Hidup Kian berubah drastis setelah kecelakaan tragis yang merenggut nyawa ibu Keira, putri dari sahabat dekat kakeknya. Di tengah keputusasaan, Kian harus menghadapi permintaan terakhir dari ayah Keira yang sedang kritis—sebuah permintaan yang mengguncang hatinya: menikahi Keira dan melindunginya dari segala ancaman yang mengintai. Terjebak di antara janji yang berat dan perasaannya yang masih tak percaya pada cinta karena Stella, mantannya yang mengkhianati.
Kian dihadapkan pada pilihan sulit yang
akan menentukan masa depan mereka berdua. Haruskah ia memenuhi janji terakhir itu atau mengikuti kata hatinya yang masih dibayangi cinta masa lalu? Di tengah kebimbangan dan tekanan dari berbagai pihak, keputusan Kian akan mengubah hidup mereka selamanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keisar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ternyata benar
Setibanya di Inggris, Kian segera menuju hotel untuk bersiap-siap. Ia mengenakan pakaian serba hitam, dilengkapi dengan mantel panjang untuk melindunginya dari dinginnya udara Februari yang menusuk. Meskipun sudah hampir memasuki musim semi, hawa dingin masih terasa mengigit kulitnya.
Ia memandangi bayangan dirinya di cermin. Sosoknya yang tinggi tegap terlihat sempurna, tapi hatinya tidak merasa demikian. “Hah, semoga itu semua cuma gosip belaka,” bisiknya pada diri sendiri, cemas memikirkan kebenaran tentang Stella.
Tok...tok...tok.
“Ian, udah siap?” suara berat Deren terdengar dari luar.
“Udah!” jawab Kian sambil mengambil napas panjang. Ia melangkah menuju pintu, membuka pintu kamar hotelnya, dan di sana, Deren sudah berdiri dengan pakaian rapi, siap menemaninya menghadapi kenyataan pahit.
Mereka berjalan menuju lift dengan langkah mantap, namun tiba-tiba Kian merasa seseorang menabraknya dari belakang.
“Ya Allah, kenapa gua sial banget ditabrak orang mulu,” gumam Kian sambil berbalik. Di hadapannya, seorang wanita sedang berusaha menjaga keseimbangan tubuhnya. Wanita itu mengenakan kemeja putih, blazer merah marun, dan celana hitam yang elegan. Wajahnya tampak familiar.
“Kian?!/Keira?!” mereka berdua serentak terkejut.
Keira, yang sedikit tergesa-gesa, segera meminta maaf. “Ian, maaf banget! Gue gak sengaja.”
Namun, Kian malah terpaku. Pandangannya terpaku pada wajah Keira, membuat pikirannya melayang. “Cantik,” pikir Kian dalam hati, tak mampu menutupi kekagumannya.
Keira melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Kian, membuyarkan lamunannya. “Ian, hallo? Lu kenapa bengong?”
“Oh, iya. Maaf Ra,” Kian akhirnya tersadar. “Lu buru-buru banget sampai nabrak gua tadi. Ada urusan apa?”
“Ada rapat sama para dewan direksi. Gak bisa telat nih, mereka udah nungguin,” jawab Keira cepat, matanya tampak sedikit panik.
“Rapatnya jam berapa?” tanya Kian sambil berjalan bersamanya menuju lift.
“Jam 10, tapi papa bilang, kita harus selalu lebih cepat dari dewan direksi sebagai bentuk penghormatan.”
Kian tersenyum kecil. “Santai aja, Ra. Gak usah buru-buru banget.”
Keira tersenyum kembali, meski di dalam hatinya perasaan cemas masih menggelayut. Mereka melanjutkan obrolan ringan sambil berjalan menuju lobi hotel. Tanpa mereka sadari, Deren, yang mengamati dari belakang, merekam interaksi mereka dengan ponselnya, senyum tipis menghiasi wajahnya.
Setibanya di luar hotel, mobil BMW sudah menunggu, dengan George berdiri di sampingnya. Kian melambaikan tangan kepada Keira. “Semoga rapatnya lancar ya, Ra.”
Keira membalas senyuman Kian, dan seolah semua tekanan dari pekerjaannya menghilang hanya dengan melihat senyumannya. “Thanks, Ian.”
Saat mobil mulai melaju, Keira memandangi jendela dengan tatapan kosong. Di pikirannya, wajah Kian terus membayang. Jantungnya berdebar kencang, membuatnya tidak bisa tenang.
“Apa yang salah sama gue? Kenapa gue jadi begini? Apa gue mulai suka sama Kian?” batinnya penuh keraguan.
Namun, Keira segera menggelengkan kepalanya, menolak pikirannya sendiri. “Nggak mungkin! Kian kan udah punya pacar. Gue nggak mungkin jatuh cinta sama dia,” ia bergumam pelan, berusaha menepis perasaan aneh yang mengusik hatinya.
“Miss, are you okay?” George yang menyetir memperhatikan ekspresi Keira lewat kaca spion.
Keira tersadar dan langsung tersenyum samar. “I’m fine, George. Nggak usah khawatir.”
George menghela napas, masih merasa curiga. “Baiklah, tapi kalau ada apa-apa bilang ya.”
Keira mengangguk pelan. Namun, di dalam hatinya, ia tahu bahwa perasaannya semakin rumit.
---
Sementara itu, Kian dan Deren tiba di sebuah restoran yang menjadi tujuan mereka. “Ayo, Ian,” ajak Deren saat mereka keluar dari mobil.
Kian ragu sejenak, kakinya terasa berat. “Gue nggak yakin bang... kalau apa yang gua takutkan itu beneran terjadi... gua nggak tahu bisa nerima atau nggak.”
Deren menepuk pundaknya, berusaha menenangkan adiknya. “Ian, terlepas dari benar atau nggak, lu harus siap nerima kenyataannya. Ini hidup lu, lu nggak bisa lari.”
Dengan setengah hati, Kian mengangguk. Mereka kemudian berpisah, Deren mencari di area luar restoran sementara Kian memasuki bagian dalam restoran. Di dalam, Kian mengamati setiap sudut, berharap semua hanya kesalahpahaman. Hingga akhirnya, ponsel Kian bergetar.
“Ian, mereka ada di belakang restoran. Cepet!”
Tanpa menunggu lebih lama, Kian segera menuju ke luar restoran, menuju bagian belakang. Di sana, ia menemukan Deren yang berdiri memerhatikan sesuatu dengan serius.
“Bang, apa...”
“Ssst!” Deren mengisyaratkan Kian untuk diam, menunjuk ke arah pasangan yang sedang duduk di salah satu meja di ujung.
Jantung Kian berhenti sejenak ketika melihat sosok yang sangat dikenalnya. Stella. Dan yang lebih menyakitkan lagi, Stella tidak sendiri. Di depannya, duduk seorang pria yang tak asing lagi bagi Kian—Lio, mantan sahabatnya.
Pandangan Kian menggelap. Hatinya terasa seperti dihantam ribuan palu. Stella, yang pernah ia cintai sepenuh hati, kini terlihat mesra dengan orang yang paling ia benci.
Kemudian, tanpa bisa ia kendalikan, Stella dan Lio berciuman.
Plak...plak...
Tepukan tangan sinis terdengar dari arah Kian, membuat Stella dan Lio terkejut. Wajah keduanya memucat ketika melihat Kian berdiri di depan mereka.
“Kian?!” Stella tergagap, tidak percaya.
“Halo, sayang,” ucap Kian dengan nada sarkastis. “Udah puas ciumannya?”
“Ian! Aku bisa jel-”
“Sstt...” Kian menempelkan telunjuknya di bibir Stella, menatapnya dengan tatapan dingin dan penuh kebencian. “Nggak usah jelasin apa-apa. Hati gue udah cukup sakit gara-gara lu. Lonte!”
Kata-katanya begitu tajam, membuat Stella menunduk.
Amarah Lio meledak. Tanpa peringatan, ia melayangkan pukulan keras ke wajah Kian, membuatnya terhuyung ke tanah.
“Bangsat lu!” Lio berteriak, wajahnya merah menahan emosi.