“Sah!”
Di hadapan pemuka agama dan sekumpulan warga desa, Alan dan Tara terdiam kaku. Tak ada sedikitpun senyum di wajah meraka, hanya kesunyian yang terasa menyesakkan di antara bisik-bisik warga.
Tara menunduk dalam, jemarinya menggenggam ujung selendang putih yang menjuntai panjang dari kepalanya erat-erat. Ia bahkan belum benar-benar memahami apa yang barusaja terjadi, bahwa dalam hitungan menit hidupnya berubah. Dari Tara yang tak sampai satu jam lalu masih berstatus single, kini telah berubah menjadi istri seseorang yang bahkan baru ia ketahui namanya kemarin hari.
Sementara di sampingnya, Alan yang barusaja mengucapkan kalimat penerimaan atas pernikahan itu tampak memejamkan mata. Baginya ini terlalu cepat, terlalu mendadak. Ia tak pernah membayangkan akan terikat dalam pernikahan seperti ini, apalagi dengan gadis yang bahkan belum genap ia kenal dalam sehari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rienss, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Tidak Perli Izinmu
Lantai dua puluh terasa sunyi ketika Tara barusaja menginjakkan kaki di sana. Suasananya berbeda sekali dengan tempat kerjanya sebelumnya di divisi keuangan.
Ia kemudian melangkah menghampiri meja milik seorang perempuan yang ia kenali sebagai sekretaris Alan.
“Selamat pagi, Bu Rinda,” Sapa gadis itu sopan.
Rinda yang beberapa saat lalu masih sibuk memeriksa dokumen mengangkat pandangannya. “Selamat pagi. Kamu pasti Tara, bukan?”
Tara mengangguk. “Iya, Bu.”
Wanita berusia tiga puluh tahunan dengan penampilan anggun itu tersenyum profesional. “Selamat datang, Tara.” Ia lalu menutup map dan beranjak dari tempat duduknya. “Ayo, saya antar ke tempat kerjamu yang yang baru.”
Tara kembali mengangguk, lalu mengikuti langkah wanita itu menyusuri koridor menuju ke sebuah ruangan berdinding kaca tebal. Jantung Tara berdetak lebih cepat. Rasa gugupnya bertambah mengingat ia akan bergabung dengan staff khusus eksekutif perusahaan itu.
Rinda memperkenalkan Tara terlebih dahulu kepada para staff di ruangan itu.
“Hallo semua, Ini Tara. Mulai hari ini dia akan bergabung di ruangan ini,” ujar Rinda tenang.
Beberapa staff tersenyum ramah, beberapa di antaranya hanya mengangguk sambil melanutkan pekerjaan.
Atmosfer di tempat itu benar-benar berbeda, lebih kaku dibanding divisi tempat Tara bekerja sebelumnya.
“Itu mejamu, Tara,” ujar Rinda menunjuk meja kosong yang sudah lengkap dengan komputer baru. “Kalau ada kebutuhan atau akses dokumen tertentu, langsung hubungi saya.”
“Terima kasih, Bu,” jawab Tara sedikit membungkuk.
Begitu Rinda melangkah kembali ke mejanya dan Tara baru hendak menarik kursi kerjanya, terdengar suara seorang pria memanggilnya dari arah pintu masuk.
Gadis itupun spontan menoleh.
Mendapati Dirga yang melangkah cepat menghampirinya.
Beberapa staff lainnya pun ikut menoleh. Beberapa saling berbisik pelan melihat kehadiran sang CFO di ruangan itu.
Hampir semua staff di sana tahu siapa Dirga. Adik sang CEO yang terkenal dengan julukan “Si cassanova”. Beberapa karyawati di perusahaan itu termasuk Dini sekretarisnya sekarang telah menjadi subjek untuk kepuasan biologis pria itu.
Dan sekarang, sepertinya Tara si karyawan baru yang akan menjadi mangsa selanjutnya.
Dirga sama sekali tak memusingkan tatapan-tatapan itu. Ia terus melangkah menghampiri Tara dengan wajah tegang dan emosi yang terlihat jelas.
“Tara? Kenapa kamu tidak bilang kalau kamu dipindahkan ke sini?”
Tara tersenyum kikuk menyadari tatapan-tatapan yang tertuju ke arahnya, termasuk dari Rinda yang sempat berhenti sebentar.
“P_Pak Dirga, saya...”
Belum sempat Tara menyelesaikan kalimatnya, Dirga meraih lengan gadis itu. “Ikut saya sebentar.”
“Pak, tapi saya harus...” Tara mencoba menahan, tapi Dirga tak perduli dan menariknya menjauh dari tempat itu.
Dengan cengkraman tangan Dirga yang kuat, membuat Tara terpaksa mengikutinya. Hingga pada akhirnya mereka tiba di area tangga darurat yang sunyi barulah barulah Dirga melepaskan tangan itu.
Napas pria itu memburu dengan tatapan tajanya mengarah pada Tara.
“Kenapa kamu tidak mengatakan apa-apa padaku, Tara?” cecar Dirga.
Tara engurut lengannya yang sedikit memerah. “Mengatakan apa, Pak?”
Dirga menatapnya tajam, frustasi.
“Mengatakan apa? Kamu serius, Tara? Kamu dipindahkan ke sini tiba-tiba tanpa ada pemberitahuan padaku dan kamu masih bertanya harus mengatakan apa?”
Tara justru terlihat tenang. “Karena saya memang tidak tahu harus mengatakan apa, Pak.”
Dirga mengepalkan kedua tangannya, rahangnya ikut mengeras. “Sejak kapan kamu tahu hal ini? Ha?”
“Sejak kemarin sore,” jawab Tara tenang, tapi justru membuat perasaan Dirga makin tak karuan.
“Tapi saya dapat pemberitahuan resmi dari HRD baru pagi ini, Pak,” lanjut gadis itu.
Dirga mengusap wajahnya dengan gerakan kasar. Tara benar-benar membuatnya hilang kendali dengan sikap tenangnya. Apa yang terjadi seperti tidak terpengaruh apa pun padanya.
“Kenapa kamu diam saja kemarin Tara?” tanya Dirga geram.
Tara mengangkat sedikit bahunya. “Saya pikir Pak Dirga sudah tahu,” jawabnya datar. “Dan lagipula, ini hanya sampai tanggal mutasi saya berlaku, Pak. Jadi mungkin... hanya sekitar satu minggu.”
Tara bahkan masih sempat menghitung dengan jari, membuat Dirga hampir meledak karena marah bercampur kesal.
Dirga tak menyahut, ia berusaha mengatur napasnya agar tak lebih emosi engan sikap Tara.
Dan saat itulah, Alan yang barusaja keluar dari lift bersama Rico melihat pemandangan itu.
Seketika rahang pria itu mengeras, dan kedua tangannya mengepal kuat. Ia tanpa ragu melangkah mendekat, diikuti Rico yang berjalan setengah langkah di belakangnya.
“Apa yang kalian lakukan di sini?” tanyanya tanpa basa-basi dengan nada dingin dan penuh tekanan. Tatapannya begitu tajam seolah menguliti Tara dan Dirga satu persatu.
Dirga tak langsung menjawab, ia tak gentar dan membalas tatapan itu. Sementara Tara menunduk dengan kedua tangan saling meremas di depan tubuhnya.
“Kenapa Abang pindahkan Tara ke sini?” Dirga akhirnya bersuara. “Apa maksud Abang sebenarnya?”
Alan diam sebentar. Tatapannya singgah pada tara terlebih dahulu.
“Kau, kembali ke ruangan. Lanjutkan pekerjaaanmu,” ucap Alan tegas.
Tara sempat menelan ludah sebelum mengangguk, “Baik, Pak.”
Tara menuduk hormat pada ketiga pria itu, lalu bergegas meninggalkan area tangga darurat.
Begitu Tara menghilang, barulah Alan memusatkan perhatiannya kembali pada Dirga.
Suasana di sekitar mereka terasa berat.
Dirga menyilangkan tangan di depan dada, rahangnya masih mengeras. “Sekarang jawab, Bang. Kenapa Abang tiba-tiba memindahkan dia ke sini?”
Alan tetap tenang, bahkan terlalu tenang meskipun sebenarnya hatinya ikut membara melihat perhatian sang adik pada Tara.
“Aku tidak perlu izinmu atau siapapun untuk memindahkan karyawan, Dirga. Ingat itu.”
“Tapi ini bukan soal izin!” suara Dirga meninggi, langkahnya maju setengah. “Abang tahu persis kenapa aku keberatan.”
Alan tersenyum tipis tapi terkesan dingin. “Kalau kau punya persoalan pribadi dengan Tara, atau dengan keputusan manajerialku, itu bukan urusanku.”
Dirga mengepalkan tangan. “Abang tahu aku sedang...”
“Apa?” potong Alan cepat. “Kamu sedang apa, Dirga?”
Dirga terdiam sesaat, tapi sorot matanya semakin jelas menunjukkan bahwa ia tidak terima, cemburu, arah, sekaligus frustasi karena Tara dipindahkan dari departement yang dipimpinnya.
Alan memperhatikan itu semua tanpa berkedip.
“Jangan bawa urusan pribadi ke dalam perusahaan,” lanjut Alan dengan nada suaranya yang lebih dingin.
“Dan jangan memperlakukan karyawan sesuka hatimu hanya karena emosimu tidak stabil.”
Wajah Dirga memerah, giginya terkatup rapat.
Rico yang sejak tadi berdiri diam di belakang Alan hanya bisa memantau, tapi ia selalu siaga campur tangan jika keduanya semakin panas.
“Satu hal lagi, Dirga.” Alan mencondongkan tubuhnya sedikit ke arah sang adik. Suaranya terdengan rendah nyaris berbisik.
Dirga menatapnya tajam, napasnya masih terengah menahan emosi.
“Selama dia bekerja dalam pengawasanku... kau tidak boleh menyentuhnya tanpa izinku.”
Kalimat Alan barusan membuat mata Dirga membesar.
“Abang...”
Alan berbalik , menandakan diskusi selesai. Namun sebelum ia benar-benar melangkah, ia mengucapkan satu kalimat dengan intuisi peringatan terhadap sang adik.
“Jaga sikapmu.”
Setelah Alan berbalik dan berjalan meninggalkan Dirga begitu saja, suasana di area tangga darurat itu semakin tegang.
Dirga masih berdiri di tempatnya, diam, matanya tajam menatap punggung Alan yang sudah semakin menjauh.
Kemudian...
Dug!
Tanpa peringatan, Dirga mengepalkan tinju dengan kuat dan menghantam dinding kaca di dekatnya.
“Sial!” geram Dirga masih penuh dengan amarah yang belum juga mereda.
Sementara itu, setibanya ia di ruangan Alan tak langsung duduk di kursinya. Ia justru menghampiri dinding kaca besar yang memperlihatkan panorama kota pagi itu.
Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya yang masih bergejolak dengan apa yang terjadi barusan.
Sebentar lagi, dia harus menghadapi masalah yang baru saja dipicu. Dirga, Tara, dirinya, dan juga Lira, serta semua yang terjadi di antara mereka... semuanya semakin sulit dikendalikan.
Ia lalu berbalik ke kursinya, dan dengan gerakan mantap, pria itu menekan tombol interkom di atas meja.
“Suruh Tara datang ke ruanganku sekarang juga.”