebetulan sekali tempat parkir saat itu sepi.
"Kenapa semalam nggak bisa tidur?" tanya Novan.
Vera tersenyum kecil menatap Novan dan berusaha menjaga ekspresinya agar tetap biasa saja. Dia tidak bisa menunjukkan kecurigaannya secara terang-terangan. Wajah Novan tampak begitu santai, seperti tidak menyimpan rahasia apa pun.
"Aku cuma kepikiran Rhea saja," jawab Vera setelah beberapa detik terdiam.
Novan menatapnya lebih lama dari biasanya. Matanya seakan mencoba menelusuri pikiran Vera, mencari sesuatu yang mungkin disembunyikannya.
"Vera, kalau kamu memang tidak bisa menemukan pelakunya, lebih baik kamu kembali kuliah saja. Agar kamu cepat lulus lalu menikah denganku."
Vera mengepalkan tangannya di sisi rok seragamnya. Kalimat Novan terkesan mengusirnya. "Tidak bisa! Aku harus mencari siapa pelakunya."
Novan tersenyum kecil dan mengusap puncak kepala Vera sesaat. "Kamu terlalu keras pada diri sendiri."
Beberapa saat kemudian, terdengar suara motor mendekat. Buru-buru Novan pergi dari tempat parkir agar tidak ada yang melihatnya.
Vera masih menatap Novan yang menjauh saat suara motor mendekat. Begitu kendaraan itu berhenti, dia melihat Dwiki.
"Cepat banget lo sembuh," ucap Vera.
Dwiki membuka helmnya dan tersenyum santai, seperti tidak terjadi apa-apa. Namun, ada sesuatu yang berbeda darinya hari itu.
Seragamnya yang biasanya berantakan kini tampak rapi. Bajunya masuk ke dalam celana, dasinya terpasang sempurna, dan semua kancing bajunya terkancing rapat. Tidak ada kesan urakan seperti biasanya.
"Perut lo yang sakit, kan? Bukan kepala lo," komentar Vera sambil menyipitkan mata. "Tumben banget lo serapi ini."
Dwiki hanya mengangkat bahu santai. "Gue cuma pengen nyoba sesuatu yang baru."
Vera menyilangkan tangannya, menatapnya penuh selidik. "Jangan bilang lo berubah gini untuk menarik perhatian cewek yang lo suka."
Dwiki tertawa kecil sambil menatap Vera sangat dekat. "Kalau iya?"
"Ya gak papa. Terserah lo." Buru-buru Vera berjalan meninggalkan Dwiki.
Dwiki hanya tersenyum miring. "Lo bakal tahu sendiri nanti." Dwiki berjalan santai di samping Vera menuju kelas, tangannya dimasukkan ke dalam saku celana. Beberapa teman mereka menatap dengan ekspresi heran, berbisik-bisik sambil melirik ke arah Dwiki. Wajar saja, perubahan penampilannya terlalu mencolok.
Biasanya, Dwiki adalah tipe yang tidak peduli dengan aturan. Seragamnya selalu berantakan, dasi entah disimpan di mana, dan dua kancing atas bajunya selalu terbuka. Tapi pagi ini, dia muncul dengan tampilan yang rapi dan bahkan jalannya juga sangat cool.
"Lihat tuh, si Dwiki berubah," bisik salah satu teman mereka.
"Jangan-jangan kesambet," timpal yang lain.
Vera melirik Dwiki dari ujung mata. "Lo sadar gak, banyak yang kaget liat lo gini. Jauh-jauh gih dari gue."
Dwiki hanya menyeringai kecil. "Biarin aja," jawabnya santai.
Namun, sebelum mereka sampai ke kelas, tiba-tiba dua orang muncul dan menarik Dwiki dengan kasar. Riki dan Aldi, dua teman satu gengnya yang selalu nongkrong bareng, menarik tangan Dwiki ke arah lorong yang lebih sepi.
"Sini lo, ada yang mau kita omongin!" kata Riki.
Vera langsung berhenti melangkah, menatap mereka dengan penuh selidik.
"Eh, kalian mau ngapain?" sergahnya, tapi Aldi hanya meliriknya sekilas tanpa menjawab.
Dwiki juga tidak melawan. Dia menghela napas pelan lalu mengikuti langkah mereka, seolah sudah menduga hal itu akan terjadi.
Vera menggigit bibirnya. Rasa penasaran semakin menguasainya. Apa yang sebenarnya mereka bicarakan? Kenapa mereka terlihat seperti sedang menginterogasi Dwiki?
Tanpa berpikir panjang, Vera memutuskan untuk diam-diam mengikuti mereka dari kejauhan.
Vera mengendap-endap di balik tembok, mengintip ke arah gudang tua yang sudah jarang dipakai. Matanya memperhatikan Dwiki yang kini berdiri di tengah-tengah gengnya. Beberapa anak di sana terlihat santai bersandar di dinding sambil merokok, kepulan asap memenuhi udara sekitar mereka.
Kevin, salah satu dari mereka, mengangkat alis saat melihat Dwiki datang dengan seragam rapi. Dia merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sebungkus rokok, lalu melemparkannya ke arah Dwiki agar ikut bergabung merokok bersama mereka.
"Dua hari gak masuk sekolah, lo langsung berubah," ucapnya sambil menyeringai.
Dwiki menangkap bungkus rokok itu dengan satu tangan, lalu tanpa ragu, dia melemparkannya langsung ke tong sampah di dekatnya.
"Kenapa kalau gue berubah?" Dwiki balik bertanya. Dia tahu, Kevin pasti menghasut semua gengnya agar menendangnya keluar dari geng karena Kevin sangat ingin menjadi ketua.
Kevin dan beberapa lainnya yang tadinya duduk kini berdiri, berjalan mendekati Dwiki. Lingkaran yang mereka buat semakin menyempit, membuat Dwiki dikepung.
"Lo berubah karena cewek?" Kevin menyipitkan mata, menatap Dwiki penuh selidik.
"Nggak! Gue memang udah muak dengan kehidupan lama gue," jawab Dwiki tanpa ragu.
Ucapan itu membuat gengnya semakin tidak senang. Lima orang lainnya mulai mendekat lebih agresif, beberapa melipat tangan di dada, yang lain sudah mengepalkan tangannya dan bersiap menghajar Dwiki.
"Muak?" Aldi menyeringai sinis. "Lo yang bentuk geng ini, lo sendiri yang muak!"
"Gue sadar, gue gak bisa selamanya kayak gini karena gue sudah memutuskan untuk lanjut kuliah," jawab Dwiki dengan tenang.
Vera menahan napas sesaat di tempat persembunyiannya. Dia bisa merasakan ketegangan yang semakin meningkat. Jika Dwiki terus bersikeras dengan pendiriannya, bukan tidak mungkin dia akan dipukuli.
Namun, Dwiki tetap berdiri tegak, menatap teman-temannya tanpa rasa takut sedikitpun.
"Kalau lo udah gak mau jadi bagian dari kita," Kevin menekan bahu Dwiki dengan kasar, "maka lo udah bukan siapa-siapa buat kita! Lo bukan lagi ketua kita."
"Oke. Lo ambil saja posisi itu. Selama ini kalian juga gak pernah benar-benar bantu gue. Kalian hanya manfaatin gue."
Satu pukulan keras melayang ke wajah Dwiki dari Kevin.
Dwiki mengusap ujung bibirnya yang berdarah. Dia menahan pukulan Kevin dan balik menyerangnya. Tapi karena lukanya belum sembuh, mungkin dia tidak akan bisa melawan mereka semua.
Vera mengepalkan tangannya, jantungnya berdebar kencang. Jika keadaan semakin memburuk, ia harus melakukan sesuatu. Dia tidak akan membiarkan Dwiki dihajar habis-habisan. Dia segera mengambil ponselnya. "Saga, lo ke gudang kosong di belakang sekolah sekarang sama teman-teman lo. Cepat!"
Setelah memasukkan kembali ponselnya, dia terkejut melihat Dwiki yang akhirnya terjatuh sambil memegang perutnya. Saat Kevin akan menendangnya, Vera berlari dengan cepat. Dia melompat dan langsung menendang Kevin mengenai dadanya hingga membuat Kevin mundur beberapa langkah.
Mereka semua tertawa melihat Vera. "Jadi, ini cewek yang buat lo berubah. Lumayan juga tendangannya."
Vera memasang kuda-kuda dan bersiap memukul siapapun yang mendekat. Setidaknya, dia pernah belajar karate, meskipun mungkin dia tidak bisa melawan mereka semua.
"Vera, pergi dari sini! Ini bukan urusan lo!"
ok lanjuuut...