NovelToon NovelToon
The Thousand Faces Of The Demon Sage

The Thousand Faces Of The Demon Sage

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Action / Reinkarnasi / Mengubah Takdir / Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Demon Heart Sage

Shen Wuyan lahir dengan ribuan wajah di dalam jiwanya, masing-masing menyimpan ingatan, kekuatan, dan dosa. Dunia mengejarnya, menyebutnya iblis yang harus dihancurkan — tapi Wuyan punya rahasia yang lebih gelap: ia tidak hanya satu entitas, melainkan ribuan jiwa yang terperangkap dalam satu tubuh.
Jika ia menolak salah satu wajah, sisi itu bisa memberontak dan mencabik jiwanya dari dalam. Tapi jika ia menerima semuanya … ia bisa menjadi musuh terbesar dunia.
Kini Wuyan harus bertarung bukan hanya untuk hidupnya, tapi untuk mendamaikan semua sisi dirinya yang paling menakutkan — sebelum wajah-wajah itu membunuhnya dari dalam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demon Heart Sage, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 34 — Bayangan di Air Tenang

Kabut turun perlahan dari puncak-puncak batu, merayap seperti napas dingin yang tak mau hilang. Shen Wuyan berjalan melewati celah hutan yang sepi, mengikuti jejak samar suara air yang terdengar dari kejauhan. Seluruh tubuhnya masih memikul sisa-sisa getaran spiritual dari lembah sebelumnya, namun pikirannya lebih sunyi daripada malam.

Hingga akhirnya ia tiba di tepian danau.

Airnya begitu tenang, sampai-sampai permukaannya tampak lebih seperti cermin batu obsidian daripada air. Tidak ada angin. Tidak ada serangga. Tidak ada suara alam — seolah dunia berhenti bergerak tepat di sini.

Wuyan berdiri di tepi danau, menatap diam-diam. Di balik kesunyian itu, dadanya berdenyut pelan, seperti ada sesuatu yang tak seharusnya terbangun.

“Tempat seperti ini tidak terbentuk secara alami.”

Bisikan itu muncul, lembut namun jelas. Diri Kedua.

Wuyan menarik napas kecil. “Aku tahu.” Suaranya sendiri terdengar asing, seolah ia berbicara dalam ruangan kosong di dalam dirinya.

Ia berlutut. Airnya memantulkan wajahnya dengan ketelitian yang terlalu sempurna. Tidak ada distorsi, tidak ada riak. Namun semakin lama ia menatap, pantulan itu berubah perlahan — garis wajah terpecah halus, seperti retakan yang merayap di permukaan kaca.

Retakan itu membelah menjadi dua. Lalu tiga.

Lalu belasan.

Wajah-wajah itu adalah dirinya. Tapi ekspresi mereka bukan miliknya.

Ada yang tampak sedih.

Ada yang tampak kosong.

Ada yang tampak marah.

Ada yang menunduk, seolah menyembunyikan sesuatu.

Ada yang tersenyum samar dengan cara yang membuat kulitnya merinding.

Wuyan memejamkan mata, namun pantulan itu tidak hilang dari pikirannya.

“Lihat baik-baik.”

Bisikan Diri Kedua terdengar lagi, dekat sekali, seperti berbisik tepat di belakang telinganya.

“Itu semua adalah kau. Pecahan yang selama ini tidak kau akui.”

“Pecahan itu muncul karena Laut Tanpa Dasar,” gumam Wuyan.

“Tidak. Laut hanya memperlihatkan apa yang sudah hancur dari awal.”

Suara itu terlalu yakin. Terlalu akrab.

Wuyan membuka mata. Tepian danau masih sunyi, tetapi pantulan itu kini bergerak—bukan mengikuti gerak tubuhnya, melainkan bergerak dengan keinginan sendiri. Seolah pecahan-pecahan wajah itu saling berbicara dalam bahasa yang tak terdengar.

Di tengah kelompok wajah itu, satu wajah muncul lebih jelas dari yang lain.

Wajah itu tampak seperti dirinya, namun lebih tegas, lebih tajam, dan ekspresinya membawa ketenangan berbahaya. Mata pantulan itu tidak mengikuti gerakan Wuyan; justru menatap lurus padanya, seolah menunggu.

Diri Kedua.

“Jadi kau benar-benar ingin muncul di sini,” kata Wuyan lirih.

Pantulan itu tersenyum tipis. Senyum yang bukan miliknya.

“Aku selalu ada. Kau yang tidak mau melihat.”

Permukaan danau bergetar halus, bukan karena angin, tetapi karena getaran jiwa. Wayan—diri itu—melangkah ke depan dalam pantulan, padahal tubuh Wuyan sendiri tidak bergerak. Air tetap tenang, tetapi bayangan bergerak seperti makhluk yang sudah lama ingin keluar.

“Kau datang ke tempat ini untuk apa?” Wayan bertanya.

Nada suaranya terdengar seperti seseorang yang berbicara kepada anak kecil yang keras kepala.

Wuyan tidak langsung menjawab. Ia menatap permukaan air, mencari kembali pantulan dirinya yang utuh. Tidak ada. Semua wajah terbelah, saling tumpang tindih, hidup dalam ketenangan yang mengancam.

“Aku… hanya ingin tenang sesaat.”

“Ketidakjujuran yang buruk.”

Pantulan Wayan mendekat sedikit lagi.

“Kau datang untuk melihat apakah kau masih utuh.”

Wuyan menegakkan tubuh, rahangnya mengeras. “Dan apa jawabanmu?”

“Kau tidak utuh. Kau tidak pernah utuh.”

Senyum itu semakin jelas, semakin menusuk.

“Yang menjadi masalah adalah: apakah kau masih berhak menyebut diri itu ‘dirimu’?”

Udara terasa lebih dingin. Kabut menebal di sekeliling danau, menggantung seperti selimut yang menahan gema suara mereka. Wuyan merasakan tarikan halus dari permukaan air, seolah ada tangan tak terlihat yang menarik napas bersamaan dengan dirinya.

“Aku masih aku,” katanya dengan pelan tapi mantap.

“Bagaimana kau bisa yakin,” Diri Kedua membalas, “ketika pecahan-pecahan itu hidup di luar kendalimu?”

Wayan—pantulan itu—mengangkat satu tangan di dalam air. Gerakan itu memicu riak kecil, dan seluruh wajah pecahan di permukaan danau ikut bergetar.

Seketika, permukaan air berubah.

Retakan wajah itu menyatu…

…lalu pecah lagi…

…lalu berubah menjadi sesuatu yang lebih kelam.

Wuyan mundur satu langkah tanpa sadar ketika permukaan danau mulai memantulkan bukan dirinya, melainkan suasana lain:

Kegelapan.

Abyss.

Gerakan lambat seperti tarikan laut dari kedalaman yang tak memiliki dasar.

Laut Tanpa Dasar.

Kabut berhenti bergerak.

Udara menjadi beku.

Diri Kedua muncul dari pantulan itu, kini sepenuhnya berbentuk dirinya yang lain, berdiri seolah di sisi lain kaca yang sangat tipis.

“Ini adalah tempatmu yang sebenarnya,” katanya.

“Kau berdiri di tepian sesuatu yang akan menelanmu cepat atau lambat.”

Wuyan menatap balik tanpa goyah. “Lalu apa maumu?”

Pantulan itu tersenyum lagi.

Namun kali ini, ada sesuatu yang lebih dingin di baliknya.

“Aku ingin melihat seberapa jauh kau bisa bertahan sebelum kau berhenti membedakan aku dari dirimu sendiri.”

Air di bawah pantulan seolah meraih kaki Wuyan, meski tak benar-benar menyentuhnya. Hanya sebuah ilusi—atau mungkin bukan?

Wuyan merasakan detak jantungnya berubah ritme. Dua denyut. Dua ritme. Dua keinginan.

Kabut menutup sedikit demi sedikit, menyisakan hanya dirinya, air, dan wajah yang menantangnya.

Ia mencoba berdiri, mundur, menjauh dari danau, tetapi sebelum ia melangkah—

Pantulannya tersenyum.

Bukan senyum halus.

Bukan senyum tenang.

Senyum yang terlalu mirip dengan wajah seseorang yang sedang menunggu sesuatu pecah.

Dan tepat saat Wuyan mengalihkan tatapan, sudut mata tangkap sesuatu:

Wajahnya sendiri

ditarik perlahan

ke kedalaman hitam Laut Tanpa Dasar.

(Ilusi? Peringatan? Atau awal dari sesuatu yang lebih dalam?)

Danau tetap sunyi.

Namun airnya berdenyut

seperti sedang menarik napas pertama.

Permukaan danau tetap tidak bergerak, seolah seluruh dunia telah berhenti bernapas. Shen Wuyan menjaga jarak setengah langkah dari tepi air, tetapi ketenangan semu itu terus menempel pada kulitnya seperti kabut dingin yang enggan pergi. Cahaya redup senja jatuh ke wajahnya, dan sesaat ia berharap pantulan itu kembali normal—satu wajah, satu bayangan, satu dirinya.

Tapi harapan semacam itu selalu menjadi kemewahan dalam hidupnya.

Pantulan itu kembali terbelah. Bukan pecah karena riak. Bukan pula ilusi dari cahaya. Pecahan itu seperti panel kaca tipis, saling bertumpuk, saling menembus, membentuk mosaik wajah yang semuanya ia kenal dan tidak kenal pada saat yang bersamaan. Beberapa tampak pucat, beberapa tampak marah, beberapa menatapnya tanpa emosi. Dan di tengah-tengah semuanya, satu wajah bangkit paling jelas—Wajah Pertama.

“Apa kau pikir bisa meninggalkan percakapan kita begitu saja?”

Suara itu bukan gema air. Itu suara yang langsung muncul di dalam tulang belakang Wuyan, merayap ke tengkuknya, lalu merayap ke kesadarannya.

Wuyan menutup mata satu detik, bukan untuk menghindar, tetapi untuk menahan dorongan naluriah untuk membalas dengan amarah. Amarah di depan bayangannya sendiri hanya akan membuka celah. Ia mengatur napas, lalu menatap kembali pantulan itu.

“Jika kau hanya ingin mengulang penghinaan semu, aku tidak tertarik.”

Wajah Pertama tersenyum tipis—senyuman yang terlalu mirip dengannya, tetapi tanpa jiwa.

“Penghinaan? Tidak. Aku hanya menyatakan fakta. Kau… terlalu rapuh untuk mengendalikan kami.”

Dari permukaan air, pecahan-pecahan wajah lain mulai berputar perlahan. Ada yang menangis. Ada yang tertawa tanpa suara. Ada yang sekadar menatap kosong seperti mayat. Masing-masing bergerak dengan ritme sendiri, tetapi semuanya terasa seperti jari-jari tangan tipis yang ingin meraba permukaan kesadarannya.

“Kau bicara seakan aku tidak tahu batas kekuatanku sendiri,” ucap Wuyan.

“Kau tidak tahu.”

Wajah Pertama membalas tanpa ragu. “Jika kau tahu, kau tak akan datang ke tempat seperti ini. Tenang, sunyi, tidak ada gangguan—tempat sempurna bagi kami untuk berbicara… dan mengambil alih sedikit demi sedikit.”

Wuyan mengalihkan pandangannya sejenak pada pepohonan di sekitar danau, mencoba memastikan dirinya tidak sedang berada dalam jebakan eksternal. Tidak ada suara burung, tidak ada serangga, bahkan tidak ada angin yang menggeser dedaunan. Seolah alam sendiri memutuskan untuk menjauh dari percakapan makhluk-makhluk jiwa yang sedang bertarung.

“Apa maumu?” tanya Wuyan, kali ini lebih tajam.

“Bukan apa mauku,” Wajah Pertama berbisik, “tetapi apa yang sudah seharusnya terjadi. Kau—identitas utama—tidak lebih dari cangkang sementara. Dirimu ada karena kami mengizinkannya. Itu adalah kenyataan yang sudah lama kau tolak.”

Air tiba-tiba bergelombang tanpa angin. Sekilas, Wuyan melihat permukaan danau itu berubah menjadi samudra hitam tanpa batas—Laut Tanpa Dasar. Pemandangan itu terlalu nyata untuk disebut halusinasi, tetapi terlalu mustahil untuk disebut kenyataan. Gelombang hitam pekat itu bergerak dengan gaya yang berbeda dari air biasa, seolah bergerak berdasarkan emosi, bukan fisika.

“Kau ingin membuatku takut?” Wuyan bertanya dengan suara tenang, namun dalam dadanya ada sesuatu yang dipaksa menahan tekanan kuat.

“Bukan membuatmu takut,” jawab Wajah Pertama. “Aku hanya ingin menunjukkan akhir dari jalan yang kau pilih.”

Seketika pantulan dirinya mencair, memanjang seperti bayangan yang diregangkan. Wajahnya—yang asli—ditarik oleh tangan-tangan tak terlihat di bawah permukaan. Bukan tubuhnya, hanya pantulan. Tetapi ketika wajah pantulan itu ditarik ke bawah, tenggorokan Wuyan ikut sesak. Sensasi itu begitu jelas hingga ia merasakan tekanan air menekan dadanya.

“Jika kau menerima kami tanpa batas,” suara Wajah Pertama terdengar hampir lembut, “kau akan menjadi sempurna. Tetapi jika kau tetap bersikeras menjadi ‘Shen Wuyan’, kau akan tenggelam dalam dirimu sendiri.”

Pantulan itu kembali menunjukkan gambaran dirinya—diri yang bukan dirinya. Senyumnya muncul. Bukan senyum yang pernah ia buat, tapi lebih seperti ekspresi seseorang yang sudah mengerti hasil akhir dari permainan ini.

Wuyan menatap balik tanpa bergeser.

“Aku menerima semua wajahku. Itu prinsipku. Tapi aku tidak akan kehilangan kendali. Kau tahu itu.”

Wajah Pertama menyeringai. “Kau menerima kami… tetapi dengan syarat? Kau belum mengerti apa itu penerimaan sejati.”

Riak air menghentak seperti denyut jantung raksasa. Sekelilingnya berubah gelap seolah malam turun dalam sekejap. Danau yang sebelumnya jernih berubah menjadi permukaan hitam yang berputar lambat, seperti pusaran kecil yang menunggu siapa pun untuk jatuh.

“Ini bukan pertarungan,” kata Wuyan lirih, namun tajam. “Ini negosiasi.”

“Negosiasi?” Wajah Pertama tertawa—tawa tanpa suara yang membuat kulit merinding. “Negosiasi terjadi jika kedua pihak seimbang. Kau? Kau hanya bertahan karena aku mengizinkannya.”

Ketika suara itu menghilang, permukaan air tiba-tiba menjadi bening kembali. Sangat bening, hingga Wuyan bisa melihat bayangannya sendiri dengan jelas.

Terlalu jelas.

Terlalu stabil.

Dan itu membuat bahaya baru terasa lebih dekat.

Pantulan Wuyan perlahan mengubah ekspresi—pelan, nyaris tak terlihat. Dari netral menjadi sesuatu yang mirip rasa puas, kemudian berubah menjadi senyum kecil yang bukan miliknya. Senyum itu merekah lebih lebar lagi, sementara tubuh Wuyan sendiri tetap datar tanpa perubahan.

Lalu pantulan itu berbicara.

Tanpa suara.

Tetapi Wuyan mendengarnya—langsung dalam pikirannya, dalam lapisan terdalam jiwa tempat kata-kata tidak lagi butuh udara untuk berada.

"Kau tidak akan pergi dari sini sendirian."

Seketika permukaan danau terbuka seperti mulut raksasa yang menyedot cahaya. Bayangan Wuyan—yang bukan dirinya—ditarik ke bawah, seolah suatu kekuatan dari dalam Laut Tanpa Dasar mencengkeram dan menyeretnya ke kedalaman hitam yang tak berujung.

Wuyan membeku. Bukan karena takut. Tetapi karena untuk pertama kalinya, pantulan itu tidak sekadar berbicara.

Pantulan itu bertindak.

Dan itu berarti ada sesuatu di dalam dirinya yang mulai bergerak sendiri, tanpa perintah, tanpa izin, tanpa batas.

Di tepian danau yang kembali sunyi, Shen Wuyan berdiri dengan rahang mengencang—menyadari bahwa apa pun yang barusan muncul, bukan lagi sekadar Wajah Pertama.

Ada yang lain.

Ada yang lebih dalam.

Dan sesuatu itu… sudah menarik wajahnya sendiri ke dalam kegelapan.

1
Ikhlas M
Keren thor suka banget sama ceritanya
Felixnxx: thanks
total 1 replies
Kyle
Mantap Lanjutkan
knovitriana
update Thor, jangan lupa mampir like,sub, comment, nih aku kasih gift karena nih hari Jumat berkah 💪👍😍
knovitriana
update Thor, jangan lupa mampir
knovitriana
keren Thor, jangan lupa mampir 🙏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!