Seorang remaja benama Freis Greeya hari memikul takdirnya sebagai penerus dari WIND. Untuk menghentikan pertumpahan saran dan pemberontakan yang dilakukan Para Harimau.
Ini adalah kisah cerita perjalanan Freis Greeya dalam memenuhi takdirnya sebagai seorang WIND, Sang Pengendali Angin.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MataKatra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebenaran yang Sesungguhnya
Bulan ke 11, Tahun 1244
Malam itu Freis Greeya bersama dengan kakeknya, Trois Greeya, sedang makan malam bersama. Dia melahap makanannya perlahan sambil sesekali melirik ke arah sang kakek. Tidak seperti kebanyakan malam yang pada umumnya dia dan kakeknya habiskan dengan bersenda gurau. Hari ini kakeknya begitu diam tanpa mengucapkan sepatah katapun. Terlihat mata kakeknya seperti sedang menerawang jauh, sambil sesekali menghela nafas pendek.
Freis kemudian menengok ke arah jendela di ruangannya. Dan melihat sinar bulan yang menerobos masuk menerangi ruangan.
Beberapa saat kemudian, dia mengumpulkan keberaniannya dan bekata kepada kakeknya.
“Kakek... Bolehkan aku memohon seseuatu kepadamu?”
“Katakan, Freis. Apa yang engkau inginkan itu."
“Aku…"
Freis berkata sambil menundukkan kepalanya berusaha meyakinkan dirinya tentang apa yang ingin dia katakan kepada kakeknya.
“Aku rasa, aku telah cukup dewasa, Kek. Kakek mengerti, cukup dewasa untuk dapat mempertimbangkan baik dan buruknya sesuatu..."
Freis mengintip sejenak wajah kakeknya.
"Dan cukup dewasa pula untuk dapat melindungi diri sendiri.”
“Aku tahu,” jawab Trois sambil tersenyum kecil, “kau sudah bertumbuh. Tapi Nak, kau belum dapat di katakan telah menjadi dewasa seperti yang ada dalam pikiranmu. Usiamu masih terlalu belia untuk dapat dikatakan dewasa, Nak.”
“Tapi bagiku,” Freis berusaha membantah kakeknya, “menurutku, Kek. Seharusnya sekarang… saat ini aku seharusnya telah diberi izin, paling tidak menurutku, untuk dapat memilih apa yang ingin ku lakukan.”
“Apa maksudmu? Apa yang ingin kau lakukan?”
“Seperti,” Freis berusaha berhati-hati dalam memilih kata, “pergi ke pemukiman dan ibukota. Kakek tau, aku terlalu dewasa untuk diperlakukan seperti anak kecil, yang dilarang untuk berpergian jauh ataupun berbicara dengan orang asing. Jadi bagiku sepertinya larangan Kakek, yang selama ini telah kutaati, seharusnya sudah dapat dihapus. Karena sekarang Kakek tidak perlu lagi menghawatirkanku, aku telah cukup dewasa untuk dapat melindungi diriku.”
“Tidak, Nak,” kata Trois dengan tegas. “Kau belum kuizinkan untuk melakukannya. Tidak sekarang… tidak saat ini.”
“Kek!”
“Hentikan Freis!” bentak Trois.
“Jangan membicarakan ini lagi. Kau tahu, sekeras apapun kau berusaha untuk membujuk ataupun meyakinkanku, keputusanku tidak akan berubah. Paling tidak untuk sekarang. Percayalah pada kakekmu ini.”
“Kakek!”
“Freis!!!”
Kemudian Freis pun pergi dengan wajah kecewa. Ia kecewa dengan perlakuan, serta cara berpikir kakeknya itu. Dia terus berjalan dan menghilang dari pandangan kakeknya.
Melihat Freis pergi, Trois sedikit merasa bersalah dengan apa yang telah dilakukannya. Kesalahannya adalah dia masih belum mampu berbicara tentang kebenaran yang sesungguhnya. Dia belum bisa melakukannya, paling tidak untuk sekarang. Membebani pundak Freis dengan tanggung jawab yang besar.
Kemudian Trois pun, terdiam dan kembali tertelan ke dalam keheningan malam.
***
Keesokan harinya, Freis yang kecewa, melampiaskan kemarahanya dengan berlatih pedang di dalam hutan. Dia menerjang, melompat sambil mengayunkan ranting kering di tangannya dengan sangat kuat, tak berirama.
Dia hanya ingin meluapkan segala amarah dan kekecewaannya kepada kakeknya. Dia terus melompat dan menerjang kesana-kemari tanpa tentu arah. Terus melakukannya sambil berteriak keras seolah berusaha meluapkan seluruh emosinya kedalam suara-suara yang keluar dari mulutnya.
Saat itu, yang sepertinya tidak disadari oleh Freis, angin disekitarnya berhembus dengan sangat liar. Mereka berhembus dengan cepat, tidak beraturan, juga tajam. Angin-angin itu menjadi seperti sebilah pedang, yang memotong dan menyayat ranting-ranting dan dedaunan di sekitarnya. Mereka mengikuti setiap gerakan dan lengkukan tubuh yang dilakukan olehnya. Seperti mendampingi setiap letupan-letupan kekecewan dan kemarahan yang meliputi Freis Greeya. Menjadi sangat tajam, liar, dan tak beraturan.
Freis menghabiskan seluruh harinya kala itu dengan meluapkan seluruh amarahnya dalam permainan pedang, dengan ranting kering di tangan kanannya, sampai tubuhnya terlalu letih untuk dapat bergerak kembali. Kemudian, tubuhnya tertunduk letih sambil tangannya bersandar pada kedua tumitnya agar tubuhnya tidak jatuh dan roboh. Kedua matanya menatap kedepan dengan tatapan tidak percaya dan kecewa. Bahkan hingga saat ini, kakeknya tetap memperlakukannya seperti anak kecil. Dia tidak dapat memahami apa yang dipikirkan oleh kakeknya.
Tanpa terasa waktu begitu cepat berlalu. Dan saat Freis menengok ke arah langit, terlihatlah matahari sudah hampir tenggelam.
Sepertinya sudah waktunya untukku kembali.
Freis pun berjalan kembali pulang.
***
Siang itu, Trois sedang mengitari pekarangan rumahnya yang ditumbuhi oleh tanaman-tanaman obat-obatan miliknya.
Saat ini sepertinya Freis pergi ke hutan, yang mungkin sedang melampiaskan kekesalannya disana, seorang diri.
Trois memikirkan apa tentang pembicaraannya dengan Freis semalam, yang diisi oleh keluhan-keluhan cucunya.
“Mungkin inilah keputusan terbaik yang dapat kulakukan. Mungkin sudah waktunya aku menceritakan segalanya..."
Trois berusaha meyakinkan dirinya.
“Mungkin aku sudah terlalu tua...”
Menjadi tua mungkin membuat kita memikirkan banyak hal.
Trois terus berjalan perlahan mengitari pekarangannya sambil sesekali memeriksa daun-daun tumbuhan obat itu.
Kemudian terdengar suara langkah-langkah kaki mendekatinya, dan dilihatnya segerombolan pasukan berjalan memasuki halaman rumahnya.
Saat itu, Trois menyadari bahwa mereka adalah gerombolan Half-blood Harimau, yang dapat terlihat dari corak rambut yang berada di kepalanya. Salah seorang dari mereka, yang sepertinya pemimpin dari gerombolan tersebut, datang menghampirinya.
“Selamat siang, Tuan. Apa saya mengganggu?”
“Tentu saja tidak,” jawab Trois dengan tenang.
“Siapakah tuan-tuan ini sekalian? Adakah keperluan tertentu yang membuat Anda sekalian berkunjung ke hutan terpencil ini?”
“Nama saya adalah Baron,” jawab orang itu.
“Saya adalah kepala pasukan dari The Tiger Kingdom. Dan mereka yang dibelakang saya adalah pasukan yang berada di bawah pimpinan saya. Saya sedang menjalankan tugas untuk mencari seorang anak tertentu, yang sepertinya terlihat di sekitar sini oleh beberapa penduduk, untuk menangkap dan membawanya ke istana.”
“Apa anda pernah melihatnya?” Baron melanjutkan sambil terus menatap Trois dengan teliti, “Seorang anak laki-laki, yang mungkin berada di usia sekitar lima belas tahunan, berambut putih dan hijau muda. Berkeliaran di dalam hutan di sekitar sini, yang menurut kesaksian beberapa penduduk yang melewati tempat ini, ia melompat dari dahan satu pohon ke dahan lainnya dengan mudahnya, serta tanpa ada rasa takut sedikitpun.”
Trois tertawa kecil mendengar ucapan kepala pasukan itu.
“Adakah pemuda yang begitu hebatnya sehingga dapat melompat-lompat di atas dahan-dahan pepohonan yang ada di hutan ini, yang terlihat sangat tinggi itu. Apa Tuanku tidak berpikir bahwa mungkin saja para penduduk itu hanya berimajinasi.”
“Ya, mungkin..."
Baron tersenyum menghormati tuan rumah di hadapannya. Tapi matanya tetap melihat dengan awas dan teliti kearah laki-laki tua di hadapannya.
“Bolehkah saya bersama dengan pasukan-pasukan saya ini beristirahat disini sejenak untuk menghilangkan letih kami?” tanya Baron.
“Tentu, silakan Tuan beristirahat disini sejenak. Atau mungkin Tuan berkeinginan untuk masuk dan beristirahat di dalam?”
Trois berkata sambil menunjuk pondok tua miliknya.
“Bolehkah?” kata baron, “jika Anda berkenan, tentu saya akan sangat berterima kasih jika dapat diperbolehkan duduk sejenak dan beristirahat di pondok yang terlihat sejuk itu.”
“Tentu, kalau begitu silakan masuk.”
Kemudian Trois mengantarkan tamunya ke dalam pondok miliknya, sedangkan para pasukan milik tamunya ini berada diluar dan beristirahat di bawah pepohonan yang ada di sekitar halaman rumahnya sambil sesekali terlihat memetik buah-buah yang berada di pohon tersebut.
“Ruangan yang begitu indah.”
Baron duduk dan terkagum melihat beberapa lukisan, yang sepertinya dilukis sendiri oleh tuan rumah itu. Terlihat pula olehnya satu dua bunga-bunga yang telah dikeringkan lalu di pajang di dinding untuk menghiasi rumah.
“Terima kasih."
Trois menanggapinya sambil tersenyum.
Kemudian mata Baron berhenti di sebilah pedang, sebilah Tachi, yang tergantung di dinding. Pedang yang memiliki gagang dan sarung pedang yang berwarna putih dan dihiasi oleh garis-garis hijau yang terukir indah mengalir dari ujung sarung pedang hingga pangkal gagang.
“Benar-benar pedang yang indah,” komentarnya sambil menatap dalam mata tuan rumah itu.
“Ya."
Mereka pun diam cukup lama sambil saling menatap dengan tajam dan awas.
“Aku tidak menyangka sedang duduk bersama dengan seorang Kepala Pendeta yang termashyur di Prosdimos, Trois Greeya. Seorang Kepala Pendeta dengan pedangnya Anemo yang menjadi simbol dari Kuil Anemos. Dan, bagaimana Anda dapat lari malam itu, bersama mungkin...yang sepertinya telah menjadi penerus WIND selanjutnya.”
“Apa yang sekarang akan engkau lakukan, Tuan? Setelah mengetahui siapa diriku yang sesungguhnya,” tanya Trois dengan begitu tenang.
“Dimanakah ia? Anak itu. Sang penerus WIND selanjutnya.”
“Cukup bijaksanakah pertanyaan itu. Dan, apakah menurut Tuan, laki laki tua ini akan menjawab pertanyaan itu?"
“Tidak, tidak,” jawab Baron sambil menundukkan kepala dan tersenyum kecil. “Tentunya Anda tidak akan pernah menjawab pertanyaan tersebut.”
Dan kemudian mereka kembali saling menatap dengan tajam, dengan tubuh siaga.
***
Dari luar, tiba-tiba para pasukan Half-blood Harimau itu dikejutkan dengan suara ricuh yang berasal dari dalam pondok kayu tempat pemimpinnya beristirahat. Kemudian, terlihat pemimpinnya, yang telah berubah wujud menjadi manusia harimau, bertarung melawan kakek tua yang sebelumnya menyambut hangat mereka. Kakek tua itu bertarung menggunakan sebuah pedang Tachi di tangannya.
Pepimpinnya kemudian meloncat keluar dari pondok itu.
“Berikan Kemayari-ku, cepat!” perintah sang pemimpin dengan teriakan lantang.
Lalu keluarlah sosok laki-laki itu dari pondok kayu itu dengan dengan sebilah pedang putih yang begitu cantik.
Tak berselang lama, pemimpinnya kembali menerjang ke arah lelaki tua itu dengan tombak Kamayari yang telah mereka berikan.
Tapi, tidak butuh waktu lama terlihat dengan sangat jelas pemimpinnya, yang telah memakai tombak dan wujud manusia harimau itu, benar-benar tersudut oleh permainan pedang lelaki tua itu. Permainan pedang yang begitu lembut, tenang dan begitu indah, yang seolah-olah seperti angin yang menembus setiap sela-sela pertahanan yang dimiliki pemimpinnya.
Melihat apa yang sedang terjadi, mereka semua berlarian menghampiri pemimpinnya untuk membantunya melawan lelaki tua yang begitu tangguh itu.
Lelaki tua itu adalah Trois Greeya, Kepala Pendeta dari Kuil Anemos.
***
Matahari mulai terbenam di langit, dan Freis Greeya telah sampai di pondok kayu miliknya. Tetapi betapa terkejutnya ia melihat beberapa orang asing, yang sebagian jatuh tersungkur di halamannya.
Bukan hanya itu, Freis juga melihat kakeknya tersungkur tak berdaya di bawah kaki orang-orang asing itu.
“Kakek!!!"
Freis dengan cepat berlari kearah kakeknya.
Betapa terkejutnya gerombolan itu setelah melihat kemunculan tiba-tiba dirinya.
“Bajingan!”
Teriakan makian keluar dari mulut Freis Greeya, sambil menatap para prajurit di hadapannya dengan penuh amarah.
Beberapa saat kemudian, dengan cepat dan liarnya angin berhembus dan menerjang gerombolan para prajurit itu. Angin itu mengamuk dengan ganasnya, mengkoyak-koyak serta menghempaskan tubuh mereka sejauh-jauhnya, seolah angin sedang berusaha menyingkirkan para prajurit kejam itu dari hadapan Freis Greeya.
Semua terjadi hanya dalam hitungan beberapa menit. Gerombolan prajurit itu telah mati tak bernyawa, terkoyak-koyak oleh amukan angin.
Freis berlutut di dekat tubuh kakeknya, dan menyandarkan tubuh yang terlihat begitu letih dan sakit itu di dalam pelukannya.
Kemudian secara perlahan tangan kanan kakeknya terangkat dan dengan lembutnya mengusap pipi kirinya.
“Freis...Anakku..." suara yang begitu kecil dan penuh kasih itu keluar dari mulut kakeknya.
“Kakek, tolong berhentilah dan jangan berkata apa-apa yang tidak perlu."
Freis gugup melihat keadaan kakeknya.
“Aku… aku akan mencoba melakukan sesuatu. Kakek… tolong... tolong aku! Apa yang harus kulakukan? Apa yang dapat kulakukan untukmu, Kek? Kek!”
Freis berkata-kata sambil menggoyang-goyangkan tubuh kakeknya ringan untuk membuat kakeknya tetap tersadar.
“Kau,” jawab kakeknya dengan lirih, “kau tidak perlu melakukan apa-apa, Anakku. Hanya dengarkanlah aku baik-baik. Waktuku telah hampir habis, aku tahu itu. Setelah ini, aku ingin Kau mencari sebuah buku catatan milikku yang telah kutulis dan kusimpan untukmu…”
Suara kakeknya terhenti oleh batuk kering.
“Kakek!”
“Jangan takut dan dengarkan baik-baik perkataanku,” kakeknya melanjutkan, "Buku itu sengaja kutulis dan kusimpan untukmu. Yang berisikan tentang kebenaran yang selama ini kusembunyikan darimu. Dan, takdir yang harus kau jalani, Anakku.”
“Hiduplah... Anakku,” katanya.
“Hiduplah dan jadilah harapan bagi Prosdimos. Dan maafkan kakekmu ini yang akan memikulkan beban yang begitu berat untukmu.”
Kemudian tangan kakeknya yang mengusap pipinya dengan lembut, perlahan mulai jatuh lunglai. Dan sesaat kemudian, kedua mata kakeknya telah tertutup rapat.
Kakeknya telah pergi meninggalkannya.
Freis menangis, menjerit keras sambil memeluk tubuh kakeknya yang telah tiada itu. Sambil berharap bahwa semua ini hanyalah mimpi buruk, yang beberapa kali telah dialaminya dalam tidur. Ya, dia berharap ini hanyalah mimpi, dan bukan kenyataan. Bukan sebuah tragedi yang sungguh-sungguh terjadi.
***
Keesokan paginya, Freis telah membuang tubuh-tubuh gerombolan orang asing itu dan tubuh seorang manusia yang menyerupai harimau, yang begitu terlihat ganjil baginya, di dalam hutan. Kemudian menguburkan tubuh kakeknya di halaman depan pondok kayu miliknya, yang dihiasinya dengan bunga-bunga yang dia temukan di hutan.
Setelah itu semua, ia pun mencari buku catatan seperti yang dikatakan kakeknya. Buku yang merupakan sebuah catatan dari kakeknya untuknya. Yang berisi tentang kebenaran tentang dirinya.
Dan akhirnya ia menemukannya.
Buku itu berada di laci dimana kakeknya menyimpan peralatan untuk merawat pedang tachi milik kakeknya. Segera ia membaca buku itu.
Setelah membacanya, tahulah ia kebenaran yang sesungguhnya tentang siapa sebenarnya kakeknya. Siapa kedua orang tuanya, serta kehancuran Kuil Anemos. Dan Pedang Tachi 'Anemo' milik kakeknya yang merupakan pedang warisan dari para leluhur Klan Greeya. Serta pemberontakan para Half-blood Harimau dari Leftigris. Dan siapa dirinya, serta alasan kenapa kakeknya selalu melarangnya pergi ke pemukiman.
Ia adalah penerus WIND, Sang Pengendali Angin.
Kedua mata Freis menatap ke dinding. Ia telah mengerti semuanya. Apa beban dan tanggung jawabnya.
Tapi ia hanyalah seorang anak kecil yang kehilangan pijakan kakinya.
Kesepian...
Dan seorang diri...
****
“Telah usai sudah semua kebohongan itu,
Mata buta ini telah sembuh,
Dan, terlihatlah dinding-dinding yang hitam pekat menyelimut ruang,
Sang kebenaran telah datang,
Mengkoyak-koyak selimut kebohongan yang menaungi hati dan jiwa.”
😂
😂