Perjalanan hidup seorang wanita bernama Ayesha yang ingin mendapatkan kebahagiaan dari keluarga sang suami yang penuh dengan toxic. Berbagai hinaan dan cacian dari keluarga suami sudah menjadi makanan sehari-hari. Meski begitu, tak sedikitpun suaminya mau membelanya karena takut dicap sebagai anak durhaka.
Dan demi sebuah kata bakti, sang suami tega mencampakkan anak istrinya. Bahkan dia berani bermain hati dengan wanita idaman lain.
Akankah Yesha, bertahan dalam keluarga toxic suaminya?
Atau menyerah, dan mencari kebahagiaannya sendiri?
Ikuti terus cerita ini ya,
Dan jangan lupa dukungannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eys Resa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Telpon Dari Ibu
Yesha pulang ke rumahnya jam lima sore dengan menaiki sepeda yang dipinjamkan oleh bu Dian. Dia benar-benar merasa bersyukur atas apa yang dia dapatkan hari ini. Seorang majikan dan teman-teman yang baik. Dia tidak pernah berfikir sebelumnya kalau semua ini akan terjadi padanya. Sedikit berontaknya dia kepada keluarga suaminya, seolah melepaskan sedikit ikatan yang menjerat lehernya.
Setelah menjalankan sholat maghrib, Yesha sedang mengajari Aksa mengaji. Hingga deru suara motor milik Dika berhenti di depan rumah. Dika masuk ke dalam rumah tanpa mengucapkan salam, membuat Yesha dan Aksa saling berpandangan dan menghembuskan nafas secara bersamaan.
"Sudah pulang mas? " Yesha menyapa Dika yang dari tadi hanya diam saja.
"Kamu lihat sendiri kan aku sudah dirumah sekarang. " jawab Dika dengan ketus.
Yesha tidak menghiraukannya, dia langsung ke dapur dan membuatkan teh untuk Dika. Lalu menghidangkannya di meja.
"Tumben pulang cepet, kemarin bilang dua hari. " Yesha mencoba berbasa basi dengan suaminya itu.
"Ini semua karena kamu, karena kamu tidak ke rumah ibu. Ibu menerorku selama kerja tadi. " ujar Dika dengan geramnya.
"Hah... aku harus bagaimana? Kamu sama ibu sudah sering menyuruhku kerja, sekarang aku sudah cari kerja salah lagi. Bahkan aku mengajak Aksa kerja lho ,mas. Terus aku harus bagaimana mas? " kata Yesha yang sudah merasa kesal dengan pembicaraan ini.
"Entahlah, Sekarang bersiaplah. Kita ke rumah ibu."
Tanpa banyak bicara lagi Yesha beranjak dari duduknya dan bersiap kerumah ibu mertuanya, walau sebenarnya dia enggan. Tapi karena suaminya yang meminta akhirnya dia menuruti.
Yesha, Dika dan Aksa sudah sampai di rumah bu Ayu, rumah mertua Yesha. Mereka duduk di ruang keluarga bersama dengan semua orang yang ada di rumah itu.
"Tumben, ada apa kalian kemari. Biasanya juga kalian kemari sendiri-sendiri. Yesha pagi, Dika malamnya. " sapa Bagus kakak Dika.
"Ga ada mas, cuma pengen main aja. " Dika yang menjawab.
Yesha hanya diam saja seperti biasa, dia tidak akan menjawab kalau tidak di tanya. Bu Ayu dan Dila juga diam saja sejak tadi, seolah acuh dna tidak peduli dengan kedatangan mereka. Mereka berdua masih merasa kesal, karena Yesha tidak datang ke rumah tadi akhirnya mereka berdua yang harus bersih-bersih rumah. Sedangkan Maya entah kemana.
"Ibu kenapa? kok cuek gitu aku datang. " Dika menyapa ibunya yang dari tadi berpaling darinya dan tidak mau melihat wajahnya.
"Males." jawab bu Ayu ketus.
Dika yang tidak bisa melihat ibunya marahpun akhirnya mengeluarkan jurus terakhirnya, agar ibunya itu tidak marah dan cuek lagi padanya.
"Nih bu, Dika ada sedikit rejeki buat ibu. " kata Dika sambil membuka dompetnya.
Benar saja Bu Ayu langsung menoleh ke arah dika yang sedang menghitung uang di dompetnya. Matanya langsung berbinar melihat lembaran uang merah yang ada ditangan Dika.
"Nih, bu, sejuta buat jajan Tadi Dika dapat bonus dari kantor. " Dika memberikan sepuluh uang ratusan ribu kepada ibunya. Membuat semua orang yang ada di sana menelan ludahnya, tapi tidak dengan Yesha dia masih diam dan memasang wajah datar.
Yesha menatap datar ke arah suaminya yang memberikan uang secara cuma-cuma kepada ibunya. Tanpa memikirkan perasaannya sedikitpun. Keadaan seperti ini sering Yesha lihat, karena rasa sayangnya kepada sang ibu, Dika tidak segan-segan memberikan apapun dan berapapun yang ibunya minta dengan dalih bakti kepada sang ibu.
Berbanding terbalik ketika dirinya yang meminta uang, yang dia dapatkan adalah cacian dan makian terlebih dahulu sebelum mendapat lemparan uang suaminya. Sungguh ini tidak adil bagi Yesha yang adalah istrinya sendiri.
"Dik, besok-besok aku pinjam uang dua juta dong buat acara rekreasinya si Harum keponakanmu dua minggu lagi. " kata Bagus yang sudah sadar setelah melihat gepokan uang di dompet adiknya.
"Ya nanti aku transfer aja mas, ini buat pegangan aku soalnya. "
"Oke deh, makasih ya. Bukannya Aksa juga mau rekreasi juga ya, bareng Harum? rekreasi perpisahan sekolah, mereka kan satu sekolah. " kata bagus lagi.
Dika menoleh kearah anak dan istrinya yang dari tadi diam. "Beneran Yes? " tanyanya kemudian.
Yesha hanya mengangguk tanpa bersuara sedikitpun.
"Alah, ga usah ikut mending di rumah aja. Kan si Yesha baru dapat kerja. Mana mungkin bisa minta libur dia, masa pegawai baru mau langsung minta libur. " Celetuk bu Ayu yang tidak ingin menantunya itu menghabiskan uang anaknya.
"Bener tu, mending ga usah ikut. buang-buang duit aja." sahut Dila yang masih sakit hati dengan Yesha.
Yesha tak menjawab sepatah katapun apa yang dibicarakan mereka. Toh jawaban nya pasti sama, karena Dika lebih mendengarkan ibunya daripada istrinya. Jadi dia lebih baik diam. Yesha juga merasa lebih baik bekerja dari pada bepergian, tapi dia juga memikirkan anaknya. Bagaimana perasaan anaknya, saat yang lain bersenang-senang tapi dirinya malah ikut ibunya kerja. Nanti akan Yesha tanyakan apa yang Aksa inginkan.
Mereka masih ngobrol santai di sana tanpa menghiraukan adanya Yesha dam anaknya. Terkadang Yesha di ajak bicara, tapi itupun kata-kata pedas yang keluar dari mulut mereka. Dika yang mendengar tak sedikitpun ada niatan untuk membelanya atau melarang keluarganya untuk menghinanya. Itu sudah biasa bagi Yesha, tapi tidak dengan Aksa. Anak sekecil itu sudah harus mendengarkan ibunya dihina habis-habisan tanpa memikirkan mentalnya.
"Kami pulang dulu, bu, mas. Udah malem. " pamit Dika kepada keluarganya.
"Ya sudah, hati-hati Dik. " kata Bagus sambil menepuk punggung adiknya itu.
"Jangan lupa transferannya ya. " bisiknya di telinga Dika.
"Beres, mas. "
Mereka bertiga akhirnya pulang ke rumah, Dika sudah merasa lega karena ibunya sudah tidak marah lagi. Sore tadi ibunya menelpon lagi, dan mengadu karena kecapean mengurus rumah sendiri. Dan marah pada Dika, karena tidak bisa membujuk Yesha untuk membantu di rumahnya. Karena itu malam ini Dika mengajak Yesha datang ke rumah ibunya, agar ibunya itu tidak marah lagi padanya.
Sesampainya dirumah, Yesha langsung menyuruh Aksa ke kamarnya, agar segera tidur. Karena besok harus sekolah dan tidak kesiangan. Aksa pun menurut perintah ibunya.
Yesha juga sudah bersiap dengan baju tidurnya tanpa menghiraukan Dika, dia sudah sangat capek hari ini. Moodnya yang sehari sudah bagus berubah buruk dalam hitungan menit karena hinaan dari keluarga suaminya. Yesha kemudian merebahkan tubuhnya di atas kasurnya, tak lama Dika menyusuk.
"Kamu kenapa diam aja dari tadi? " tanya Dika yang akhirnya mau bicara dengannya.
"Ga papa, aku capek. Lagi pula kalau aku bicara memangnya akan ada yang berubah? " jawabnya dengan ketus.
Dika terdiam, dia tau sikap keluarganya sudah keterlaluan kepada Yesha. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa karena takut ibunya akan marah padanya dan mengecap nya sebagai anak durhaka jika membela istrinya. Dan dia tidak mau itu terjadi, dia ingin selalu di cap sebagai anak yang berbakti walau harus mengorbankan perasaan istrinya.
"Yesha, aku pengen nih. Udah berapa hari ga di manjain sama kamu. " Dika mencoba membujuk Yesha.
Yesha bergeming tak menghiraukan ucapan suaminya.
"Dosa lho, kalau nolak suami. " ancam Dika.
Ysha yang mendengar itu, menghembus nafasnya kasar. Lalu dia berbalik dan menatap ke arah Dika. Dia sadar, bagaimanapun pria di sampingnya ini masih suaminya dan dia harus melayaninya sebagsi seorang istri. Akhirnya malam ini Yesha melayani Dika walau hanya dengan setengah hati.
Pagi harinya, Yesha dan Aksa sudah siap. Mereka akan melakukan kegiatan hari ini seperti biasa. Dika yang melihat senyuman Yeshapun ikut tersenyum, karena tidak biasanya Yesha tersenyum seperti itu. Mungkin bekerja bisa membuatnya bahagia. pikir Dika.
"Sepeda siapa itu Yes. " tanya Dika yang tidak menyadari kalau ada sepeda di rumahnya.
"Oh, itu sepeda majikanku. Beliau meminjamkannya kepadaku, untuk menjemput Aksa pulang sekolah untuk mempersingkat waktu." kata Yesha dengan nada sindiran.
Dika manggut-manggut. "Ya sudah, aku kerja dulu. Ga tau nanti pulang apa enggak. Nunggu perintah dari bos, nanti aku kabari kamu kalau aku ga pulang. "
"Iya, " Yesha lalu menyalami punggung tangan Dika.
Setelah Dika pergi, kini giliran Yesha dan Aksa yang akan pergi kesekolah dan bekerja.
Di tempat kerja, Yesha mendapat telpon dari orangtuanya di kampung.
"Assalamualaikum bu. "
"Waalaikum salam, piye kabarmu nduk? " (gimana kabarmu nak? )
"Alhamdulillah apik bu. ono opo kok tumben eram telpon " (Alhamdulillah baik bu, ada apa tumben
telpon)
Ibu Yesha terkekeh mendengar ucapan putrinya itu.
"kowe opo ora muleh to nduk, bapak karo ibu wes kangen iki. " (kamu apa ga pulang, nak. bapak sama ibu sudah kangen. )
"InsyaAllah bu, saiki aku iseh kerjo. Mengko lek wes oleh prei aku tak muleh karo Aksa." (InsyaAllah bu, sekarang aku masih kerja. Nanti kalau sudah bolej libur, aku akan pulang dengan Aksa.)
Ibu Yesha mengernyit saat mendengar anaknya sekarang kerja. Ada sedikit kecurigaan di hati ibunya mendengar ucapan Yesha tadi.
"Oohh, saiki kowe kerjo to. Ya wes, lek ngunu. Tapi ibu njaluk tulong, lek iso rong minggu engkas usahano kowe iso mulih yo. Bapak onok perlu karo kowe. " (Ooh, sekarang kamu kerja. Ya udah kalau begitu. Tapi ibu minta tolong, dua minggu lagi kamu usahakan untuk pulang. Bapak ada perlu sama kamu. )"
"Ono perlu opo to, bu. Kok koyoke penting eram." (ada perlu apa sebenarnya bu, kok sepertinya penting banget.)
"Iki lho, bapakmu oleh warisan teko mbahmu. Bagi-bagi sawah karo pak lek mu. Trus sawahe pak mu iku kenek proyek perumahan, kate di tuku pemborong. Wes to, mrinio. Mengko lak ngerti dewe, kowe. " (Ini lho, bapakmu dapat warisan dari kakekmu. Bagi-bagi sawah sama pamanmu. Terus sawahnya bapakmu itu kena proyek perumahan, mau dibeli pemborong. Sudahlah, kamu segera kesini. Nanti kamu juga akan mengerti)
"Ya wes bu, aku mengko tak coba ngomong nang juraganku. Tak njaluk prei. " (Ya udah bu, nanti aku akan coba bicara sama majikanku. Aku akan minta cuti.)
"Ya wes lek ngunu, Assalamu'alaikum. " ( ya udah kalau begitu, assalamu'alaikum)
"Wa'alaikum salam. "
Panggilan terputus. Yesha mengehela napas dalam dan menghembuskannya secara perlahan.
Kini dia berpikir, haruskah dia pulang bersama dengan Dika? kalau dia pulang dengan Dika, maka Dika akan tahu kalau selama ini orang tuanya bukanlah orang miskin. orang tuanya memiliki beberapa hektar sawah yang apabila di jual, menghasilkan uang milyaran belum lagi warisan dari kakeknya.
Orang kampung memang terlihat miskin dari luar karena kehidupan mereka yang sederhana. Membangun rumah pun sederhana tidak harus mewah yang penting nyaman untuk berteduh dari teriknya matahari dan derasnya hujan. Tapi dibalik kesederhanaan itu, ada kekayaan yang terbentang luas.
"Dont judge a book by its cover. "
to be continue.
tdk pake it's.
terimakasih
yg bener namanya siapa ..?