Kimberly alias Kimi, seorang perempuan ber-niqab, menjalani hari tak terduga yang tiba-tiba mengharuskannya mengalami "petualangan absurd" dari Kemang ke Bantar Gebang, demi bertanggungjawab membantu seorang CEO, tetangga barunya, mencari sepatu berharga yang ia hilangkan. Habis itu Kimi kembali seraya membawa perubahan-perubahan besar bagi dirinya dan sekelilingnya. Bagaimana kisah selengkapnya? Selamat membaca...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Andi Budiman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kecemasan Sang Resepsionis
Lobi PT Adiyaksa Pratama Group tampak elegan dan profesional. Lantai dilapisi marmer putih mengkilap, memantulkan cahaya dari lampu hias gantung modern di langit-langit. Di salah satu sisi ruangan, sebuah meja resepsionis berbahan kayu mahoni dipernis mengkilap, diletakkan di bawah ornamen nama dan logo perusahaan, memancarkan kesan pertama yang menarik dan meyakinkan.
Di balik meja resepsionis itu, duduk Vania, seorang wanita muda berpenampilan rapi. Ia bukan pegawai lama. Ia baru bertugas selama satu seminggu, menggantikan resepsionis lama yang pensiun.
Sebagai pegawai baru terkadang ia masih merasa gugup. Namun hari ini ia merasa mulai terbiasa. Di hari ketujuh pekerjaannya ia sudah mulai hafal apa saja yang harus dilakukan dan tak boleh dilakukan.
Di sana tugas Vania tak hanya sekadar menyambut tamu, tetapi juga mengelola alur komunikasi yang masuk ke perusahaan. Meja kerjanya dilengkapi sistem telepon multi-line canggih, memungkinkan dia untuk menerima dan mengarahkan panggilan telepon dari luar kantor ke departemen atau individu tertentu.
Sistem telepon yang digunakan perusahaan ini dirancang tidak hanya untuk memastikan bahwa panggilan penting tidak terlewatkan, namun juga untuk melindungi privasi dan keamanan komunikasi internal. Setiap panggilan dari luar kantor yang tidak ditujukan ke nomor ekstensi tertentu pertama kali akan masuk ke meja resepsionis.
Di sinilah Vania berperan penting, menyaring panggilan-panggilan tersebut dan memutuskan apakah akan meneruskannya ke departemen terkait atau tidak. Ia sadar tugasnya memang sangat penting, apalagi mengingat nomor telepon perusahaan telah tersebar ke mana-mana melalui jaringan internet.
Ketika telepon berdering, Vania harus cepat tanggap, memastikan bahwa ia dapat mengidentifikasi kebutuhan penelepon dan menentukan siapa yang paling tepat untuk menangani panggilan tersebut. Dia juga harus waspada terhadap segala potensi ancaman, seperti modus penipuan yang mungkin menyasar perusahaan.
Hari ini, Vania sedang duduk di kursinya yang empuk. Matanya tertuju pada layar televisi besar yang terpasang di dinding seberang meja resepsionis. Berita tentang modus penipuan terbaru sedang tayang. Peristiwa penipuan kali ini mengatasnamakan bos perusahaan dengan target nominal uang tidak sedikit.
Pembawa berita memperingatkan perusahaan-perusahaan di seluruh Indonesia untuk berhati-hati terhadap panggilan yang mengaku sebagai pimpinan perusahaan yang meminta transfer uang secara mendadak.
Vania merasakan ketegangan di dadanya saat mendengar berita tersebut. Sebagai orang yang menjadi filter pertama untuk panggilan dari luar, Vania paham betul betapa pentingnya tetap waspada. Ia harus bisa membedakan mana panggilan yang asli dan mana yang mencurigakan, sebuah tugas yang menuntut ketelitian dan kewaspadaan tingkat tinggi.
“Berita hari ini melaporkan adanya penipuan yang mengatasnamakan bos sebuah perusahaan. Sang penipu akan menelepon ke kantor, mengaku sebagai bos yang sedang terdesak dan membutuhkan transfer uang puluhan juta hingga ratusan juta rupiah. Beberapa perusahaan di Indonesia telah menjadi korban modus ini,” kata pembawa berita dengan nada tegas.
Layar berganti ke adegan wawancara dengan seorang pria paruh baya yang tampak tertekan, menceritakan bahwa perusahaannya baru saja tertipu oleh penelpon misterius dan kehilangan uang hingga ratusan juta rupiah.
Vania merasakan jantungnya berdegup kencang. Dia menatap layar dengan wajah serius, bibirnya mengerut sedikit, merasa khawatir.
“Astaga, kok bisa ya? Penipunya nekat banget…” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.
Kemudian di layar berita muncul seorang investigator ahli. Sang investigator mengabarkan bahwa para penipu ini tampaknya beroperasi dengan cara yang cukup canggih dan rapi. Mereka seakan tahu alur kerja dan agenda perusahaan, bahkan pergerakan pimpinan perusahaan yang ditargetkan.
"Sangat mungkin mereka mampu melakukan peretasan, dan benar-benar melakukannya sebelum melancarkan aksi. Jadi harap hati-hati kepada tim IT perusahaan, supaya semakin meningkatkan keamanan jaringan dan data-data penting perusahaan," ujar sang investigator.
Beberapa detik kemudian pintu kaca otomatis di lobi terbuka, dan Ghea, salah satu staf divisi marketing yang baru saja kembali dari luar gedung, masuk dengan langkah cepat seraya membawa sebuah kotak paket.
Ghea adalah wanita yang terkenal sigap dan tegas, dengan penampilan profesional namun tetap modis. Blazernya berwarna krem dipadukan dengan celana panjang hitam, dan sepatu hak tingginya berdetak ringan di lantai marmer.
Vania, yang masih terpaku pada berita, tidak langsung menyadari kedatangan Ghea. Baru setelah Ghea mendekat ke meja resepsionis, Vania tersadar dan buru-buru memanggil Ghea.
“Eh, Mbak Ghea, coba lihat berita ini deh!” kata Vania sambil menunjuk layar televisi, masih dengan ekspresi cemas.
Ghea menghentikan langkah lalu melirik ke arah Vania. “Berita apa sih?”
“Ada modus penipuan baru, nelepon ngaku-ngaku jadi CEO perusahaan, terus minta dikirim uang…”
“Ya ampuun… beneran Van? Hati-hati dong kalau gitu!” kata Ghea seraya mendekat ke meja resepsionis kemudian ikut menonton televisi.
Vania mengangguk-angguk. “Duuuh aku jadi was-was Mbak... Gimana kalau tiba-tiba ada yang nelepon ngaku-ngaku sebagai Pak CEO kita? Aku kan yang paling sering angkat telepon di sini...”
“Mmm… tenang aja Van, yang penting kita nggak gampang percaya. Terus gimana caranya kita harus pastiin kalau yang menelepon itu benar-benar Pak CEO kita, atau beneran orang perusahaan kita. Yaaa… pinter-pinter kita aja. Jangan sampai gampang dikecoh.”
"Mmm... duuuh, gimana cara mastiinnya, Mbak, kalau ada penelepon mencurigakan, bahwa si penelepon penipu atau bukan?"
Ghea berpikir sejenak, "Kamu bisa tes dengan beberapa pertanyaan spesifik. Misalnya nama lengkap, nomor telepon, atau hal lain yang lebih spesifik yang mungkin si penipu tidak tahu, tetapi Pak CEO tahu."
Di layar televisi sang investigator masih menjelaskan kemungkinan penipu yang menggunakan alat-alat canggih untuk menjaring sederet informasi aktual perusahaan. Informasi-informasi aktual itu lalu mereka manfaatkan untuk menyusun skenario penipuan yang tampak alami dan meyakinkan.
Vania dan Ghea membulatkan mata mendengar paparan sang investigator di televisi. Keduanya terpaku seakan tak percaya dengan paparan berita yang mereka dengar.
"Tuh kan, Mbak, gimana dooong..." ujar Vania semakin tidak nyaman.
Ghea menelan ludah. "Ya ampuun... Sampai segitunya. Nipu kok sampai seserius itu ya?" ucap Ghea seraya mencoba mengendalikan keterkejutannya.
"Hhhh... ada-ada aja deh. Mana saya baru lagi di sini," keluh Vania.
Ghea masih terpaku pada layar. Berita kembali memperlihatkan korban penipuan yang menerangkan kronologis kejadian. Dimulai dari resepsionis menerima telepon, kemudian penipu mengaku sebagai CEO perusahaan dan tanpa kecurigaan apa pun sang resepsionis yang menilai cerita sang penipu sangat sesuai dengan agenda CEO perusahaan di luar kantor langsung percaya.
Setelah itu sang resepsionis meneruskan panggilan ke bagian keuangan. Sang penipu mengaku akan melakukan pembayaran untuk kepentingan perusahaan. Secara spesifik si penipu menerangkan kepentingan itu. Begitu alami dan sesuai. Tak ada kecurigaan.
Beberapa menit kemudian setelah perbincangan alot yang tampak sesuai agenda itu, transfer uang diurus. Setelah itu tak ada seorang pun menyadari bahwa perusahaan telah mengirimkan uang sebanyak ratusan juta rupiah ke orang yang salah. Barulah semua terungkap dan disadari beberapa jam kemudian.
"Tuh kan Mbak, saya orang pertama yang harus waspada," tutur Vania. "Uuuh, bikin ribet banget sih..."
"Iya Van, aku ngerti sekarang. Gini, yang penting kamu tenang dulu, kamu nggak boleh terlalu khawatir. Kalau kamu terlalu khawatir malah bisa gampang dikendalikan. Jadi, keep calm, tenang, dan kamu harus inget, kamu nggak sendiri," ucap Ghea berusaha menenangkan Vania.
Vania mengangguk-angguk. “Mbak Ghea, kalau begitu tolong bicarakan dengan yang lain yaaa di dalam, biar semuanya waspada, tolong ya Mbak…”
Ghea mengangguk “Iya, aku ngerti Van. Aku akan diskusikan ini dengan manajemen, biar kita semua tahu apa yang harus dilakukan kalau ada telepon mencurigakan. Dan buat kamu Van, kalau ada yang aneh-aneh, langsung hubungi aku ya. Pokoknya jangan ambil keputusan sendiri. Nanti kita coba hadepin sama-sama.”
Vania mengangguk “Iya, Mbak… Aku bakal lebih hati-hati. Makasih ya Mbak...”
Ghea tersenyum lembut. “Sama-sama, Van. Aku ke dalem dulu ya!” kata Ghea. Setelah percakapan itu, Ghea melangkah pergi mendekati pintu lift bermaksud menuju ruang divisi marketing di lantai tiga.
Sementara Vania masih di tempatnya, berusaha menenangkan diri. Namun tiba-tiba Vania berlari menyusul Ghea sebelum benar-benar masuk ke dalam lift.
“Mbak… Pak CEO hari ini kok nggak masuk?”
Ghea menengok dari depan pintu lift yang terbuka kemudian menggelengkan kepala. “Coba kamu tanyakan ke sekretaris Van,” saran Ghea.
“Oh, baik Mbak!” sahut Vania seraya berbalik kembali ke meja kerjanya. Setelah berhasil kembali ke meja kerjanya Vania bergegas menghubungi sekretaris melalui panggilan telepon.
Nada sambung mulai memecah keheningan lobi. Lama tak ada jawaban, membuat Vania semakin tegang. Ia berharap hari ini tidak ada peluang yang membuat peristiwa tak diharapkan terjadi.
Vania mengetuk-ngetuk meja dengan jari tangannya. Waktu berlalu terasa begitu lambat. Telepon yang tersambung belum juga dijawab. Beberapa detik terlewati, saat ini baginya terasa bagai berabad-abad.
Tiba-tiba nada sambung berubah jadi suara kemerosok. Vania tahu pasti. Suara itu menandakan seseorang telah mengangkat telepon di seberang.
“Halo, Pak, ini Vania dari meja resepsionis, saya… mau tanya agenda Pak CEO hari ini Pak, maaf, untuk jaga-jaga saja kalau-kalau beliau hari ini tiba-tiba menghubungi saya lewat telepon kantor.”
Vania manggut-manggut mendengarkan penjelasan sang sekretaris melalui telepon.
“Oh, iya Pak! Baiklah kalau begitu, terimakasih atas informasinya Pak, selamat pagi…” pungkasnya.
Vania menggigit bibir. Apa yang tidak ia harapkan benar-benar terjadi hari ini. Hari ini Pak CEO perusahaan ada agenda di luar kantor. Pak CEO akan bertemu dengan seorang klien penting.
Vania merasakan getaran di tubuhnya. Ia tahu, sesuatu di luar dugaan bisa saja terjadi. Transaksi mendadak, atau apa pun yang berhubungan dengan uang, sangat mungkin terjadi.
Vania menutup telepon dengan tangan gemetar, sementara kecemasan semakin tergambar jelas di wajah dan gerimit bibirnya. Selama seminggu ini ia baru dua kali melihat Pak CEO, tetapi belum satu kali pun mengobrol dengannya. Vania belum mengenal suara Pak CEO dengan baik, apalagi aksen pria pemilik perusahaan itu.
Terima kasih memberikan cerita tentang keteguhan seseorang dalam mempertahankan keyakinannya.
Bravo selamat berkarya, kuharap setiap hari up.