Selama ini Tania hidup dalam peran yang ia ciptakan sendiri: istri yang sempurna, pendamping yang setia, dan wanita yang selalu ada di belakang suaminya. Ia rela menepi dari sorot lampu demi kesuksesan Dika, mengubur mimpinya menjadi seorang desainer perhiasan terkenal, memilih hidup sederhana menemaninya dari nol hingga mencapai puncak kesuksesan.
Namun, kesuksesan Dika merenggut kesetiaannya. Dika memilih wanita lain dan menganggap Tania sebagai "relik" masa lalu. Dunia yang dibangun bersama selama lima tahun hancur dalam sekejap.
Dika meremehkan Tania, ia pikir Tania hanya tahu cara mencintai. Ia lupa bahwa wanita yang mampu membangun seorang pria dari nol, juga mampu membangun kembali dirinya sendiri menjadi lebih tangguh—dan lebih berbahaya.
Tania tidak menangis. Ia tidak marah. Sebaliknya, ia merencanakan pembalasan.
Ikuti kisah Tania yang kembali ke dunia lamanya, menggunakan kecerdasan dan bakat yang selama ini tersembunyi, untuk melancarkan "Balas Dendam yang Dingin."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadhira ohyver, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Tania pulang dengan aura kemenangan dari kantor, namun pikirannya tetap waspada. Saat memasuki dapur untuk mengambil minum, ia mendapati Farah sedang duduk di meja makan, memutar-mutar ponselnya dengan tatapan yang tidak lagi menunduk malu, melainkan penuh tantangan.
Tania baru saja meletakkan tasnya saat Farah melangkah maju dengan wajah penuh kemenangan. Farah mengeluarkan sebuah folder dari balik punggungnya—map berisi rahasia Tania yang ia temukan.
"Mas Dika harus lihat ini, Kak," bisik Farah dengan nada mengancam. "Tentang kamera tersembunyi dan bagaimana Kakak memata-matai kami. Saya rasa setelah ini, Kakak lah yang akan diusir dari rumah ini."
Tania tidak bergeming. Dia bahkan tidak melirik map tersebut. Dengan tenang, Tania merogoh ponselnya, menyentuh layar beberapa kali, lalu menyodorkannya tepat di depan mata Farah.
Layar ponsel itu memutar sebuah video dengan kualitas jernih. Itu adalah rekaman malam saat Dika menyelinap ke kamar Farah—sebuah sudut pandang yang tidak bisa dihancurkan meskipun Farah telah merusak kamera fisiknya.
"Kamu pikir rahasia itu hanya ada di dalam map dan kamera kecil itu, Farah?" tanya Tania, suaranya sedingin es. "Silakan tunjukkan map itu pada Dika. Tapi di saat yang sama, video ini akan terkirim ke seluruh kontak di ponsel Dika, dan ke media sosial."
Wajah Farah yang tadinya merah karena bangga, kini berubah pucat pasi. Tubuhnya sedikit gemetar.
"Mas Dika mungkin akan marah padaku karena kamera itu," lanjut Tania, melangkah maju hingga Farah terdesak ke pinggiran meja dapur. "Tapi dia akan jauh lebih murka padamu karena kamu menjadi penyebab kehancuran reputasinya. Dia adalah pria yang gila hormat, Farah. Begitu video ini tersebar, dia akan membuang mu seperti kotoran agar namanya tetap bersih."
Farah terdiam, napasnya memburu. Dia menyadari posisinya. Jika dia mengadu, Tania akan meledakkan "bom" yang jauh lebih besar.
"Pilihannya ada di tanganmu," ucap Tania sambil menyimpan kembali ponselnya. "Simpan map itu baik-baik, atau kita hancur bersama malam ini. Tapi ingat satu hal, Farah... aku punya karier dan dukungan finansial yang kuat. Sedangkan kamu? Tanpa Dika, kamu hanyalah wanita penuh hutang yang tidak punya tempat tinggal."
Tania menyunggingkan senyum tipis yang mematikan. "Jangan pernah bermain api dengan orang yang memiliki pemadamnya, Farah."
Farah terengah-engah, nyalinya menciut seketika. Dia sadar, Tania selalu sepuluh langkah di depannya. Di saat bersamaan, Dika masuk ke rumah dan melihat atmosfer tegang di dapur.
"Ada apa ini? Kenapa kalian berdiri begini?" tanya Dika bingung, menatap Farah yang tampak gemetar.
Farah menatap Tania, lalu menatap Dika. Lidahnya kelu. Dia ingin mengadu, tapi bayangan rekaman itu membuatnya terkunci.
"Nggak ada apa-apa, Mas," jawab Farah terbata-bata, mencoba menyembunyikan map yang ia pegang di balik punggungnya. "Tadi... tadi Kak Tania cuma kasih saran soal masakanku."
Tania hanya tersenyum tipis, senyuman yang sangat mengerikan bagi Farah. "Benar, Mas. Aku hanya mengingatkan Farah agar jangan pernah bermain dengan api jika tidak ingin terbakar sendiri."
Tania melangkah pergi menuju kamarnya dengan sangat tenang, meninggalkan Farah yang kini terjebak dalam dilema besar. Farah memiliki map yang bisa menghancurkan Tania, tapi Tania memiliki rekaman yang bisa memusnahkan masa depan Farah.
Di sisi lain, Dika mulai merasa ada yang aneh. "Farah, kamu menyembunyikan sesuatu?" tanya Dika curiga melihat gerak-gerik selingkuhannya yang tidak tenang.
Farah menggeleng panik, menyadari bahwa sekarang dia tidak hanya harus bersembunyi dari Tania, tapi juga harus berhati-hati agar Dika tidak tahu bahwa dialah yang memicu kemarahan Tania malam ini.
...----------------...
Cahaya matahari pagi menyelinap masuk ke kamar utama. Tania berdiri di depan cermin besar, mengenakan setelan kantor yang jauh lebih mewah dari biasanya. Ia memulas lipstik merah bold yang mempertegas garis wajahnya yang tegas dan berwibawa. Tidak ada lagi gurat kesedihan; yang ada hanyalah aura wanita yang memegang kendali penuh.
Di meja makan, Dika sedang asyik dengan koran dan kopinya. Farah duduk di sampingnya, namun wajahnya tampak kuyu, matanya sedikit sembab karena tidak bisa tidur memikirkan ancaman Tania. Map yang ia temukan kemarin tersimpan di dasar tasnya, menjadi senjata yang tidak berani ia hunus.
Tania turun dengan langkah anggun. Bunyi sepatunya yang mengetuk lantai marmer membuat Farah tersentak kaget.
"Selamat pagi, semua," sapa Tania singkat namun bertenaga. Ia duduk di kursinya, mengabaikan kehadiran Farah seolah wanita itu hanyalah benda mati.
Dika mendongak, terpana melihat penampilan istrinya. "Kamu cantik sekali pagi ini, Sayang. Ada acara khusus di kantor?"
"Hanya rapat biasa dengan Pak Rei untuk membahas kelanjutan kontrak eksklusifku, Mas," jawab Tania tenang sambil mengoles selai ke rotinya. "Oh ya, Farah... kenapa diam saja? Biasanya kamu sangat bersemangat menyapa suamiku pagi-pagi begini."
Farah tersedak tehnya sendiri. Ia melirik Tania dengan tatapan benci sekaligus takut. "Saya... saya cuma kurang enak badan, Kak."
Dika menoleh ke arah Farah. "Kamu istirahat saja kalau pusing, Far. Jangan terlalu banyak pikiran."
Tania tersenyum miring, sebuah senyum yang hanya dimengerti oleh Farah.
"Kurang enak badan? Atau kurang enak hati karena rahasia semalam? Hati-hati, Farah. Penyakit hati biasanya lebih cepat menyebar daripada virus. Kamu nggak mau kan 'sesuatu' yang buruk tersebar ke orang-orang terdekatmu?"
Dika mengernyitkan dahi. "Rahasia apa? Kalian bicara apa sih?"
Tania menatap Dika dengan tatapan manis yang palsu. "Nggak ada apa-apa, Mas. Farah cuma lagi sensitif mungkin. Dia bilang dia merasa 'diawasi'. Padahal di rumah ini kan aman-aman saja, ya kan, Farah?"
Wajah Farah memucat. Ia tahu Tania sedang mempermainkan mentalnya di depan Dika.
"Aku berangkat dulu. Oh ya, Farah... kalau ada barang yang bukan milikmu, sebaiknya segera kembalikan ke tempatnya. Kamu tahu kan, mencuri atau menyembunyikan sesuatu milik orang lain bisa berujung pada masalah besar... atau bahkan rasa malu yang tak tertahankan."
Tania berlalu dengan langkah anggun, meninggalkan Dika yang bingung dan Farah yang kini benar-benar ketakutan.
Dika menatap heran bergantian ke arah Farah dan juga Tania yang sudah melangkah pergi.
"Ini sebenarnya ada apa sih, Far?"
"Kenapa Tania bicara seolah-olah menyudutkan kamu?"
"Ibu... ibu tau ada apa diantara mereka berdua?" tanya Dika, beralih pada Ibunya.
"Mana Ibu tau, Tania kan di kantor terus, harusnya kamu tanya ke wanita yang ada di samping kamu itu," jawab Ibu Dika, kemudian melengos pergi begitu saja.
"Far... kamu gak mau cerita?"
"Jangan lakukan tindakan apapun tanpa sepengetahuanku Far," ancam Dika.
"Mas terlalu khawatir, aku dan Tania gak kenapa-kenapa kok."
Dika terus saja memandang lekat wajah Farah, firasatnya mengatakan ada sesuatu yang terjadi antara Farah dan Tania.
Bersambung...