Di sebuah taman kecil di sudut kota, Sierra dan Arka pertama kali bertemu. Dari obrolan sederhana, tumbuhlah persahabatan yang hangat. Setiap momen di taman itu menjadi kenangan, mempererat hubungan mereka seiring waktu berjalan. Namun, saat mereka beranjak remaja, Sierra mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Perasaan cemburu tak terduga muncul setiap kali Arka terlihat akrab dengan gadis lain. Akankah persahabatan mereka tetap utuh, ataukah perasaan yang tumbuh diam-diam akan mengubah segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon winsmoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
Matahari sore merambat perlahan di langit jingga, memancarkan sinar hangat yang menyapa taman kecil di sudut Kota. Siera Anindita, seorang gadis kecil dengan rambut dikuncir dua, sedang sibuk menyusun batu-batu kecil di tepi jalan setapak. Tiba-tiba, seorang anak laki-laki dengan senyum lebar dan wajah ceria menghampirinya.
“Halo! Kamu lagi apa?” tanya Arka, bocah yang pindah ke daerah itu bersama kedua orangtuanya.
Siera menatapnya dengan waspada, tapi akhirnya tersenyum kecil. “Bikin jalanan buat semut.”
Arka Ravindra Wiratama yang biasa dipanggil Arka tertawa, lalu duduk di sampingnya. Begitulah awal dari sebuah persahabatan. Setiap sore, mereka bertemu di taman kecil itu, bermain bersama, berbagi cerita dan menikmati dunia kecil mereka.
Persahabatan mereka semakin erat saat masuk SD. Arka selalu melindungi Siera dari anak-anak yang suka mengganggunya. Sebaliknya, Siera menjadi tempat Arka bercerita ketika dia merasa sedih.
Ketika SMP, Arka mulai menarik perhatian orang-orang di sekitarnya terutama para gadis. Siera yang sebelumnya santai, mulai merasakan sesuatu yang aneh setiap kali melihat Arka dikelilingi teman-teman perempuannya.
Saat memasuki bangku SMA, kepopuleran Arka semakin menarik perhatian banyak orang. Penampilan yang menawan, ditambah dengan kepribadiannya yang karismatik, membuatnya menjadi pusat perhatian di sekolahnya.
Arka bukan hanya dikenal karena wajah tampan, tetapi juga karena kepandaiannya dalam olahraga, terutama basket. Setiap kali ada pertandingan, sorak penonton selalu menggema menyebut namanya. Tidak hanya itu, Arka juga sangat pintar dalam bidang akademik, menjadikannya sosok yang dikagumi baik oleh teman-teman sebayanya maupun guru-guru.
Melihat Arka yang semakin hari dikelilingi oleh banyak orang, terutama para gadis di sekolah mereka, membuat Siera merasa ada sesuatu yang mengusik hatinya. Awalnya, dia mengira itu hanya rasa tidak nyaman karena perhatian Arka, sahabatnya sejak kecil, mulai terbagi. Tetapi semakin lama, perasaan itu tumbuh menjadi sesuatu yang lebih rumit.
Setiap kali Siera melihat Arka tersenyum atau berbicara akrab dengan gadis lain, ada rasa sesak yang tidak bisa dia abaikan. Dia sering mencoba mengalihkan pikirannya dengan berkumpul bersama teman-temannya atau menyibukkan diri dengan menggambar dan melukis, tetapi bayangan Arka selalu kembali.
“Kenapa gue jadi begini, sih?” gumam Siera suatu sore, saat dia duduk di taman kecil mereka, tempat yang kini jarang dikunjungi Arka karena kesibukannya.
Siera tahu, dia tidak punya hak untuk merasa seperti ini. Arka bebas berteman dengan siapa saja, dan dia harus bahagia untuk sahabatnya itu. Tapi, semakin dia mencoba mengabaikan, semakin kuat rasa tidak suka muncul setiap kali melihat Arka akrab dengan gadis lain.
Namun Siera tidak berani mengungkapkan perasaannya. Dia takut hubungan persahabatan mereka berubah, atau lebih buruk lagi, berakhir. Jadi, dia memilih menyimpan semuanya dalam hati, berharap suatu saat, perasaan aneh itu akan hilang dengan sendirinya.
Yang tidak Siera sadari, setiap kali dia menyembunyikan rasa itu, senyumnya pada Arka perlahan berubah. Senyum dulu ceria dari gadis cantik itu kini terasa getir, meski Arka tidak pernah benar-benar menyadarinya.
***
Keesokan paginya, Siera berdiri di depan rumahnya, menunggu Arka seperti biasanya. Setiap pagi, Arka selalu datang menjemputnya untuk berangkat ke sekolah bersama. Namun, pagi ini terasa berbeda. Sudah lebih dari lima belas menit berlalu, tapi tidak ada tanda-tanda Arka akan muncul.
Dia mengeluarkan ponselnya dan mengirim pesan singkat: “Arka, lo di mana? Gue udah siap nih.” Namun pesan itu hanya berstatus terkirim tanpa balasan.
Siera mencoba meyakinkan dirinya bahwa mungkin Arka sedang sibuk atau terlambat. Tapi ketika waktu semakin mendekati bel masuk, dia tidak punya pilihan lain. Dengan langkah berat, gadis berambut panjang itu memutuskan untuk berangkat sendiri.
Ketika Siera tiba di depan gerbang sekolah, suara deru motor yang familiar terdengar dari belakangnya. Dia menoleh, dan benar saja, itu Arka. Hatinya yang sempat lega tiba-tiba membeku saat meihat seorang gadis duduk di bagian belakang motor Arka.
Gadis itu mengenakan seragam yang sama dengan mereka, rambutnya terurai, tampak akrab berbicara dengan Arka sambil tertawa kecil. Arka terlihat santai, seolah tidak ada yang aneh, bahkan tidak menyadari keberadaan Siera di sana.
Siera hanya berdiri mematung, menatap motor itu melewatinya tanpa sedikitpun melambat. Ada rasa sakit yang menghantam dadanya, perasaan asing yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Dia menunduk, menggenggam tali tasnya erat, mencoba menenangkan diri.
“Kenapa gue merasa seperti ini?” pikir Sierra, tetapi dia tidak berani menjawab pertanyaannya sendiri. Yang dia tahu, ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang membuatnya merasa semakin jauh dari Arka, sahabatnya yang dulu selalu ada untuknya.
Siera kemudian melanjutkan langkahnya untuk memasuki ruangan kelas mereka. Pandangannya menyapu seluruh ruangan, memastika seseorang yang ternyata belus sampai dikelas mereka. Ia menghela napas pendek lalu duduk di bangkunya.
Namun, detik berikutnya, suara langkah kaki terdengar dibalik pintu. Siera langsung menoleh, dan disalah dia. Sososk remaja tampan dengan senyum tipis yang membuatnya kesal pagi ini.
“Kok lu nggak ngabarin dulu, kalau hari ini nggak berangkat bareng gue? Ucap Siera dengan nada kesal saat Arka melewatinya dan duduk di bangku belakangnya.
Arka menatap Siera sekilas sebelum menjawab dengan santai, “Sorry banget, Sie. Tadi mendadak soalnya.”
“Seenggaknya kabarin gue, biar gue nggak kelamaan nungguin lo. Hampir telat, tau!” kesal Siera.
Arka tersenyum tipi, seolah mencoba meredakan suasana. “Tapi lo nggak telat juga kan, jadi aman aja.”
Siera mencoba untuk tetap tenang, namun hatinya sedikit tergores. “Tapi nanti pulang sekolah, lo jadi temenin gue beli alat lukis baru, kan?”
Arka tampak berpikir sejenak, lalu menggelengkan kepala. “Kayaknya nggakbisa deh, Sie. Gue udah janji mau nganterin Kyla pulang.”
Siera menatap Arka dengan pandangan tak percaya. “Loh, kan janjinya udah dari kemarin mau temenin gue, gimana sih?” tanyanya.
Arka menggaruk tengkuknya, terlihat canggung. “Maaf, Sie. Gue lupa banget soal itu. Tadi Kyla minta tolong dianterin, dan gue terlanjur bilang iya.”
Siera menggigit bibirnya, menahan kesal yang mulai membakar dadanya. Dia tahu Arka sibuk dengan kehidupannya sendiri, tapi mendengar nama Kyla yang sering disebut dari tadi membuatnya merasa semakin terabaikan. “Ohh… yaudah,” jawab Siera pelan, berusaha menyembunyikan kekecewaannya.
Siera memalingkan wajahnya, menatap ke luar jendela kelas. Jawaban singkatnya tadi terasa dingin, bahkan bagi dirinya sendiri. Tapi dia tidak peduli. Perasaan kecewa yang terus menumpuk membuatnya sulit bersikap biasa.
Arka, yang duduk di belakang Siera, menghela napas pelan. “Sie, gue serius kali ini. Besok gue pasti temenin lo. Janji deh.” Suaranya terdengar lembut, penuh harapan agar Siera mau mempercayainya.
“Terserah lo aja,” jawabnya singkat, tanpa emosi. Padahal, di dalam hatinya, ada perang besar yang sedang terjadi.
Arka terlihat tidak menyadari perubahan sikap Siera. Dia hanya mengangguk, seolah masalah ini sudah selesai. Sementara itu, Siera kembali menatap buku yang ada diatas mejanya berusaha menyembunyikan ekspresi kecewanya. Dalam hatinya, ia tahu masalah ini lebih dari sekedar menunggu atau janji yang tidak ditepati, tetapi ada rasa yang tidak bisa dia ungkapkan, dan sikap Arka yang seolah tak peduli hanya membuat luka kecil di hatinya semakin terasa.
Siera menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, Namun, bayangan gadis yang tadi dibonceng Arka kembali muncul di benaknya, membuat dadanya sesak lagi. “Arka, lo beneran nggak ngerti atau pura-pura nggak ngerti sih?” batinnya.