Bu Ninda merasakan keanehan dengan istri putranya, Reno yang menikahi asistennya bernama Lilis. Lilis tampak pucat, dingin, dan bikin merinding. Setelah anaknya menikahi gadis misterius itu, mansion mereka yang awalnya hangat berubah menjadi dingin dan mencekam. Siapakah sosok Lilis yang sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BI STORY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Clarissa Melihat Aline
"Semua terjadi sangat cepat. Tapi... setelah itu. Saat Papa terbaring di lantai... Papa melihatnya."
Clarissa mencondongkan tubuh, hampir berbisik.
"Hantu Lilis? Istri gaibnya Reno?"
Dimitri memejamkan mata sesaat, seolah kenangan itu menyakitkan.
"Dia ada di sana. Berdiri melayang di depan Papa. Papa melihat matanya. Mata kosong itu... Tapi bukan hanya itu yang Papa ingin bicarakan."
Mata Clarissa melebar, panik.
"Papa harus hati-hati, Pa! Dia... dia sekarang mengincar kita! Dia bahkan... dia bahkan melihatku dari seberang mansion pagi ini! "
Dimitri membuka matanya, tatapannya tajam dan tegas, mengabaikan ketakutan Clarissa.
"Dengarkan Papa baik-baik, Clarissa. Jauhkan dirimu dari semua ini."
Clarissa membeku.
"Apa?"
"Jangan pernah lagi berurusan dengan Lilis. Jangan sentuh dia. Jangan cari tahu apa pun tentang dia atau masa lalu itu. Lupakan mansion Ramon, lupakan Reno, lupakan semuanya."
Clarissa melepaskan tangan ayahnya, ada nada menentang.
"Tapi, Pa! Aku nggak bisa! Dia berbahaya! Dia mengancam nyawa orang!"
Pak Dimitri memotong dengan suara yang lebih kuat, meskipun ia terbatuk pelan.
"CUKUP!"
Clarissa terdiam, terkejut.
Pak Dimitri menggenggam tangan Clarissa erat-erat, matanya berkaca-kaca.
"Kamu sudah terlalu banyak shock, sayang. Papa sudah melihatnya. Dia terlalu kuat. Ada hal-hal yang tidak bisa kita lawan. Jangan dekati mansion itu lagi. Kamu harus janji pada Papa, kamu akan berhenti. Sekarang juga."
Air mata Clarissa menggenang. Rasa aman yang baru saja didapatkannya langsung runtuh oleh perintah ayahnya. Ia melihat kelelahan dan ketakutan yang nyata di mata ayahnya.
"Tapi, Pa... kalau aku berhenti, siapa yang akan menghentikannya? Dia akan menghancurkan keluarga Reno! Dia akan..."
Dimitri mendesak dengan kelelahan.
"Keselamatanmu lebih penting dari segalanya. Biarkan dia, Clarissa. Janji. Janji kamu akan berhenti. Demi Papa. Papa tidak akan sanggup melihatmu terluka."
Clarissa menarik napas panjang, menatap wajah ayahnya yang lemah. Ia tahu, saat ini, ayahnya lebih rapuh daripada sebelumnya. Keinginan untuk melindungi Dimitri mengalahkan semua kecemasannya yang lain. Ia mengangguk pelan.
"Baik, Pa. Aku... aku janji. Aku akan berhenti. Aku akan melupakan semuanya."
Dimitri menghela napas lega, senyum tipis terukir di wajahnya. Ia memejamkan mata sebentar.
"Terima kasih, sayang. Sekarang... tolong, Papa butuh istirahat. Kamu juga harus pulang dan tidur."
Clarissa menyeka air matanya. Ia mencium kening ayahnya dengan lembut.
"Iya, Pa. Istirahat yang nyenyak. Aku akan kembali nanti."
Clarissa berdiri, menatap ayahnya yang perlahan kembali tertidur. Janji itu terasa berat, seperti rantai yang mengikatnya. Ia tahu dia tidak akan bisa menepatinya.
Clarissa berkata pelan, di dalam hati.
"Aku minta maaf, Pa. Tapi aku gak bisa. Aku gak akan biarkan hantu Lilis lolos. Aku harus tahu apa yang dia sembunyikan."
Clarissa melangkah keluar dari ruangan, meninggalkan ayahnya yang terlelap. Ekspresi cemasnya kini bercampur dengan tekad yang membara.
Clarissa berjalan cepat di koridor rumah sakit, lalu keluar menuju area lobi dan pintu masuk utama.
Lampu di teras rumah sakit terang benderang. Udara pagi terasa dingin. Clarissa mengeluarkan ponsel, tampak akan menelepon seseorang.
"Aku harus kembali ke mansion itu. Aku harus..." ucap Clarissa pelan.
Tiba-tiba, suara sirene ambulans yang keras memecah keheningan.
Sebuah ambulans berwarna putih dengan lampu biru menyala membelok cepat dan berhenti di pintu masuk UGD.
Petugas medis segera bergerak membuka pintu belakang.
Clarissa yang terkejut menoleh. Instingnya sebagai seorang yang terlibat dalam misteri menariknya mendekat.
Petugas medis bergegas menurunkan brankar dorong dari ambulans.
Di atas brankar itu terbaring seorang gadis dengan wajah pucat, rambut hitam panjang berantakan, tubuhnya tertutup selimut tipis. Gadis itu pingsan korban kecelakaan.
Clarissa berdiri kaku di samping pintu masuk, pandangannya tertuju pada gadis di brankar itu.
Wajah gadis itu...
Clarissa berbisik, terkejut.
"Itu..."
Detak jantung Clarissa berdentum keras. Wajah gadis itu sangat mirip dengan deskripsi hantu Lilis.
Wajah pucat dan rapuh. Garis rahang, bentuk mata. Semuanya identik.
Clarissa merasakan getaran aneh, campuran antara ketakutan dan pencerahan.
Salah satu paramedis berbicara cepat di telepon, sambil mendorong brankar.
"Ya, korban kecelakaan tunggal di area pasar. Kondisi pingsan, denyut nadi lemah." ucap paramedis 1.
Clarissa melangkah maju, kakinya gemetar. Ia mencoba melihat lebih jelas rambut, pakaian yang sedikit robek.
Brankar berhenti sebentar di pintu UGD. Perawat sudah menunggu.
Perawat bertanya.
"Identitas?"
"Belum ada. Di saku dompetnya ada KTP. Namanya Aline." jawab paramedis 2.
Clarissa tersentak.
"Aline?"
Clarissa berbisik.
"Aline? Lilis?"
Mata Clarissa melebar, koneksi di kepalanya tersambung. Hantu itu melihatnya di seberang mansion pagi ini tetapi apakah ini adalah kembarannya pikir Clarissa.
Clarissa menatap Aline yang tak sadarkan diri dibawa masuk ke UGD. Wajahnya kini bukan lagi dipenuhi tekad balas dendam, tetapi rasa ingin tahu yang dingin.
Ini bukan lagi tentang masa lalu. Ini adalah ancaman yang hidup.
Clarissa menggenggam ponselnya erat-erat, melupakan janjinya pada Dimitri sepenuhnya.
"Aku nggak bisa berhenti. Karena kalau hantu itu punya saudara, berarti aku bisa menguliknya dari Aline? Aline, semoga kamu selamat."
Clarissa dengan cepat melangkah maju, berniat menyusul brankar itu.
Paramedis 2 berbalik, menghentikan Clarissa
"Maaf, area ini steril. Hanya petugas."
Clarissa mundur selangkah, namun matanya tidak lepas dari pintu UGD.
"Lilis. Istri hantu Reno punya saudara kembar. Itu berarti Aline?"
Clarissa menoleh cepat ke arah taman rumah sakit, mencari tempat yang lebih tenang. Ia harus menghubungi Reno.
Ia memencet nomor Reno dengan tangan gemetar.
"Reno! Aku tahu ini gila, tapi... Aku baru saja melihat saudaramu. Bukan hantu Lilis. Tapi kembarannya. Dia ada di rumah sakit ini! Kita harus bicara."
"Bicara apa lagi, Clarissa? Aku sudah bilang, aku sibuk. Aku sedang rapat penting di kantor. Lagipula, Lilis gak punya saudara kembar."
"Dengarkan aku! Namanya Aline. Dia baru saja dibawa ke UGD, korban kecelakaan. Wajahnya... dia sangat mirip dengan Lilis. Identik!
Hening sejenak di seberang telepon. Clarissa mendengar helaan napas yang frustasi.
"Aline? Kenapa aku harus peduli? Kalaupun dia mirip, itu kebetulan. Dunia ini luas, Clarissa. Banyak orang mirip."
"Tapi ini bukan kebetulan, Reno! Ini keterkaitan! Hantu itu... hantu Lilis yang menghantuiku, dia punya koneksi dengan dunia nyata dan mungkin Aline adalah kuncinya."
"Kunci apa? Kunci untuk mengacaukan hidupku lagi? Cukup, Clarissa! Bukankah kamu bilang kamu udah menyerah? Kamu berjanji tidak akan mengganggu lagi hubunganku dengan Lilis?"
"Aku tahu, aku tahu aku berjanji! Tapi ini lebih besar dari sekedar janji. Kalau Aline ini benar..."
"Gak ada kalau. Aku udah bilang padamu berkali-kali! Lilisku gak punya saudara. Dan kalaupun dia punya, aku gak peduli. Masa laluku, masa lalunya, itu udah selesai. Fokusku sekarang adalah Lilis!"
Clarissa bisa merasakan kemarahan yang membara dari suara Reno.
"Reno, tolong! Dia di UGD, kondisinya lemah. Setidaknya datang dan lihat dia sekali saja. Mungkin dia bisa memberikan petunjuk soal siapa Lilis sebenarnya!"
Reno tertawa hampa.
"Petunjuk? Aku tidak butuh petunjuk lain! Petunjuk yang aku butuhkan adalah ketenangan. Aku butuh kamu berhenti! Aku gak akan ke rumah sakit itu. Aku gak ingin lihat siapa pun yang menyerupai Lilis selain Lilisku yang sekarang."
"Jadi, kamu memilih untuk gak peduli pada seseorang yang mungkin adalah saudari istrimu, hanya karena kamu takut?"
"Aku memilih untuk melindungi diriku dan Lilisku. Sekarang, hentikan semua ini. Aku tidak mau mendengar nama Aline lagi. Aku sibuk."
Reno memutus panggilan.
Clarissa menurunkan ponselnya, menatap layar dengan mata terbelalak, napasnya memburu. Kekecewaan dan determinasi bercampur di wajahnya.
"Dia marah. Dia takut. Bagus. Itu berarti aku harus mencari tahu sendiri. Aline..."
Clarissa melihat ke pintu UGD yang tertutup. Dia berbalik cepat, lalu melangkah menuju meja resepsionis rumah sakit.
"Maaf, saya ingin tahu bagaimana kondisi pasien kecelakaan yang baru saja dibawa masuk? Namanya Aline.
Petugas resepsionis menatap Clarissa dengan pandangan datar."
"Maaf, informasi medis pasien adalah rahasia. Apakah anda keluarga terdekat pasien?"
Clarissa mencondongkan tubuhnya sedikit, mencoba menampilkan aura meyakinkan.
"Bukan keluarga... tapi saya sahabatnya. Sahabat baiknya, sejak lama. Kami sangat dekat."
Petugas resepsionis mengambil sebuah formulir dari tumpukan, matanya menyipit sedikit.
"Sahabat? Bisakah anda memberikan nama lengkap, tanggal lahir, atau alamatnya? Kami perlu memastikan. Kami tidak bisa memberikan detail kondisi ke sembarang orang."
Clarissa terdiam sesaat. Ia tidak tahu detail identitas Aline. Keheningan itu terasa berat.
Clarissa mengambil napas, berbohong dengan mantap.
"Maaf, saya sangat terkejut. Saya... kami baru bertemu lagi setelah berbulan-bulan tidak bertemu. Saya hanya tahu dia dibawa ke sini. Tapi saya yakin, itu dia. Namanya Aline."
Petugas Resepsionis melihat ke layar komputer sejenak, lalu mengangkat alisnya.
"Aline... Saat ini pasien masih dalam penanganan intensif di UGD. Dia belum stabil. Mengenai biaya administrasi... apakah anda yang akan bertanggung jawab?"
Pertanyaan itu membuat Clarissa terkejut, namun ia melihatnya sebagai kesempatan emas untuk tetap berada di rumah sakit.
"Ya. Tentu saja. Saya yang akan menanggungnya. Saya akan mengurus semua administrasi yang diperlukan. Berapa pun biayanya. Tolong, prioritaskan keselamatannya. Bisakah Anda memberi tahu saya di mana saya harus menunggu dan siapa dokter yang menanganinya?"
Petugas Resepsionis mengangguk, terkesan dengan ketegasan Clarissa. Petugas itu menyerahkan formulir pendaftaran.
"Baik. Silakan isi formulir ini sebagai penanggung biaya. Anda bisa menunggu di area tunggu samping UGD. Dokter yang menanganinya adalah Dokter Rangga. Saya akan memasukkan data anda sebagai kontak darurat."
Clarissa mengambil pulpen dan formulir itu dengan cepat. Tangannya masih sedikit gemetar, tapi tekadnya kuat.
"Terima kasih. Tolong, kabari saya segera jika ada perkembangan. Segera setelah dia bisa ditemui, saya harus menemuinya. Ini... ini sangat penting."
"Kami akan menghubungi anda jika ada perkembangan signifikan."
Clarissa mengangguk, tangannya mulai menulis di formulir itu. Pikirannya melayang.
"Aline. Aku akan melindungimu sampai aku tahu siapa kamu dan kenapa kamu mirip dengan Lilis." batin Clarissa.
Ia menyelesaikan pengisian, menyerahkan formulir, dan segera melangkah menuju area tunggu yang ditunjukkan, matanya tidak lepas dari pintu UGD.
Bersambung