Kisah kali ini bergenre fantasy lokal, Ini bukan Milky way 4, ini adalah perjalan seorang Resi yang mereka sebut sebagai Maha Guru di cerita Milky Way
ini awal mula sebuah kisah Milky Way. Perjalanan Seorang Resi bernama Mpu Bharada untuk menemukan tanah impian. sebuah tempat dimana dia bisa mendirikan sebuah kebahagiaan dan kedamaian.
Seharusnya ini menjadi flashback tiap episode Milky Way. tetapi karena cerita Milky Way akan berkembang ke arah dataran legenda yang mereka sebut sebagai negara tersembunyi, dan juga Milky Way 4 nanti menceritakan tentang kelahiran kembali Mpu Bharada di era modern, maka saya putuskan untuk membawa kisah perjalanan sang Resi dalam bentuk cerita utuh.
note : cerita ini adalah awal mula. jadi tidak perlu baca Milky Way seri Vallena dulu
untuk nama tokoh, mungkin tidak terdengar asing, sebab saya mengambil nama tokoh tokoh terkenal, mitos mitos dalam sejarah jawa kuno beserta ilmu ilmu kanuragan pada masa lampau
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lovely, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Sari dan Hidup yang Penuh Derita
Langit sore mulai merona merah ketika Sari membawa Mpu Bharada ke rumahnya. Rumah itu kecil, berdinding bambu yang sebagian berlubang, dengan atap rumbia yang hampir runtuh di beberapa sudut. Pintu kayunya reyot, hanya tergantung pada satu engsel, berderit saat dibuka. Di dalam, ruangan itu kosong, hanya ada sebuah tikar tua di atas lantai tanah, dan tungku kecil dengan sisa abu dingin.
Namun, pemandangan yang paling menyayat hati adalah lima anak kecil yang duduk berkerumun di sudut ruangan. Mata mereka besar, penuh rasa takut dan penasaran. Pakaian mereka lusuh, beberapa bahkan robek. Perut mereka kempis, menunjukkan tanda-tanda kekurangan makanan.
Sari segera menghampiri mereka, menenangkan tangis seorang anak bungsu yang masih balita.
“Jangan takut, Nak,” katanya lembut. “Ini orang baik. Dia telah menyelamatkan Ibu.”
Mpu Bharada mengamati pemandangan itu dengan hati yang terenyuh. Sari, wanita muda yang tadi berdiri gagah melawan ketidakadilan, kini tampak rapuh di hadapan anak-anaknya. Ia menggulung lengan bajunya dan mulai menyiapkan makanan seadanya dengan hanya sepiring kecil nasi dengan beberapa potong ubi yang ia simpan.
“Makanlah, Tuan,” katanya sambil menyodorkan piring itu kepada Mpu Bharada. “Ini semua yang aku punya.”
Mpu Bharada menatapnya dengan mata penuh belas kasih.
“Tidak, Sari. Berikan kepada anak-anakmu. Aku tidak lapar.”
Malam itu, setelah anak-anak tertidur, Sari duduk di samping Mpu Bharada. Lampu minyak yang redup menerangi wajahnya yang kelelahan.
“Sari, mengapa kau sampai dianggap pemberontak?” tanya Mpu Bharada perlahan. “Apa yang sebenarnya terjadi?”
Sari menarik napas panjang, suaranya parau menahan kesedihan.
“Aku hanya seorang ibu, Tuan. Suamiku sudah lama tiada. Ia meninggal karena sakit, tak mampu membayar tabib kerajaan yang terlalu mahal. Sejak itu, aku harus bekerja sendiri, mencangkul di sawah orang lain untuk memberi makan anak-anakku.” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.
“Beberapa waktu lalu, Patih Wirakarma datang ke desa ini. Ia meminta upeti lebih banyak dari biasanya. Sawah-sawah hampir tidak menghasilkan cukup untuk kami makan, tetapi dia tetap memaksa. Aku memohon kepadanya untuk memberi kami waktu, tetapi dia malah mengancam akan membakar desa ini jika upeti tidak dibayar.”
Mpu Bharada mendengarkan dengan diam, hatinya semakin berat mendengar cerita itu.
“Jadi, aku melawan,” lanjut Sari. “Aku berdiri di tengah alun-alun desa dan berkata, ‘Tidak ada lagi yang bisa kami berikan.’ Aku tahu itu berbahaya, tetapi aku tidak bisa membiarkan anak-anakku kelaparan sementara mereka hidup mewah di istana.” Suaranya mulai gemetar. “Dan itulah sebabnya aku ditangkap dan dianggap pemberontak.”
Mpu Bharada memejamkan matanya. Ia bisa merasakan penderitaan yang dalam di balik kata-kata Sari. Bukan hanya dia, tetapi seluruh desa ini, bahkan mungkin seluruh rakyat kerajaan, hidup di bawah cengkeraman tirani yang mencekik.
Di pagi hari, Mpu Bharada berjalan mengelilingi desa. Ia melihat kehidupan yang jauh dari kata layak. Anak-anak berlarian tanpa alas kaki, tubuh mereka kurus kering, dan banyak dari mereka tampak sakit. Wanita-wanita tua duduk di depan rumah-rumah yang hampir roboh, menenun kain dengan tangan gemetar. Lelaki-lelaki muda membajak sawah dengan alat sederhana, wajah mereka penuh kelelahan.
Namun, yang paling mencolok adalah kesunyian. Tidak ada tawa, tidak ada kebahagiaan. Desa ini seperti mati perlahan, terkubur di bawah beban yang tak tertahankan. Semua hasil kerja keras mereka diambil sebagai upeti untuk kerajaan. Yang tersisa hanyalah sisa-sisa kehidupan, cukup untuk bertahan hidup dari hari ke hari.
“Bagaimana ini bisa terjadi?” pikir Mpu Bharada.
Ia mengingat istana yang pernah ia tinggalkan sebelumnya. Tempat di mana emas dan perak mengalir deras, tempat pesta-pesta besar diadakan setiap malam. Semua kemewahan itu datang dari keringat dan air mata rakyat seperti mereka.
Sementara itu, di istana Kerajaan Mandaraka, Patih Wirakarma berdiri di hadapan Raja dengan wajah penuh amarah. Raja, seorang pria bertubuh besar dengan mahkota emas yang berkilauan, mendengarkan dengan dahi berkerut.
“Bagaimana mungkin seorang pengembara tua berani melawan hukum kerajaan?” bentak Raja. “Dia menghina kau, dan itu berarti dia menghina aku!”
“Saya minta maaf, Baginda,” kata Patih Wirakarma, membungkuk rendah. “Tapi orang tua itu bukan orang biasa. Dia memiliki kekuatan yang luar biasa. Saya yakin dia bukan sekadar pengembara.”
“Tidak peduli siapa dia,” kata Raja sambil berdiri. Suaranya bergema di seluruh balairung. “Hukum kerajaan tidak boleh dilanggar. Kirimkan ratusan prajurit terbaik kita. Temukan orang tua itu dan bawa kepalanya kepadaku!”
Di desa, Mpu Bharada tahu bahwa waktunya tidak banyak. “Sari,” katanya, memandang wanita itu. “Aku akan pergi. Kehadiranku di sini hanya akan membawa bahaya bagi kalian semua.”
Sari menggenggam tangannya. “Tidak, Tuan. Aku dan anak-anakku berutang nyawa kepada Anda. Jika Anda pergi, siapa yang akan melindungi kami?”
Mpu Bharada tersenyum kecil, tetapi di matanya ada kesedihan yang mendalam.
“Aku tidak bisa tinggal di sini, Sari. Tetapi percayalah, aku tidak akan membiarkan ketidakadilan ini terus terjadi.”
Ketika ia berjalan keluar dari desa, anak-anak Sari memandangnya dengan mata penuh harapan. Di kejauhan, Mpu Bharada bisa merasakan prajurit-prajurit kerajaan mendekat, membawa serta ancaman yang tak terelakkan.
tapi untuk penulisan udah lebih bagus. deskripsi lingkungan juga udah meningkat 👍