"Kamu tahu arti namaku?" Ucap Acel saat mereka duduk di pinggir pantai menikmati matahari tenggelam sore itu sembilan tahun yang lalu.
"Langit senja. Akash berarti langit yang menggambarkan keindahan langit senja." jawab Zea yang membuat Acel terkejut tak menyangka kekasihnya itu tahu arti namanya.
"Secinta itukah kamu padaku, sampai sampai kamu mencari arti namaku?"
"Hmm."
Acel tersenyum senang, menyentuh wajah lembut itu dan membelai rambut panjangnya. "Terimakasih karena sudah mencintaiku, sayang. Perjuanganku untuk membuat kamu mencintaiku tidak sia sia."
Air mata menetes dari pelupuk mata Zea kala mengingat kembali masa masa indah itu. Masa yang tidak akan pernah terulang lagi. Masa yang kini hanya menjadi kenangan yang mungkin hanya dirinya sendiri yang mengingatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RahmaYesi.614, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Maaf-mu tidak ada gunanya!
"Nona Zea!"
"Kak Lui..."
Tangan Zea sedikit gemetar dengan keberadan Lui tepat dihadapannya.
"Kau mengenalnya, bung?" Pertanyaan yang dilontarkan Mike menyadarkan Lui untuk berhenti menatap Zea.
"Mbak Zea!" Seru seorang karyawannya dari meja kasir.
"I-iya..."
Zea meninggalkan Lui yang masih terus menatap punggungnya. Kemudian Zea melanjutkan pekerjaannya mengantarkan pesanan para pelanggan ke meja meja mereka.
"Siapa dia, bung?"
Lui mengedipkan matanya, menoleh kearah Mike yang begitu penasaran, "Dia... Zea Emila Kurnia."
"Aku gak nanya namanya, bung. Aku mau tau apakah kau mengenal... what?!" teriaknya dengan mata melotot menoleh kearah Zea.
"Zea Emila Kurnia yang..."
"Iya. Dia wanita yang mengkhianati Tuan muda."
"Wah... big news..."
Berulang kali Mike menoleh pada Zea yang sibuk mengantarkan pesanan pelanggan. Sesekali dia menggeleng, kadang mengelus dadanya sendiri dan menatap tak percaya dengan gosip yang selama ini beredar di rumah utama tentang sosok Zea Emila Kurnia.
"Untuk sementara rahasiakan tentang ini dari tuan muda."
"Why?!"
"Jangan banyak tanya, hanya lakukan yang aku perintahkan!"
"Baiklah." sahutnya malas.
"Aku duluan. Ingat jangan mengganggu nona Zea. Aku tahu kau terpesona padanya."
"Iya. Tenang saja. Mana berani aku menggoda mantan kekasih tuan muda. Bisa bisa kepalaku dibolongi oleh tuan muda."
Lui hanya menggeleng menanggapi ocehan Mike, lalu dia segera pergi meninggalkan Kafe itu dengan berbagai pertanyaan memenuhi kepalanya.
.
.
.
Kafe tutup jam sepuluh malam. Semua karyawan sudah pulang dan kini tinggal Zea sendirian. Sebelum pulang dia memastikan lagi apakah semua mesin pembuat kopi sudah dimatikan, tidak ada kompor yang menyala dan setelah semua dipastikan dalam keadaan aman barulah dia keluar dari kafenya.
"Nona Zea."
Lui berdiri tepat didepannya, menghalangi langkahnya yang tadi hendak mencari kendaraan yang akan mengantarnya pulang.
"Bisa bicara sebentar?" tanya Lui yang diangguki setuju oleh Zea.
Lui membukakan pintu depan mobil, "Masuklah, Nona. Kita bicara ditempat lain yang lebih nyaman."
Zea pun menurut saja tanpa banyak bicara. Sebenarnya dia juga memiliki beberapa pertanyaan yang ingin dia tanyakan pada Lui.
Mobil itu melaju cepat dan berhenti di bagian rest area pinggir jalan raya yang mengizinkan mobil untuk berhenti disana.
"Nona Zea sudah makan?"
"Belum."
"Mau bicara di restoran sambil makan?"
"Tidak usah. Disini saja." tolaknya.
Lui meraih paper bag yang ada di kursi belakang mobil, menyerahkannya pada Zea. "Makanlah, saya baru membelinya."
Zea mengintip isi paper bag itu yang ternyata ada seporsi nasi ayam penyet, lengkap dengan sambal dan lalapan. Makanan kesukaannya. Lui masih mengingatnya karena memang dialah yang dulu selalu bertugas membelikan makanan untuk kekasih tuan mudanya itu.
"Kapan Nona Zea kembali?"
"Dua minggu yang lalu." jawabnya tanpa berani menatap pada Lui.
"Dimana Nona selama ini?"
"Bisakah kak Lui tidak memanggil dengan sebutan Nona lagi? Aku bukan lagi kekasih tuan muda Acel. Rasanya tidak pantas dipanggil seperti itu."
"Baiklah, aku akan bicara santai. Jadi, dimana kamu selama ini?"
Pertanyaan itu tidak akan pernah bisa dijawab oleh Zea. Dia sudah berjanji tidak akan pernah memberitahu siapapun dimana dia selama delapan tahun terakhir. Janji itu dia buat dengan Alia dan Handi yang tidak lain adalah orangtua dari Acel dan Lui. Zea tidak ingin membuat hubungan anak dan orangtua hancur hanya karena keegoisan dirinya yang bukan siapa siapa.
"Kenapa kamu diam saja?"
"Aku... aku kembali ke kampung kelahiran Ibuku."
"Bohong. Kamu pikir aku tidak tahu dimana kampung kelahiran Ibu kamu? Kamu pikir tuan muda akan diam saja dan tidak mencarimu ke sana?"
Hati Zea terasa sakit membayangkan Acel mencarinya kemana mana setelah dia menghilang begitu saja tanpa kabar sama sekali.
"Lalu, dimana anakmu?"
"Kenapa kamu diam saja, Zea? Jawab?!"
"A-anakku... dia..." Zea tidak bisa melanjutkan ucapannya. Mengingat tentang itu membuatnya susah bernapas.
"Apa lelaki itu membuangmu dan mengambil anakmu? Karena itukah kamu kembali?!" Lui menghela napas berat, "Kamu tidak tahu sehancur apa Tuan muda setelah mengetahui perselingkuhanmu dengan Rudi, lalu kamu pergi begitu saja tanpa mengatakan apapun. Kamu..." Lui tidak mampu melanjutkan ucapannya saat melihat bulir bening menetes dipelupuk mata Zea.
"Jangan pernah muncul dihadapan tuan muda apapun yang terjadi. Sudah cukup kamu menghancurkan hatinya dan membuatnya bahkan sampai hampir kehilangan segalanya." Ucap Lui penuh penekanan sarat akan rasa kecewa yang teramat dalam.
Air mata menetes begitu saja dari kedua pelupuk mata Zea, kala mendengar cerita Lui tentang betapa hancurnya Acel setelah kepergiannya selama ini. Rasa bersalah itu terus menyiksanya. Kepulangannya saat ini hanya karena ingin meminta maaf pada pria itu dan menjelaskan semuanya. Namun, kini harapannya untuk bisa menemui Acel telah pupus saat mengetahui ternyata dirinya telah menggoreskan luka yang teramat dalam bagi pria itu.
"Maafkan aku, kak. Maafkan aku..."
"Maafmu tidak ada artinya bagi tuan muda Acel. Pengkhianatan yang kamu lakukan sungguh tidak manusiawi."
"Aku tidak bermaksud kak. Aku... aku..."
"Tuan muda sangat mencintai kamu. Dia rela memberikan apapun untukmu, tapi mengapa kamu malah lari dengan pria lain dan kamu bahkan sampai hamil. Itu sangat menyakiti tuan muda, Zea!"
Mulut Zea tertutup rapat, kedua tangannya saling bertautan menggenggam erat. Hatinya sakit mendengar pernyataan Lui yang menjelaskan seperti apa luka yang telah dia goreskan untuk Acel sejak kepergiannya. Rupanya, begitu cara Alia menghancurkan hidupnya dengan mengarang cerita menjijikkan seperti itu untuk membuat Acel membencinya.
"Maafkan aku..." ucap Zea terakhir kalinya sebelum akhirnya dia turun dari mobil itu dan melangkah pergi tanpa pamit.
Lui hanya menatap lirih kepergian Zea tanpa berniat menghentikannya dan menanyakan alasan sebenarnya dia kembali.
.
.
.
Zea menangis sejadi jadinya di dalam kamar mandi apartemen Lia. Hatinya hancur setelah mengetahui kenyataan pahit yang selama ini disalahpahami oleh Acel tentang dirinya yang menghilang tiba tiba. Keinginannya untuk memberitahu Acel tentang bayinya pun tidak akan pernah terungkap sampai kapanpun. Meski di ungkapkan sekalipun Acel pasti tidak akan percaya, sebab malam itu saat Acel menyentuhnya, kejadian itu berlangsung begitu saja dan Acel dalam keadaan mabuk berat.
"Maafkan Mama nak... maafkan Mama..."
"Selamanya, Papamu tidak akan pernah tahu tentang kamu yang sempat hadir dalam rahim Mama. Selamanya Papamu tidak akan pernah tahu, Mama pernah berjuang sendirian untuk melahirkan kamu... maafkan Mama."
Tangisan pilunya menggema diseluruh sudut kamar mandi, bahkan terdengar sampai keluar. Lia yang baru saja tiba di rumah, terkejut mendengar tangisan sahabatnya itu. Dia hanya bisa menemani dibalik pintu kamar mandi.
Lia bisa saja memaksa masuk, lalu memeluk Zea dan menangis bersama, tapi dia urungkan karena dia pikir Zea tidak mau seorangpun tahu tentang tangisannya. Dan Lia sangat mengenal sahabatnya yang memang selalu memendam masalahnya sendiri. Zea tipe orang yang tidak ingin merepotkan orang lain dengan berbagi masalah hidupnya terlebih tentang kesedihannya.