Sudah empat tahun lamanya Aini menikah dengan suaminya Rendra. Namun dia tahun terkakhir Rendra tak bekerja. Sehingga kebutuhan sehari-hari di bantu bapak mertuanya. Terkadang Aini terpaksa memasak sebungkus mie instan untuk lauk makannya dirinya dan anaknya.
Disaat himpitan ekonomi, suaminya pun bertingkah dengan kembali menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tika Despita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
“Bagaimana? Kamu sudah cukup tenang?” tanya Mas Arsya pelan setelah melihat aku sudah berhenti menangis. Tadi dia bahkan sempat mampir ke minimarket dan membelikan aku air mineral.
“Sudah mas..” jawabku sambil tersenyum tipis.
Mobil Mas Arsya kembali melaju menuju rumah. Begitu berhenti di depan halaman, aku segera turun. Mas Arsya membantu menurunkan Keenan, lalu menggendongnya dengan sigap seperti tadi saat kami berangkat ke pesta.
“Terima kasih ya mas, sudah nemenin saya,” ucapku sungkan.
“Sama-sama,” balas Mas Arsya, tersenyum ramah.
Tapi senyumku langsung hilang ketika melihat Mbak Risa keluar dari rumah Mas Arsya. Tatapannya sulit ditebak, bukan marah, tapi ada sesuatu yang membuat dadaku langsung tak nyaman. Rasanya aku seperti Dela, saat dia kepergok jalan sama mantan suamiku dulu. Padahal Mas Arsya dan Mbak Risa memang belum menikah, tapi tetap saja, mereka punya hubungan. Dan aku merasa jadi orang ketiga.
“Aini?” panggil Mbak Risa sambil menghampiri.
“Mbak Risa.” Aku mencoba tersenyum, walaupun senyumku terasa kaku. Tatapan Mbak Risa langsung tertuju pada Mas Arsya yang masih menggendong Keenan.
“Keenan, ayo sini sama Mama.” Aku buru-buru mengambil Keenan dari gendongan Mas Arsya, seolah ingin menghapus kesalahpahaman sebelum muncul.
“Sekali lagi makasih ya, Mas,” ucapku cepat.
Aku menoleh ke Mbak Risa, berusaha bersikap biasa saja.
“Mbak, saya masuk ke dalam dulu. Mbak mau mampir sekalian?”
“Oh, nggak usah, Aini.” Mbak Risa menggeleng.
“Aku tadi dari rumah Tante Ratna. Beliau ngajak bikin kue. Sekarang mau pulang juga kok.”
Lalu ia menoleh ke arah Mas Arsya. “Sya, kamu bisa antar aku pulang? Mobilku masih di bengkel.”
“Hm.” Mas Arsya mengangguk dan langsung masuk ke dalam mobil.
Melihat mereka berdua seperti itu, aku hanya bisa menahan napas. Aku memilih cepat-cepat masuk ke rumah. Semoga saja Mbak Risa nggak salah paham. Atau mungkin besok aku harus menjelaskan semuanya?Entahlah..
...****************...
Ibuk keluar dari dapur sambil mengusap tangan pada celemeknya. Sepertinya beliau baru mau mulai masak.
“Udah pulang cucu Nek?” tanya Ibuk sambil mencubit gemas pipi Keenan.
“Udah, Nek. Tadi Mama nangis,” jawab Keenan polos, membuatku langsung panik. Padahal aku sudah bertekad tidak mau menceritakan kejadian di pesta tadi.
“Benar itu, Aini?” Ibuk menatapku penuh tanya.
“Enggak kok, Buk! Tadi mata Aini cuma kelilipan, jadi keluar air mata. Kalau nggak percaya, tanya aja sama Mas Arsya.” Aku tersenyum canggung, berharap Ibuk tak menanyai lebih jauh.
“Oh, begitu…” Ibuk mengangguk.
“Sudah sana mandi, ganti pakaian. Keenan pasti gerah,” ujar Ibuk kemudian. Aku langsung mengangguk dan buru-buru membawa Keenan ke kamar.
Baru saja aku ingin menenangkan diri dan melupakan kejadian siang tadi, tiba-tiba terdengar suara Kevin berteriak dari halaman.
“Mbaaak! Mbaaak!”
“Apa sih, Vin?” Aku segera keluar kamar. Dengan teriakan sekeras itu, rasanya satu kampung pun bisa bangun.
“Memang bajingan si Rendra itu! Aku nggak akan tinggal diam lihat Mbak diperlakukan begitu di depan orang!” ucap Kevin dengan napas tersengal-sengal. Aku terkejut. Bagaimana dia bisa tahu?
“Apa maksud kamu, sih? Mbak nggak ngerti.” Aku tetap mencoba mengelak, takut Ibuk ikut shock kalau mendengar kenyataannya.
“Ada apa, Kevin?” Ibuk ikut menghampiri, bingung melihat wajah Kevin yang memerah.
“Ibuk lihat ini!” Kevin mengulurkan ponselnya.
Begitu video itu diputar, Ibuk langsung terduduk. Air mata beliau jatuh tanpa bisa ditahan.
Aku segera merebut ponsel Kevin. Jantungku serasa berhenti ketika melihat apa yang ia tunjukkan.
Itu video Rendra dan aku. Lengkap dengan kata-kata kasarnya. Dia mencaci, memaki, dan merendahkan aku habis-habisan di pesta pernikahannya tadi. Termasuk menghina fisikku. Dan sekarang video itu sudah menyebar luas di media sosial. Wajar kalau Kevin sampai tahu semuanya.
“Mbak...” Kevin memegang bahuku, suaranya pelan tapi penuh emosi.
Rasanya dunia langsung runtuh menimpaku. Aibku, benar-benar jadi konsumsi publik. Tega-teganya ada yang sembunyi-sembunyi merekam kejadian tadi dan menyebarluaskan di sosial media.
“Kamu gimana bisa kuat kayak gitu, Nak? Ini sudah keterlaluan Rendra-nya,” suara Ibuk bergetar.
“Meski kamu bukan istrinya lagi, apa dia nggak punya hati nurani memperlakukan kamu begitu di depan umum?”
Aku menarik napas panjang. “Jujur, Aini nggak kuat, Buk. Tapi Aini harus kuat. Kalau nggak, harga diri Aini akan terus diinjak-injak.”
Kevin mengepalkan tangan. “Mbak, aku nggak akan tinggal diam. Dia udah mempermalukan Mbak begini!”
“Kevin…” Aku menatapnya serius.
“Kalau kamu sayang sama Mbak dan Keenan, jangan buat apa-apa. Diam saja. Semakin kita bersuara, orang-orang malah makin merendahkan kita.”
Kevin terdiam, meski jelas ia masih menahan amarah. Ia mengangguk perlahan.
“Setidaknya sekarang orang-orang bisa lihat sendiri lelaki macam apa dia,” lanjutku.
Tapi Kevin membuka video lagi dan menunjuk pada satu bagian. “Tapi ini ada Mas Arsya juga di video, Mbak.”
Aku langsung memijat pelipisku.
Ya Tuhan..benar. Mas Arsya terekam sedang menolongku bahkan setiap kata dari mulut mas Arsya jelas teedengar. Itu bagus buatku, tapi tidak untuk dia. Kalau video ini viral, orang bisa saja salah paham dan menganggap Mas Arsya pria tidak baik. Terlebih Rendra jelas-jelas menuduh dia punya hubungan denganku. Apalagi di saat aku masih dalam masa Iddah.
Dan itu akan jadi bumerang untuk Mas Arsya dan akan membuat mbak Risa semakin salah paham.
“Gimana selanjutnya, Mbak?” tanya Kevin. Suaranya jauh lebih pelan dibanding tadi, tapi aku tahu dia masih menahan marah.
“Entahlah, Vin…” Aku menghela napas panjang.
“Mbak jadi merasa bersalah sama Mas Arsya. Dia jadi kebawa-bawa. Padahal niatnya cuma mau nolongin Mbak waktu Rendra mulai macam-macam. Sekarang Mbak harus bilang apa sama orang kantor kalau mereka lihat video ini?”
Kevin menatapku serius. “Mbak temuin aja Mas Arsya sekarang. Jelasin semuanya. Biar dia tahu duduk perkaranya.” Ibuk mengangguk setuju di belakangnya.
“Enggak, ah. Mbak malu ketemu dia.” Aku menggeleng cepat.
“Mbak udah bikin malu namanya. Apalagi dia kan bukan orang sembarangan. Mbak jadi nggak enak.”
“Biar Ibuk yang temanin,” ujar Ibuk lembut, meraih lenganku.
“Nanti Ibuk bantu bicara. Kita harus cari solusi, Aini. Jangan biarkan orang lain kena imbas dari masalah kamu dan Rendra.”
Aku menunduk. Ada rasa sesak menyelinap di dada. “Iya, Buk..”
Akhirnya aku dan Ibuk bersepakat untuk ke rumah Mas Arsya. Mungkin dengan bicara baik-baik, kami bisa menemukan jalan keluarnya. Video itu sudah terlanjur tersebar; kami tak punya banyak pilihan selain menghadapi semuanya.
Perjalanan ke rumah Mas Arsya terasa lebih panjang dari biasanya. Setiap langkah rasanya berat. Aku takut, malu, dan cemas membayangkan bagaimana reaksi keluarganya.
Sesampainya di depan rumah, Ibuk mengetuk pintu pelan. Tak lama kemudian, pintu terbuka.
Tante Ratna muncul dengan senyum hangatnya. “Loh, Aini..sama Ibuk. Ada apa? Masuk dulu.”
Tidak ada amarah. Tidak ada raut kaget. Tidak ada tanda-tanda beliau sudah melihat video itu. Bahkan ekspresinya begitu biasa, seperti tidak terjadi apa-apa.
Aku dan Ibuk saling pandang,bingung sekaligus lega. Tapi di sisi lain, aku justru makin gugup.
Apa beliau benar-benar belum melihat videonya? Atau sudah lihat, tapi sedang menunggu penjelasan dariku?
Jantungku tiba-tiba berdetak lebih keras saat melihat mas Arsya duduk di sofa menatapku dan tersenyum ke arahku dan ibuk.
"Ayo duduk!" tawar Tante Ratna.
Aku dan ibuk mengangguk, tiba-tiba saja mulut kami kaku,mau dimulai dari mana bicaranya kamipun bingung dibuatnya.