NovelToon NovelToon
STEP FATHER FOR MY DAUGHTER

STEP FATHER FOR MY DAUGHTER

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Mafia / Single Mom / Hamil di luar nikah / trauma masa lalu / Anak Yang Berpenyakit
Popularitas:40.9k
Nilai: 5
Nama Author: Rona Risa

Cerita ini buat orang dewasa 🙃

Raya Purnama menikah di usia tujuh belas tahun setelah dihamili pacarnya, Sambara Bumi, teman sekelasnya yang merupakan putra pengusaha kaya.

Namun pernikahan itu tak bertahan lama. Mereka bercerai setelah tiga tahun menjalin pernikahan yang sangat toxic, dan Raya pulang kembali ke rumah ibunya sambil membawa anak perempuannya yang masih balita, Rona.

Raya harus berjuang mati-matian untuk menghidupi anaknya seorang diri. Luka hatinya yang dalam membuatnya tak ingin lagi menjalin cinta.

Namun saat Rona berusia tujuh tahun dan meminta hadiah ulang tahun seorang ayah, apa yang harus Raya lakukan?

Ada dua lelaki yang menyita perhatian Raya. Samudera Dewa, agen rahasia sekaligus penyanyi yang suara emasnya menguatkan hati Raya di saat tersulit. Alam Semesta, dokter duda tampan yang selalu sigap merawat Rona yang menderita leukimia sejak kecil.

Di antara dua pilihan, Raya harus mempersembahkan hadiah terindah bagi Rona.

Siapa yang akan dipilih Raya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rona Risa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

REUNI DI KEDAI KOPI

"Eh, elu, Re. Tumben baru mari. Biasanya lu ke sini paling enggak seminggu sekali."

Koh Ahwie, pemilik toko kopi Kedai Kopi, menegur Raya dengan gaya nyablak khas ibukota. Lelaki pendek berkulit seputih kapas dan berwajah bundar seperti bakpao itu memandang Raya heran dengan matanya yang berujung lentik.

"Iya, baru abis sih, Koh," Raya membuka maskernya dan mengantonginya. Lega rasanya bisa menghirup oksigen tanpa harus terhalang apapun, dan sangat menyenangkan bisa menghirup wangi berbagai jenis kopi yang menyeruak tajam dalam toko itu.

Wangi kesukaan Raya.

"Sepi, ye? Sama, gue juga. Heran pade ke mane tuh pembeli."

"Disambet setan kali," jawab Raya asal, lalu mulai melirik beberapa toples kaca tinggi yang menampilkan biji-biji kopi dengan bentuk dan warna berbeda-beda. "Arabika Wamena ada Koh? Arabika Preanger sama Robusta Flores juga?"

"Ade, lah! Gitu doang mah!" Koh Ahwie melambaikan tangannya enteng. "Butuh berape?"

"Sekiloan aja dulu Koh."

"Dih, dikit amat!" protes Koh Ahwie. "Niat jualan kagak sih lu?"

"Ya niatlah! Tapi mau gimana. Pembeli pada diembat kuntilanak. Sepi tahu, Koh. Yang beli akhir-akhir ini seringnya cuma kemasan tester aja. Jarang yang sekilo lebih," sewot Raya.

"Mangkanya jangan jualan bubuk kopi blend online doang, rencengan lagi," Koh Ahwie menggeleng, lalu mulai mengambil biji-biji kopi pesanan Raya untuk mulai di-roasting dengan hasil medium to dark dan fine grinding. Ia sudah hafal standar Raya.

"Lah terus jualan apaan? Jual diri?" protes Raya sebal.

"Gak gitu, Jubaedah! Maksud gue tuh, lu sekalian buka kafe kecil-kecilan. Hari gini banyakan yang suka minum kopi langsung jadi ketimbang ngeracik sendiri. Kalau emang lu niat jual bahan mentahnya, ya sekalian bikin toko gede kayak punya gue. Jadi bisa masok kafe-kafe dan resto sekalian. Lu bisnis nanggung amat dah!" omel Koh Ahwie panjang lebar. "Eh tapi kalau mau buka toko, jangan di deket sini ye! Jangan embat langganan lama gue juga! Awas aje kelakuan lu belagu, biar cewek gue sleding juga lu!"

Raya tertawa keras. Hatinya benar-benar geli.

"Dih, ngapain ketawa?" singgung Koh Ahwie bingung.

"Kokoh lucu sih," Raya mengusap setitik air mata di ujung pelupuknya. "Cocokan jadi pelawak ketimbang jualan kopi."

"Yee, orang gue beneran nasihatin elu! Lawak dari mananye dah?"

"Ya lawak lah, Koh! Emang bikin kafe atau toko kayak gini gak butuh modal? Duit dari mana coba? Rampok bank?"

"Dih! Mana mungkin lu gak punya duit, Re!" Koh Ahwie menggeleng tak percaya. "Lu kan pernah nikah sama... siapa tuh... Samber? Sambo? Sampluk? Tauk dah. Next CEO Bumi Corporation ntu kan. Apalagi lu punya anak ama die pan? Walau udah cere, gak mungkin laah lu gak dapat transferan duit dari tuh konglo! Melanggar hukum tuh namenye kalau sampe die kagak kirimin lu duit bulanan. Sekelas die juga mana mungkin transferannye cetiao, gotiao. Pasti dua digit lah! Iye apa iye?"

Raya tidak bisa membantah. Yang dikatakan Koh Ahwie ada benarnya.

"Gue bukan maksud ikut campur urusan pribadi atau keuangan lu, Re. Gue apresiasi lu sebagai pelanggan tetap gue. Lu juga masih muda, seumuran ama anak gue yang lagi kuliah di luar negeri. Lu ngingetin gue ama anak gue sendiri. Lu udeh kayak anak gue sih. Mangkanye sori kalau gue bawel, ngasih tahu dan ngajarin lu cara bisnis. Gue cuma mau lu sukses dan bahagia, Re. Lu tuh berhak dapetin itu semua, jangan susah gini terus," kata Koh Ahwie perlahan.

Kata-kata Koh Ahwie membuat Raya terhenyak. Sudah lama ia tidak merasakan haru yang besar di hatinya seperti ini. Dari orang lain yang tak memiliki ikatan darah dan kekerabatan dengannya, pula.

Sejak awal berbelanja kopi di sini, Raya langsung merasa nyaman. Selain toko ini menghadirkan komoditi dan wangi kesukaannya, pemilik toko ini, Koh Ahwie, juga sangat baik padanya.

Bahkan ketika Koh Ahwie tahu gadis yang hampir selalu memakai masker dan rajin membeli kopinya itu adalah Raya Purnama, the hottest celebgram untuk urusan skandal paling memalukan di masa lalu, kebaikannya tidak pernah luntur. Ia malah sering memberi diskon dan bonus untuk Raya, walau awalnya semua itu dilakukannya karena modus.

"Babenye anak lu pan elit Bumi Corp. Bisa kali lu rekomendasiin toko gue buat masok kopi di resto dan kafe yang ade di bawah perusahaannye. Eh mereka punya pabrik biskuit dan minuman juga kan? Ade varian kopinye tuh kalau gak salah. Boleh kali ngambil kopinye di gue..."

Waktu itu, Raya merasa kesal dan tersinggung. Dia sudah tak sudi dikaitkan soal apapun dengan keluarga besar Bumi dan perusahaannya. Tiba-tiba ini malah ditodong dan diminta nepotisme--menjadi penyuplai bahan baku untuk produk buatan Bumi Corporation. Oleh orang yang baru dia kenal, pula.

"Maaf Koh, saya nggak bisa. Bukan saya nggak mau, tapi beneran nggak bisa. Saya cerai karena saya terluka oleh pernikahan yang sangat toxic itu. Walau cuma sebentar, tapi lukanya dalam, Koh. Jadi tolong ya... saya nggak mau dikait-kaitin lagi dengan mereka. Cukup ya Koh."

Raya heran juga kenapa dia bisa sedikit mengungkap kondisi batinnya pada Koh Ahwie. Mereka belum kenal lama. Hubungan mereka sebatas penjual dan pembeli. Mungkin karena Koh Ahwie satu-satunya orang di kota kecil ini--selain ibu dan anaknya--yang tidak memandangnya rendah saat tahu siapa dirinya yang sebenarnya.

Walau mungkin Koh Ahwie punya sedikit udang di balik batu saat tahu siapa Raya sebenarnya, tapi menurut Raya itu wajar saja karena Koh Ahwie seorang pebisnis tulen. Melihat dan memanfaatkan peluang untuk menambah keuntungan usaha, juga memperluas jaringan, normal dilakukan orang seperti Koh Ahwie. Toh juga dia melakukannya tidak dengan cara kriminal dan merugikan orang lain. Sayangnya dia kurang peka dan paham saja menilai hubungan Raya dengan keluarga pemilik Bumi Corporation sekarang.

Tapi terlepas dari itu semua, Raya sangat bisa merasakan, kehangatan dan pandangan Koh Ahwie kepadanya itu tulus. Raya bisa merasakan aura kebapakan muncul dari Koh Ahwie setiap menyambutnya dan ngobrol dengannya. Orang dengan modus tak akan memberinya petuah bijak atau nasihat sesuai topik perbincangan yang diminati Raya. Itu selalu dilakukan Koh Ahwie sejak mereka pertama bertemu.

Bahkan perhatian kecilnya seperti seorang ayah yang selalu menjaga anaknya. Raya ingat, Koh Ahwie pernah mengecilkan AC tokonya saat Raya batuk dan bersin di balik maskernya ketika hendak membeli kopi bubuk. Koh Ahwie juga tiba-tiba menyodorkan segelas kopi jahe yang diraciknya sendiri untuk Raya, sambil menunggu proses penggilingan kopi orderan Raya selesai.

"Minum gih. Biar nggak batuk lagi. Cuaca emang lagi nggak bagus akhir-akhir ini. Pinter-pinter aje lu jaga kesehatan, apalagi lu sering kelinteran di jalan kayak gini. Kalau lu sakit, gimane lu mau nyari duit? Lu pan tulang punggung keluarga. Lu kudu strong, Re."

Itu adalah kopi jahe termanis dan terhangat yang pernah diteguk Raya. Dengan efek samping tenggorokan tercekat dan mata berkaca-kaca--bukan karena sensasi pedas jahe yang terasa kuat di lidahnya.

Dan Koh Ahwie mengungkapnya dengan gamblang kali ini, bahwa dia sudah menganggap Raya seperti anaknya sendiri. Menasihatinya dan mengharapkannya hidup bahagia. Raya berusaha keras untuk menahan air mata agar tidak menggenang di pelupuknya.

Saat Raya hendak membayar kopi pesanannya, pintu kaca di depan berdenting terbuka. Raya buru-buru merogoh masker di kantongnya dan mengenakannya.

"Pagii, Koh Ahwie!" seorang gadis dengan wajah kecil, berkacamata hitam, dan rambut disemir cokelat ikal panjang tergerai melangkah ringan tanpa alas kaki. Pakaiannya unik--kemben batik motif parang putih-emas dan celana jeans biru pendek selutut, serta selendang putih panjang terkalung di lehernya. Ia juga mengenakan kelat bahu emas model bunga.

Gadis itu seperti penari usai pentas yang belum tuntas mengganti semua kostumnya, lalu memburu sesuatu ke Kedai Kopi. Raya berpura-pura tak acuh dengan mengamati display biji kopi Arabika Gayo Aceh. Gadis itu juga tak meliriknya sama sekali, untunglah.

"Udah jam tiga sore ini, Cis! Pagi mate lu burem!" gerutu Koh Ahwie. "Ngapain mari? Lu kan baru order kopi khusus lewat WA sejam lalu. Ya belum ready-lah!"

"Ih siapa juga yang nagih kopi," gadis itu mencibir. "Urusan lain ini Koh."

"Apaan?"

"Gue ke sini minta rekomendasi orang, Koh."

"Rekomendasi? Lagi?" Koh Ahwie tampak sangat gusar. "Lu tuh ye... kebangetan! Udah empat kali gue kasih lu rekomendasi, masa masih pada kabur juga?"

"Gak semuanya kabur, Kokoh beruk! Yang terakhir doang ini gak cocok," dengus gadis itu. "Kabur gitu aja semalam. Gak punya etika. Untung bukan suami. Kalau punya suami gak tanggung jawab gitu, udah gue rajang biar jadi bumbu nasi goreng buat pawang buaya sarapan pagi--biar strong dan kerjanya bener, jadi buayanya gak kabur-kaburan!"

"Lu ngomong apaan sih?" Koh Ahwie mengerutkan kening. "Apaan dah yang dirajang?"

"Bawang kembar," sahut gadis itu asal. "Cepetan Koh. Kasih rekomendasi."

"Lu butuh kapan?"

"Malam ini."

"Muke gile! Ya gak mungkin lah!"

"Kenapa?" gadis itu mendecak kesal. "Katanya jumlah pengangguran banyak? Budak korporat yang tertindas banyak? Masa gak ada yang mau gue bayar?"

"Ya nggak segampang itu juga, apalagi malem ini juga!" sergah Koh Ahwie. "Syarat lu gak segampang itu buat dicari!"

"Ah, masa sih? Syarat gue lhoo baik. Nggak ada batasan umur. Gender. Pendidikan. Penampilan. Nggak kudu jago akunting sekaligus nguasain awan kinton dan bisa ngumpulin tujuh dragon ball. Yang penting paham keinginan gue aja. Masa masih nggak ada yang mau juga? Kok terlalu?"

Raya tidak mengerti apa yang diperbincangkan Koh Ahwie dan gadis itu. Tidak peduli juga. Ia bukan tipe orang yang suka mendengar apalagi ikut campur urusan orang lain.

"Ini Koh, ambil aja kembaliannya," ucap Raya seraya menyerahkan uangnya cepat-cepat.

"Eh, tunggu dulu! Ini ada kembaliannya kok--"

"Nggak usah, buat Koh Ahwie aja, makasih..."

"Bandel banget sih lu, Raya! Gue bilang tunggu dulu!"

"Raya?!"

Gadis itu menoleh. Hati Raya mencelos.

Meski sudah memakai kacamata dan masker, entah bagaimana, ada saja beberapa orang yang mengenali sosoknya. Mungkin karena kulitnya yang sangat pucat hingga nyaris transparan, seperti albino. Warna kulit yang langka ditemukan di kawasan negeri tropis, dan menjadi ciri khas selebgram biang skandal yang terkenal sejak lima tahun lalu.

"Elo Raya? Raya Purnama?"

Raya mengalihkan pandang dan buru-buru menghindar.

"Raya--tunggu! Ini gue, Riris! Masa elo lupa?"

Raya terkejut, membuka maskernya, dan berbalik. "Riris?!"

"Iya, ini gue, Riris Sawitri--sahabat elo, teman sebangku elo waktu SMA! Masa elo lupa?"

Riris Sawitri membuka kacamata hitamnya. Paras cantiknya hampir tidak berubah. Mata kecil yang hangat. Hidung kecil agak melebar. Pipi sedikit tembam. Bibir tipis yang manis.

Tanpa sadar, Raya sudah maju dan memeluk Riris. Bahkan aroma lemon dan sandalwood yang melekat di tubuh Riris masih sama seperti lima tahun silam.

"Apa kabar, Ris...?" suara Raya tercekat. "Kamu tinggal di kota ini sekarang...?"

"Yah... gitu lah," Riris menghapus air matanya dengan kalut. "Gue sempet kuliah di Aussie. Begitu lulus balik ibukota sebentar. Terus buka usaha dan pindah ke sini. Jujur gue nggak nyangka bisa ketemu elo di sini!

"Elo apa kabar, Ra? Elo menghilang begitu aja dari sekolah lima tahun lalu, pindah entah ke mana... tahu-tahu berita kehamilan elo nyebar ke seluruh penjuru negeri, dan elo nikah sama Sambara Bumi?! Setahun lalu ada berita elo cerai?! Apa yang sebenarnya elo alamin, Ra? Kenapa gak pernah cerita ke gue? Kenapa elo menghilang dari gue? Gue kira, gue sahabat elo!"

Riris menumpahkan semua uneg-unegnya dengan penuh emosi, tanpa peduli tempat dan situasi, seperti yang dulu biasa dilakukannya. Membuat Raya gelisah dan gugup.

Untung kedai kopi Koh Ahwie sore itu sepi. Hanya ada Koh Ahwie yang terang-terangan melongo sambil memegang uang kembalian Raya. Jelas lelaki paruh baya itu kaget dengan monolog dan tangisan Riris yang pecah di hadapannya, tanpa peringatan sama sekali.

"Eh... lu pade kalau mau syuting sinetron jangan di mari," tegur Koh Ahwie. "Mojok di kafe sono. Atau ke taman kek..."

"Iya, maaf, Koh," ucap Raya sungguh-sungguh. "Kami nggak akan bikin ribut di sini. Kami pamit dulu--"

"Tunggu dulu!" Koh Ahwie dan Riris bicara serentak.

Sejenak, Koh Ahwie, Riris, dan Raya saling bertukar pandang bingung.

"Kembalian lu, Re," Koh Ahwie menyodorkan uang kembalian kepada Raya.

"Rekomendasi elo, Koh!" tuntut Riris.

"Apaan? Lu minta kayak beli tahu bulat aje, digoreng dadakan... kagak ade, Maesaroh!"

"Iiih, Koh Ahwie!" Riris tampak jengkel sambil menyedot ingus, sisa tangisnya saat memeluk Raya tadi.

"Rekomendasi apaan sih, Ris?" tanya Raya pelan, mau tak mau penasaran.

"Kerja sama gue," Riris menatap lekat Raya dengan mata merah. "Elo udah ada kerja di sini? Elo mau ikut gue nggak?"

"Belum sih... aku cuma jualan online aja selama ini," aku Raya, jujur dan berat hati. "Emang kerjaan apa yang kamu maksud, Ris?"

Riris tersenyum. Matanya mendadak berkilat.

"Kalau gitu, elo cocok! Elo gabung gue aja!"

"Kerja apaan dulu?" tanya Raya, setengah menuntut.

"Jual diri! Mau ikut?"

...***...

Riris Sawitri

1
Zhu Yun
Jangan sampai terjadi sesuatu pada Rona 🤧
Zhu Yun
Bapaknya lebih gila lagi emang, makanya anaknya juga dibuat gila 🤭
Zhu Yun
Jangan2 Riris Hamidun juga setelah pengadonan kemarin 🤭
Zhu Yun
Habis ini Raya mencair lagi sama Sambara 🔥
Zhu Yun
Tiba-tiba Sambara bikin aku meleyot 😍🙄
Zhu Yun
Karena sudah puas masuk ke goa yang lain 🤭
Zhu Yun
Kalau dalam hal seperti ini ingatan Sam sangat kuat 😆😆
Zhu Yun
Coba dari dulu Sambara seperti ini 😌
Zhu Yun
Jadi inget lagunya Vierra, kesepian. Jangan pergi-pergi lagi... 😆😆
Zhu Yun
Tahan nafas aku dibab ini Thor gegara kebinalan Riris dan Rangga 🙉🙉🙉
Zhu Yun
gak bisa berkata-kata lagi aku 🙉🙉🙉
Zhu Yun
Ngeces langsung 🙉🙉🙉
Zhu Yun
Alamat ngadon ini 🙈🙈🙈
Zhu Yun
Ayo bawa kabur permaisurimu Rangga 💃💃💃💃💃💃
Zhu Yun
Bapak edddaannnn..... Alvaro-ku kalah telak 🤣🤣🤣🤣🤣
Zhu Yun
Kamu nanya????
Zhu Yun
Raya masih sangat muak 😆😆😆
Zhu Yun
Muntahin aja Ray tapi diwajahnya Sam 🤭
Zhu Yun
Sedalam lautan membara 🔥🔥🔥
Zhu Yun
Padahal nyatanya dirimu sibuk ngadon dengan yang lain ya Sam 🤭
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!