"Kak Zavin kenapa menciumku?"
"Kamu lupa, kalau kamu bukan adik kandungku, Viola."
Zavin dan Viola dipertemukan dalam kasus penculikan saat Zavin berusia 9 tahun dan Viola berusia 5 tahun. Hingga akhirnya Viola menjadi adik angkat Zavin.
Setelah 15 tahun berlalu, tak disangka Zavin jatuh cinta pada Viola. Dia sangat posesif dan berusaha menjauhkan Viola dari pacar toxic-nya. Namun, hubungan keduanya semakin renggang setelah Viola menemukan ayah kandungnya.
Apakah akhirnya Zavin bisa mendapatkan cinta Viola dan mengubah status mereka dari kakak-adik menjadi suami-istri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 5
Viola menunggu dengan gelisah di dekat gerbang belakang kampus, tempat yang jarang dilewati orang setelah jam kuliah selesai. Matanya terus menatap ponselnya, berharap Dika segera datang. Meski sinar matahari masih terang benderang tetap saja rasa khawatir menyelimutinya. Dia sudah berkali-kali mengecek pesan dari Dika, tapi balasannya hanya singkat: "Tunggu di sana sebentar."
"Ngapain sih Dika nyuruh aku nunggu di sini?" gumam Viola pelan, merasa semakin tidak nyaman. Jantungnya berdegup kencang, seolah ada sesuatu yang mengawasinya dari balik semak-semak atau tembok kampus yang tinggi itu. Dia menoleh ke kiri dan ke kanan, memastikan tidak ada orang lain di sekitar, tapi tetap saja perasaan itu tak hilang.
Viola menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. Namun, saat dia mendengar suara langkah kaki mendekat dari belakang, tubuhnya langsung tegang. Dia merasa semakin takut, dan tanpa pikir panjang, dia segera menghubungi Dika melalui ponselnya.
Sebelum sempat tersambung, sebuah tangan tiba-tiba menyentuh bahunya. Viola langsung menjerit, tubuhnya refleks mundur, tetapi suara yang familiar menghentikan rasa takutnya.
"Vio, ini aku..." Suara Dika terdengar menenangkannya.
Viola menghela napas lega setelah menatap Dika. "Kamu kok lama?" tanyanya dengan kesal, meski hatinya mulai tenang. Dia duduk di kursi kayu yang ada di dekat gerbang dan mengusap pelipisnya yang mulai berkeringat karena panik.
"Maaf, tadi ngobrol sebentar sama Ryan," jawab Dika sambil duduk di sebelahnya. Dengan lembut, dia mengusap pelipis Viola yang masih berkilau oleh keringat. Sentuhannya membuat Viola lebih nyaman.
Viola tersenyum, tapi bayangan ketakutan itu masih terbayang di benaknya. "Nggak tahu kenapa aku selalu merasa takut kalau berada di tempat sepi sendirian," katanya dengan suara pelan.
"Mungkin kamu punya trauma di masa lalu," kata Dika sambil terus menatap Viola.
Viola menghela napas panjang. "Aku nggak tahu. Aku memang nggak ingat apa-apa tentang masa kecilku. Kata Mama, aku pernah demam tinggi waktu umur enam tahun sampai kejang. Setelah itu, ingatanku hilang."
Dika mengangguk, mencoba mengerti cerita singkat Viola. "Mungkin efek dari demam yang terlalu tinggi sampai kamu lupa atau mungkin otak kamu yang menolak mengingat semuanya."
"Entahlah."
Perlahan, Dika meraih tangan Viola dan menggenggamnya erat. "Kalau kamu takut sendiri, mulai sekarang aku nggak akan ninggalin kamu sendirian. Aku janji."
Dika semakin menatap wajah cantik Viola. "Mau langsung pulang?" tanyanya.
Viola menghela napas sebelum menjawab, "Sebentar lagi," gumamnya. Ada sesuatu yang membuatnya enggan beranjak, mungkin kehangatan dari genggaman Dika atau ketidakpastian yang terus bergelayut di pikirannya.
"Nanti malam aku jemput di dekat pertigaan rumah kamu ya. Raisa ke rumah kamu dulu kan?" tanya Dika. Dia semakin menghapus jarak di antara mereka.
Viola hanya mengangguk. Meski sebenarnya dia takut, bagaimana kalau Zavin mengetahuinya? Pasti semuanya akan gagal.
Dika terus menatap Viola, tatapan yang begitu dalam hingga membuat Viola merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Perlahan, Dika mendekatkan wajahnya ke arah Viola, jarak di antara mereka semakin tipis.
Viola bisa merasakan napas Dika yang mulai menyentuh kulit wajahnya. Tapi tepat ketika jarak di antara mereka nyaris hilang, suara dering ponsel Viola memecah momen itu.
Viola tersentak dan segera melihat layarnya. Seketika wajahnya berubah kesal ketika nama yang tertera di layar adalah Zavin. Ia mendesah pelan, hampir ingin mengabaikan panggilan itu, namun naluri lamanya membuat tangannya bergerak untuk mengangkat. Dika, yang sudah terlihat kecewa, mencoba menahannya.
"Sebentar aku angkat dulu," ucap Viola.
"Pasti kakak kamu nyuruh kamu pulang," gumam Dika.
Viola mengangguk pelan, "Iya, aku sudah hafal apa yang akan dikatakannya." Viola berdiri dan sedikit menjauh lalu mengangkat panggilan itu.
"Vio, cepat pulang sekarang. Sopir sudah jemput di depan gerbang," kata Viola mendahului perkataan Zavin karena dia sudah hafal apa yang dikatakan Zavin padanya saat dia tidak membawa kendaraannya sendiri. "Kak, alasanku gak bawa motor itu biar aku bisa pulang sama Dika."
"Tidak! Kamu pulang sekarang!"
Viola berdengus kesal. "Ya udah, untuk hari ini aja, tapi besok-besok, aku bisa pulang sendiri. Jangan suruh sopir jemput!"
Setelah memutuskan panggilan itu, Viola berbalik menatap Dika yang kini sudah melipat kedua tangannya di dada, raut wajahnya terlihat kecewa dan kesal.
"Kamu mau pulang dulu?" tanya Dika, suaranya penuh ketidakpuasan.
Viola menganggukkan kepala dengan enggan.
"Vio, kamu sudah berumur 20 tahun," ucap Dika dengan serius, "jangan terus-menerus menuruti semua yang kakak kamu katakan. Kamu sudah dewasa, sudah bisa menentukan hidup kamu sendiri."
Viola tersenyum lemah. "Iya, aku tahu. Seharusnya memang begitu. Tapi entah kenapa aku selalu merasa sulit buat nolak apa yang Kak Zavin katakan."
Dika menarik napas panjang, mencoba menahan frustrasi yang dia rasakan. "Ya sudah, tapi nanti malam jangan sampai gagal."
Viola tersenyum tipis. "Oke, aku janji," jawabnya, meski di dalam hatinya masih ada kecemasan yang sulit diabaikan.
Kemudian mereka berdiri, dan Dika mengantar Viola sampai ke tempat mobil yang sudah menjemput Viola. Sesaat sebelum masuk ke mobil, Viola melambaikan tangan pada Dika. Dia tahu, Dika kecewa, dan itu membuat hatinya terasa sedikit berat.
Begitu masuk ke dalam mobil, Viola langsung mengirim pesan singkat kepada Zavin bahwa dia sudah berada di mobil. Dia tidak menunggu balasan, hanya menyandarkan punggungnya di kursi, matanya menatap kosong ke arah jalanan yang dilalui mobil itu.
Pikirannya kembali ke kejadian barusan, saat Dika hampir menciumnya. Viola menyentuh bibirnya sendiri, mengingat sensasi detik-detik sebelum gangguan itu muncul.
Sudah beberapa kali pacaran, tapi sampai sekarang aku belum pernah ciuman. Selalu saja ada gangguan dari Kak Zavin. Apa ini firasat Kak Zavin yang terlalu kuat atau dia yang memang terus mengawasiku?
Thanks Mbak Puput
Ditunggu karya selanjutnya ❤️
perjuangan cinta mereka berbuah manis...
Semoga cepat menghasilkan ya, Zavin
semoga cepat diberi momongan ya ..
udah hak Zavin...
😆😆😆